Karena saya tidak menginginkan sistem pilkada nanti jadi seperti itu, tentu saja dong saya menolak Revisi RUU Pilkada. Apalagi tenggat waktunya sudah mepet banget. Nah, dari sini saya dapat julukan baru lagi yaitu 'anak abah'. Berubah lagi dari 'keluarga ganjar' ke 'anak abah'. Cuman gara-gara saya setuju sama yang lagi ramai-ramai demo.  Character development macam apa ini? Saya aja gak ikut demo 212 dulu dan gak pernah milih Pak Anies. Kok sekarang tiba-tiba jadi 'anak abah' itu loh. Lagian ini kan yang diprotes DPR kenapa kok jadi anak abah? Coba renungin, yang argumennya cuman bisa bilang ‘anak abah’. Kok kesannya gak konsisten ya? Bilang ini bukan rana presiden tapi gak setuju sama revisi RUU Pilkada dibilang ‘anak abah’. Ini revisi RUU pilkada mencakup semua daerah loh. Bukan Jakarta aja alias calonnya bukan masalah pak Anies doang.
Sebenarnya kalian mau ngomong apa? Mau ngomong gak usah senggol Pak Jokowi walaupun itu koalisi beliau? Nah gitu dong, bilang dari awal. Gak usah nyerempet yang lain. Banyak yang udah berisik duluan masalah UU Perampasan Aset. Setuju dan turun ke jalan menolak Revisi RUU Pilkada oleh DPR bukan berarti tidak peduli dengan tuntutan-tuntutan yang lain seperti UU Perampasan Aset. Itu namanya kesalahan berfikir. Kalau keduanya bagus untuk rakyat, kenapa gak didukung keduanya?
Kembali ke topik utama, saya ingatkan lagi. Baik putusan MK menguntungkan pihak oposisi, atau revisi RUU Pilkada yang menguntungkan pihak koalisi KIM plus yang jargonnya berkelanjutan pemerintahan pak Jokowi, bukannya kompetisi yang sehat sehursnya memiliki sistem di mana semua calon peserta bisa ikut lomba ya? Keputusan MK ini udah tepat. Gak perlu revisi. Terus kenapa demo menentang revisi RUU Pilkada dibilang fomo lah? Gak literate lah. Terakhir argumen yang paling gak bermutu ‘anak abah’. Padahal yang diusahakan ini biar tercipta kompetisi sehat itu. Biar semua pihak baik koalisi KIM plus, oposisi dan independen bisa ikut serta.
Kalau kalian bisa melihat sebuah kebijakan publik secara objektif, seharusnya yang kalian lihat itu bukan siapa yang bikin kebijakan. Tapi kebijakan apa yang mereka buat.
Dari tahun 2014 sampai 2024 kok ya gak belajar-belajar dari pengalaman gitu loh? Kalau emang negara demokrasi, ya butuh ada opsisi. Jadi, ya bagusnya bikin sistem yang ada kedua pihaknya penguasa dan oposisi. Supaya semua calon peserta bisa join lomba cari biting. Urusan kalian mau coblos siapa, itu urusan kalian dan tuhan.
Kalau ada kebijakan yang menguntungkan rakyat, ya kenapa gak didukung semua? Kenapa sih musti kalau ngedukung seorang pejabat negara itu harus setuju-setuju aja  sama kebijakannya? Emang gak boleh ya kalau dulunya nyoblos si A terus sekarang protes kalau lagi gak setuju sama kebijakan si A? Kadang saya rasa yang anti kritik itu bukan pejabatnya. Tapi barisan-barisan bucin politikus anti kritik ini masalah utamanya. Adanya mereka demokrasi jadi gak asyik. Kalau gak dituduh dari barisan lawan politik, ya disuruh kerja keras supaya berhenti keritik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H