Di tengah situasi ini, banyak lulusan merasa terjebak dalam siklus frustasi. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan pengalaman melalui magang atau pekerjaan sementara, tetapi seringkali posisi tersebut tidak memberikan keterampilan yang relevan atau hanya bersifat sementara. Hal ini menciptakan perasaan putus asa, di mana mereka merasa tidak ada jalan keluar dari kondisi pengangguran yang berkepanjangan.Â
Dalam pencarian mereka, beberapa lulusan bahkan mulai mempertimbangkan untuk beralih ke bidang lain yang tidak sesuai dengan gelar mereka, berharap bisa menemukan peluang lebih baik. Namun, ketidakpastian ini justru menambah beban mental dan emosional, membuat mereka merasa semakin jauh dari impian karir yang pernah mereka bayangkan saat masih di bangku kuliah.
 Kondisi ini semakin diperburuk oleh perubahan struktural dalam sektor industri, di mana otomatisasi dan teknologi baru mengubah cara perusahaan beroperasi. Sektor industri manufaktur di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dengan meningkatnya otomatisasi. Banyak perusahaan besar mulai menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin otomatis dan teknologi kecerdasan buatan.
Pada tahun 2021, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai hampir 20%, namun peralihan ini berdampak langsung pada angka pengangguran, terutama bagi pekerja yang tidak memiliki keterampilan baru yang relevan. Data menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang berlebih dapat menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan mereka.Â
Meskipun pemerintah telah meluncurkan program pelatihan vokasional untuk membantu pencari kerja beradaptasi, tantangan tetap ada karena perkembangan teknologi yang sangat cepat. Dengan demikian, meskipun ada upaya untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja, banyak di antara mereka yang masih kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H