Hari ini, saya begitu dilanda kesedihan oleh karena mengetahui salah satu teman kuliah program S-3 teologi mengundurkan diri dari studinya, dengan alasan sibuk menggembalakan jemaat dan mengelola panti asuhan.
Keputusan untuk mengundurkan diri dari program S-3, harus diakui, sering kali, bukanlah hal yang mudah untuk dibuat.
Bagi sebagian orang, pendidikan lanjutan di tingkat doktoral merupakan puncak perjalanan akademik dan profesional, tempat mereka dapat mengejar ilmu dengan lebih mendalam serta menciptakan kontribusi nyata bagi bidang yang mereka geluti.
Namun, seperti yang dialami oleh teman saya, tanggung jawab pekerjaan dan kebutuhan untuk hadir penuh di lingkungan professional, sering kali, memaksa seseorang untuk membuat pilihan prioritas yang sulit.
Dalam tulisan ini, kita akan menyoroti fenomena pengunduran diri dari program S-3, khususnya dari sudut pandang para professional, yang dihadapkan pada tanggung jawab besar di luar kampus.
Ada tiga aspek utama yang sering menjadi alasan pengunduran diri dari studi lanjutan ini: pertama, penyeimbangan tanggung jawab karier dan studi; kedua, tantangan komitmen waktu bagi mahasiswa professional; dan ketiga, kebutuhan akan fleksibilitas dalam program pendidikan tinggi.
Penyeimbangan Tanggung Jawab Karier dan Studi
Salah satu alasan utama yang sering disebutkan dalam kasus pengunduran diri dari program S-3 adalah beban tanggung jawab profesional yang menuntut fokus tinggi.
Dalam surat pengunduran dirinya, rekan saya menyebutkan bahwa, ia adalah seorang gembala jemaat sekaligus pimpinan panti asuhan, dan lembaga rehabilitasi narkoba di ujung Barat Pulau Bali.
Peran-peran ini, bukan hanya tanggung jawab besar, tetapi juga memerlukan perhatian dan dedikasi penuh, mengingat bahwa pelayanannya sangat berpengaruh langsung pada orang-orang yang membutuhkan dukungan dan pengawasan yang intensif.
Dalam situasi seperti ini, banyak profesional di bidang sosial dan pelayanan merasa perlu membuat keputusan strategis mengenai arah waktu dan energi mereka.
Meskipun lanjut studi di tingkat doctoral, mungkin menjadi bagian dari rencana pengembangan diri dan kontribusi jangka panjang, kebutuhan mendesak di lingkup kerja yang memiliki dampak nyata terhadap kehidupan banyak orang, sering kali, memaksa mereka untuk melepaskan sementara impian akademik tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam dunia profesional, pilihan antara studi dan karier bukan sekadar masalah ambisi, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial yang harus mereka emban setiap harinya.
Tantangan Komitmen Waktu dalam Menyeimbangkan Studi dan Pekerjaan
Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi sambil bekerja penuh waktu menuntut keterampilan manajemen waktu yang luar biasa.
Untuk program studi yang menuntut seperti S-3, komitmen waktu yang diperlukan jauh lebih besar dibandingkan jenjang pendidikan sebelumnya.
Di tingkat doktoral, mahasiswa dituntut untuk melakukan penelitian mendalam, menghadiri perkuliahan, serta menyiapkan tulisan akademis dengan standar yang tinggi.
Beban ini bisa semakin menumpuk ketika mahasiswa juga memegang peran profesional yang menuntut perhatian penuh.
Tantangan ini tidak terbatas pada sektor pelayanan gerejawi, seperti yang dihadapi oleh teman saya, tetapi juga dialami oleh banyak profesional di berbagai bidang.
Dalam kondisi di mana pekerjaan sudah menyita sebagian besar waktu dan energi, menambah studi S-3 ke dalam jadwal sehari-hari, kadang-kadang, bisa menjadi tekanan yang sulit dihadapi secara berkelanjutan.
Hal ini menciptakan dilema: di satu sisi, mereka ingin mengembangkan diri dan memberikan kontribusi ilmiah; namun di sisi lain, mereka harus menjaga kesehatan fisik dan mental untuk menjalankan peran profesionalnya dengan optimal.
Ketika waktu dan energi tidak memungkinkan untuk keduanya, banyak yang merasa lebih bijak untuk memprioritaskan pekerjaan utama mereka, meskipun harus mengorbankan pendidikan lanjutan.
Pentingnya Fleksibilitas dalam Program Pendidikan Tinggi untuk Profesional
Fenomena pengunduran diri dari program studi S-3, juga menyoroti pentingnya fleksibilitas dalam sistem pendidikan tinggi, terutama bagi mereka yang sudah memiliki tanggung jawab profesional.
Program-program doktoral yang terlalu kaku dalam struktur dan jadwalnya, sering kali, tidak memungkinkan para profesional untuk beradaptasi sesuai dengan kebutuhan dan komitmen mereka di tempat kerja.
Dalam kasus ini, mungkin fleksibilitas jadwal atau metode pembelajaran jarak jauh akan sangat membantu bagi mereka yang memiliki keterbatasan waktu.
Kita bisa melihat banyak contoh institusi pendidikan yang mulai mengadopsi pendekatan fleksibel untuk mengakomodasi mahasiswa dewasa yang memiliki komitmen kerja.
Program paruh waktu, kuliah malam, atau pilihan online learning telah menjadi solusi yang efektif di beberapa kampus untuk membantu mahasiswa profesional tetap dapat melanjutkan studi mereka tanpa harus menanggalkan tanggung jawab pekerjaan atau pelayanan.
Dengan adanya fleksibilitas ini, para mahasiswa seperti teman saya bisa memiliki ruang untuk mengatur jadwal mereka lebih baik, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih seimbang dengan komitmen kerja.
Selain itu, dukungan akademik yang bersifat personal juga bisa membantu mahasiswa yang berada di persimpangan antara studi dan pekerjaan.
Ini bisa berupa konseling, dukungan dari mentor, atau sesi-sesi khusus untuk membahas bagaimana mereka dapat mengatasi tantangan belajar sambil bekerja.
Dukungan semacam ini akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang tengah mengalami tekanan dalam menyeimbangkan dua peran penting ini.
Dalam kasus teman saya di atas, dia tidak berbagi pergumulannya dengan saya, ini yang sangat disayangkan. Seandainya, dia berbagi cerita dengan saya, mungkin kami bisa mencari solusi terbaik dari masalahnya, tanpa harus kmengundurkan diri dari studinya.
Kesimpulan
Pengunduran diri dari program studi S-3 bukanlah fenomena yang langka, tetapi justru semakin umum terjadi di kalangan profesional yang ingin melanjutkan pendidikan, sambil tetap menjalankan peran penting dalam pekerjaan mereka.
Fenomena ini menggambarkan betapa kompleksnya pilihan yang harus dihadapi, terutama bagi mereka yang bekerja di bidang pelayanan atau memiliki tanggung jawab sosial yang besar.
Dalam kasus teman saya, pilihannya untuk mengundurkan diri mencerminkan komitmen yang lebih tinggi terhadap tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan pelayan masyarakat.
Hal ini mengingatkan kita bahwa dunia pendidikan di Indonesia perlu semakin adaptif terhadap kebutuhan mahasiswa dewasa dan profesional.
Dengan mengembangkan fleksibilitas dalam program pendidikan tinggi, institusi akademik dapat membantu lebih banyak profesional untuk tetap melanjutkan pendidikan mereka tanpa harus mengorbankan peran yang mereka emban di dunia kerja.
Semoga kita bisa belajar dari pengalaman teman saya ini dan terus mendorong perubahan dalam sistem pendidikan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan mahasiswa dari berbagai latar belakang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI