Beruntung, ada sepotong kayu yang disandarkan dan tali yang diikat pada didinding tanggul, sehingga memudahkan saya naik ke atas tanggul.
Dalam sekecap mata, saya sudah berada di atas tanggul. Maklum, saat masih di kampung halaman dulu, saya suka manjat pohon jadi sudah terbiasa. He-he.
Sesaat saya berdiri memandangi lautan lepas dengan deburan ombak di sisi-sisi tanggul. Tampak kapal-kapal barang berkuran sedang dan besar sedang berlabuh. Indah sekali di sini.
Di sisi laut tanggul, berdiri sebuah masjid kecil. Bangunannya tampuk rusak berat, tembok-temboknya penuh coretan.
Di bagian bawah tumbuh lumut, sehingga temboknya tampak berwarna hitam. Atap masjid sudah hilang dicuri orang, demikian info yang saya peroleh dari Ibu Lia, warga RT.15/RW.17.
Masjid bernama Wal Adhuna itu tampak dikelilingi air laut sebatas pinggang orang dewasa - kebetulan airnya sedang pasang - beragam sampah plastik tersangkut di sisi-sisi masjid.
Menurut keterangan Ibu Lia, dulunya masjid tersebut berdiri kokoh. Di sekitaran masjid berdiri juga rumah-rumah warga. Jadi, dulu masjidnya ramai dikunjungi warga untuk beribadah.
Kini, ia menjadi saksi bisu bagaimana wilayah Jakarta bagian Utara perlahan-lahan mulai tenggelam, akibat naiknya volume air laut dan turunnya permukaan tanah.
Setelah menengok masjid, saya kembali turun dari tanggul ke daratan. Kemudian, saya menaiki motor menyusuri jalan sempit di sisi darat tanggul.
Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lihat, ada banyak lubang besar di sisi tanggul. Kondisi inilah yang menyebabkan masuknya air laut ke wilayah daratan, ketika sedang pasang.