Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Narablog

Senang traveling dan senang menulis topik seputar Sustainable Development Goals (SDGs).

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Perjuangan Nelayan Marunda Kepu di Tengah Lautan Sampah

17 Juni 2024   22:47 Diperbarui: 18 Juni 2024   14:38 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekelompok pemacing berjalan di atas jembatan bambu menuju perahu | Sumber: Dokumen pribadi/Billy

Cuaca siang hari (Senin 17/06/2024) di kampung nelayan Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara, cerah berawan. Di kiri jalan menuju dermaga kecil, tampak perahu-perahu nelayan sedang berlabuh.

Sementara itu, di kanan jalan membentang tambak ikan, puluhan ruma warga, dan gedung-gedung PT. Tak banyak aktivitas warga siang ini, mungkin karena liburan Idul Adha 1445 H.

Setelah mengenderai sepeda motor kurang lebih 2 jam dari Jakarta Barat, saya berhenti sejenak di ujung jalan Marunda Kepu.

Di bawah sebuah pohon rindang, saya duduk menatap ke arah dermaga kecil. Perahu-perahu nelayan sedang berlabuh. Ada pula kapal-kapal wisata.

Dari kejahuan, tampak sebuah perahu sedang melaju ke arah dermaga. Indah sekali.

Namun, pemandangan yang indah itu segera lenyap, setelah saya masuk ke area dermaga. Sampah plastik berserakan membentuk bukit-bukit di bibir pantai.

Sebuah alat berat terparkir di tengah tumpukan sampah. Alat berat inilah yang digunakan warga untuk mengerok sampah dari dalam sungai Kanal Timur yang mengarah ke laut.

Saya memarkir sepeda motor tepat di depan sebuah warung pemancingan. Ramai sekali di sini. Sekelompok pemuda sedang sibuk membeli umpan udang untuk bekal memancing mereka di bagang.

"Mau mancing di bagang juga, Bang?" celoteh salah seorang pemuda.

"Nggak, saya hanya mampir saja, Bang".

Saya duduk di depan warung, di bawah pohon, menyaksikan para pemancing satu demi satu berjalan di atas jembatan bambu menuju perahu nelayan.

Sekelompok pemacing berjalan di atas jembatan bambu menuju perahu | Sumber: Dokumen pribadi/Billy
Sekelompok pemacing berjalan di atas jembatan bambu menuju perahu | Sumber: Dokumen pribadi/Billy

Perahu itulah yang akan mengantarkan mereka ke bagang. Suasana kembali sepi, hanya tinggal saya dan pemilik warung (suami-istri).

"Menyewa perahu untuk mancing di bagang bayar berapa, ya Bu".

"Kalau untuk antar jemput, Rp500.000, Bang".

"Berapa lama ke bagang, Bu?"

"Ya, sekitar 30 menitan, Bang".

"Kalau umpan udang hidup ini, dijual berapa, Bu?

"Kalau yang kecil, 3 ekor Rp2000".

Dari informasi yang saya peroleh, si pemilik warung mempunyai 3 buah bagang dan 3 buah perahu. Si Ibu dan suaminya, Mang Doyok, tidak hanya melayani pemancing bagang, tapi juga pemancing ngapung (memancing keliling).

Bahkan, mereka membudidayakan kerang hijau di bawah bagang. Jika musim panen tiba, mereka akan menjualnya.

"Kadang, kerang hijaunya dicuri orang sebelum sempat dipanen. Ya, begitulah situasi di laut", kata Pak Doyok dengan nada pasrah.

"Ini udang lautnya nangkap di bagang, juga Pak?

"Tidak, saya beli di tempat lain".

Karena cuaca sangat panas, saya beli satu botol air mineral, harganya Rp3000. Tenggorokan saya yang sedari tadi kering pun tiba-tiba jadi segar kembali.

Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba seorang bapak datang dengan anak laki-lakinya. Mereka membawa perlengkapan pancing.

"Beli udang hidup ya Po, Rp20.000. Sama kopi hitam dibungkus".

Kemudian si ibu dengan cepat mengeluarkan udang hidup dari tempat penampungan ke dalam ember si pemancing. Lalu, mereka segera berjalan menuju spot di ujung pantai.

Saya coba mengikuti mereka dari belakang. Kami berjalan di atas tumpukan sampah plastik bercampur dengan lumpur, yang membentang sepanjang 15 meter ke arah laut.

Lautan sampah plastik membentang sepanjang 15 meter ke arah laut | Sumber: Dokumen pribadi/Billy
Lautan sampah plastik membentang sepanjang 15 meter ke arah laut | Sumber: Dokumen pribadi/Billy

Sesekali, saya menengok ke dalam air, warna airnya hitam pekat dan berbau. Dengan kondisi air seperti ini, adakah ikan yang bertahan hidup?

Saya berhenti mengikuti pemacing tadi, persis di depan rumah terakhir. Sementara itu, mereka terus berjalan menuju ujung pantai. Jaraknya kira-kira 1 km.

"Mungkin, di ujung sana, airnya jernih dan ada ikannya," pikir saya dalam hati.

Meskipun lingkungan nelayan Marunda dikepung oleh sampah plastik, namun tidak membuat mereka kehilangan asa/harapan.

Buktinya, mereka masih tetap berusaha mencari rezeki melalui usaha pemancingan bagang. Ada pula warga yang memulung sampah-sampah plastik tersebut.

Semoga ke depan, Pemerintah setempat dapat memperhatikan lingkungan kampung nelayan Marunda Kepu ini.

Hari mulai sore. Saya menengok jam di handphone. Sudah pukul 15.00 WIB. Tidak terasa, saya telah menghabiskan waktu sekitar satu jam ngobrol dengan warga nelayan Marunda Kepu.

Semoga lain waktu, saya punya kesempatan mampir lagi ke sini untuk memancing di bagang. He-he.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun