Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Penjaringan, Jakarta Utara menjadi tempat bersandarnya ratusan kapal nelayan yang datang dari Barat dan Timur Indonesia.
Perum Perikanan Indonesia (Perindo), seperti dikutip dari KUMPARAN.com, mencatat pelabuhan ini memiliki luas 100 hektar, dengan daya tampung kapal 50 ton.
Selain melayani kapal penangkap ikan, pelabuhan ini juga melayani kapal pengangkut ikan dalam skala perdagangan internasional.
Saya berkunjung ke pelabuhan ini, Jumat 14 Juni 2024, pukul 15.00 WIB, dengan mengenderai sepeda motor. Biaya masuk ke pelabuhan ini sangat murah yaitu Rp 2000.
Dari depan pintu masuk pelabuhan, saya lurus terus hingga tiba di pertigaan jalan. Lalu, berbelok ke kanan menuju dermaga.
Di sisi kiri dan kanan jalan, berdiri gedung-gedung industri perikanan. Tampak truk-truk pengangkut ikan lalu-lalang di jalan.
Saya lurus terus dengan kecepatan 30 km per jam. Sebelum berbelok ke kiri, saya memarkir sepeda motor sebentar untuk memotret Masjid Al-Hidayah.
Yang menarik perhatian saya adalah warna biru laut yang menghiasi Masjid ini. Persis di sebelah Masjid, terdapat sebuah tambak kecil yang cukup panjang dengan tanaman bakau di dalamnya -- cantik sekali, bukan?
Dari depan Masjid Al-Hidayah, saya berbelok ke kiri, lalu lurus terus. Di sisi kiri, berdiri bengkel-bengkel berukuran kecil.
Ini bukan bengkel motor/mobil ya kawan-kawan, tapi ini bengkel khusus untuk kapal-kapal nelayan. Sementara itu, di sisi kanan, terdapat tembok besar dan panjang dengan tinggi sekitar 5 meter.
Tembok-tembok ini menjadi pembatas antara laut dan daratan. Ia sekaligus berfungsi untuk menahan gelombang laut.
Saya berbelok ke kiri lagi, lalu sampai di dermaga. Perlahan-lahan, saya mulai menyusuri dermaga ini.
Tampak kapal-kapal nelayan berukuran besar dengan beragam warna (biru, kuning, putih) sedang bersandar dengan tali terikat di jembatan.
Tidak banyak aktivitas di dermaga sore ini. Hanya dua buah kapal yang sedang bongkar muat ikan hasil tangkapannya.
Saya mendekati salah satu kapal dan bertanya ke seorang anak buah kapal (ABK) yang sedang bongkar muat ikan.
"Ini ikan tuna ya, Bang?"
"Ikan tuna dan tongkol".
"Nangkapnya pakai jaring atau pancing, Bang?"
"Pakai pancing".
"Berapa lama berlayar mencari ikan, Bang?"
"Tiga hari perjalanan. Ya, paling lama setengah bulan".
Dari sini kita tahu bahwa pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang sangat berat, bahkan nyawa menjadi taruhannya.
Namun, sangat disayangkan bahwa harga ikan di pasaran masih rendah, baik ikan fresh maupun beku. Selain itu, ikan impor masih mendominasi, sehingga merugikan para nelayan.
James Then, Ketua Solidaritas Nelayan Indonesia, seperti dikutip dari laman SINDO NEWS.com, mengungkap bahwa "harga fresh ikan dari Rp20.000 menjadi Rp2.500. Sedangkan ikan beku yang biasa dijual Rp15.000 menjadi Rp5.000".
Terkait ekspor, James Then, mengatakan bahwa ada praktik diskriminasi ekonomi perikanan dari Uni Eropa dan Amerika.
"Ekspor ke Uni Eropa kena charge 20,5% dan Amerika 12,5%. Sementara Philipina & Vietnam 0%," ujar James Then.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Kelautan Perikanan.
Sementara itu, diujung jembatan, tampak sebuah kapal sedang mengisi air bersih dari sebuah truk air.
Beberapa anak buah kapal sedang sibuk mengangkut mie instan dan telur dari sebuah mobil boks ke dalam kapal.
Semua itu menjadi bekal bagi anak buah kapal selama pelayaran. Mendadak spirit petualangan mencari ikan muncul, saya jadi pingin ikut. He-he.
Cuaca laut pada sore itu boleh dibilang cukup bergelombang. Angin di sini cukup kencang. Hal ini wajar karena lokasi pelabuhannya berhadapan langsung dengan lautan lepas.
Setelah puas melihat langsung aktivitas nelayan, saya memutuskan untuk berteduh sebentar di sebuah warung makan yang tak jauh dari jembatan.
Karena masih kenyang, saya hanya memesan secangkir es kopi. Harganya lumayan yaitu Rp5.000.
Tentu saja, warung-warung makan yang berdiri di sepanjang dermaga ini diuntungkan oleh pembeli yang notabennya adalah nelayan.
Dari warung itu, saya menuju spot terakhir: tempat pemancingan. Lokasinya tak jauh dari warung tadi, hanya semenit jalan kaki.
Para pemancing memanfaatkan tembok pembatas pantai untuk memancing ikan. Ada sekitar 7 orang pemancing yang saya lihat sedang asyik memancing sore ini.
Saya mendatangi satu demi satu untuk melihat jenis ikan apa yang mereka tangkap. Salah satu ikan yang saya kenal adalah bubara (bahasa Latin, Caranx ignobilis) atau bobara dalam dialek Ambon.
Ukurannya sekitar tiga jari. Lumayan enak kalau digoreng. Lain kali, saya perlu mencoba spot yang satu ini. He-he.
Berdiri di atas tembok setinggi 5 meter, di antara para pemancing, saya bisa menyaksikan secara langsung pemandangan laut lepas.
Tampak beberapa kapal barang dan kapal tongkang sedang berlabuh di tengah laut. Dari atas tembok pembatas itu, juga saya bisa melihat pulau-pulau kecil.
Sementara itu, di tepi pantai, tampak beberapa anak muda sedang duduk menikmati suasana laut dan beberapa orang lagi sedang asyik mandi.
Oh ya, pantai di sini, didominasi bebatuan dengan sedikit sampah plastik. Tidak ada pasir putihnya. Jadi, yang mandi atau berenang mesti berhati-hati, agar tidak lecet/luka.
Hari mulai sore, saya melirik jam di handphone -- tak terasa sudah pukul 16.30 WIB. Saya pun, bergegas meninggalkan pelabuhan disertai dengan pulangnya para karyawan industri perikanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H