Dapat dikatakan bahwa pendidikan di dalam suatu negara merupakan salah satu hal yang sangat fundamental untuk diperhatikan dan ditingkatkan. Mengapa penting untuk diperhatikan dan ditingkatkan?
Alasannya, sistem pendidikan yang berjalan dengan baik, secara langsung merupakan keberhasilan dari suatu negara dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia yang kelak akan memegang tanggung jawab suatu negara.
Sebaliknya, sistem pendidikan yang berjalan kurang baik, secara langsung merupakan kegagalan dari suatu negara dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia yang pada gilirannya akan berpengaruh pada suatu negara.
Menyadari hal ini, negara-negara maju seperti Finlandia, Slovenia, Jerman, dan Swedia menerapkan sistem pendidikan gratis bagi warga negaranya, bahkan bagi mahasiswa asing baik di sekolah negeri maupun swasta.
Sebagai negara yang masuk dalam kategori berkembang menuju maju, Indonesia memang belum menggratiskan biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan gratis hanya difokuskan pada program wajib belajar 12 tahun, mulai dari level pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan menengah atas (SMA).
Program wajib belajar 12 tahun ini baru dilaksanakan pada 2023 lalu, tujuannya untuk meningkatkan pencegahan potensi putus sekolah, strategi pendataan, penjangkauan, dan sinkronisasi upaya lintas sektor terutama dalam pencegahan dan penanganan ATS, serta kebijakan afirmasi pada peserta didik dari kelompok masyarakat miskin dan rentan. (Sumber: Laporan Tahunan SDGs 2023).
Sementara itu, di level perguruan tinggi, belum berlaku program pendidikan gratis. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda pernah mengusulkan agar pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam draft revisi UU Sisdiknas, program wajib belajar yang sebelumnya 9 tahun diubah menjadi 12 tahun atau sampai level SMA, bahkan beliau mendorong supaya program wajib belajar diubah lagi menjadi hingga jenjang perguruan tinggi. (Sumber: Liputan6.com).
Wacana tersebut diangkat lantaran banyak kisah anak-anak dari keluarga miskin yang potensial, namun tidak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Di sisi lain, perusahaan milik negara atau swasta menuntut calon pegawai dengan latar belakang pendidikan minimal sarjana.
Kalau demikian, bagaimana nanti nasib masa depan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan tinggi? Bagaimana nasib bangsa ini, jika sumber daya manusianya bukan merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi?