Pengantar
Ekonomi biru (blue economy) tengah menjadi subjek pembicaraan negara-negara di dunia belakangan ini, tidak terkecuali Indonesia. Blue economy, pertama kali diperkenalkan oleh seorang yang bernama Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul "The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs" -- terbit tahun 2010. (Sumber: Kumparan.com).
Blue economy berfokus pada pemanfaatan sumber daya laut (perikanan tangkap, perikanan budidaya, wisata bahari, dan tambang migas) secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian, sembari tetap menjaga kelestarian ekosistem laut. Dengan demikian, blue economy ini dipandang penting bagi masa depan keamanan manusia.
Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas. Indonesia memiliki pulau lebih dari 17.500 dan 70% wilayah Indonesia adalah laut. Karena itu, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan blue economy. Melihat peluang ini, pemerintah Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Roadmap Ekonomi Biru Indonesia tahun 2023-2045.
Roadmap atau peta jalan tersebut berfungsi untuk mengonsolidasikan kebijakan, program, dan kegiatan dengan dukungan seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) serta memberikan panduan guna mewujudkan ekonomi laut berkelanjutan. (Sumber: Kompas.com).
Artikel ini tidak bermaksud membahas pontensi sumber daya kelauatan seluruh wilayah Indonesia, tetapi hanya berfokus pada wilayah perairan DKI Jakarta saja. Pemilihan wilayah perairan DKI Jakarta sebagai objek penelitian tentu, bukan tanpa alasan. Pemilihan ini didasarkan oleh fakta bahwa perairan DKI Jakarta, khususnya Kepulauan Seribu cocok untuk pengimplementasian ekonomi biru.
Pertama-tama, kita akan memetakan terlebih dahulu potensi perairan laut DKI Jakarta. Kemudian, melihat apa saja tantangan dan ancaman dalam pengoptimalisasian blue economy di perairan laut DKI Jakarta. Yang terakhir, kita akan melihat bagaimana upaya Pemprov DKI Jakarta dan stakeholder dalam mengoptimalkan potensi blue economy di perairan laut DKI Jakarta.
Memetakan Potensi Perairan DKI Jakarta
Kita mulai dengan memetakan potensi perairan laut DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta memiliki luas daratan 661,52 km2 dan luas lautan 6.977,5 km2 -- lebih besar dari luas daratannya. Selain itu, DKI Jakarta tercatat memiliki lebih dari 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu. 11 pulau di antaranya adalah pulau yang berpenghuni. Panjang garis pantai DKI Jakarta mulai dari sisi Utara Jakarta hingga Kepulauan Seribu adalah sepanjang 121 km.
Menurut laporan Imam Fitrianto, Kepala Bidang Kelautan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, ada beberapa ekosistem esensial yang dimiliki DKI Jakarta, antara lain: padang lamun seluas 533 hektar, hutan mangrove seluas 682 hektar, dan terumbu karang seluas 4.561 hektar. (Sumber: Youtube.com/BPSDM DKI Jakarta).
Boleh dibilang bahwa sumber daya perairan laut DKI Jakarta sangat berpotensi dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi, baik di sektor perikanan, bahari, maupun pengembangan energi terbarukan, seperti menggunakan gelombang laut dan angin.
Tantangan Pengoptimalisasian Blue Economy DKI Jakarta
Meskipun perairan DKI Jakarta memiliki potensi besar dalam mewujudkan ekonomi laut berkelanjutan, terdapat beberapa faktor yang menjadi tantangan maupun ancaman menuju ekonomi laut yang berkelanjutan, di antaranya ialah: perubahan iklim global, penangkapan ikan yang berlebihan, polusi limbah dan sampah laut, serta reklamasi pulau.
Dari faktor-faktor yang disebutkan tadi, barangkali, faktor yang paling mengancam perairan laut Jakarta saat ini ialah polusi limbah dan sampah. Penyebabnya ialah aktivitas manusia di daratan dan aktivitas kapal-kapal laut yang melintasi perairan DKI Jakarta. Sampah dan limbah yang dibuang oleh manusia ke sungai pada akhirnya bermuara di teluk Jakarta.
Berdasarkan laporan Kompas.com tahun 2023, sampah yang masuk ke teluk Jakarta melalui 13 sungai didominasi oleh sampah plastik. Sebagian dari sampah itu terperangkap di dasar laut bersama endapan lumpur, dan sebagian lagi terbawa oleh angin dan ombak, lalu menggunung di tepi pantai utara Jakarta.
Akibatnya, teluk Jakarta kini terancam kehilangan keindahan bawah laut sebab biota laut menjadi berkurang habitatnya. Bahkan, terancam kehilangan keindahan pantai karena tumpukan sampah plastik. Apabila ini yang terjadi, maka akan berdampak pada perekonomian pariwisata. Syukurlah, masih ada wilayah DKI Jakarta yang terjaga keindahan bawah laut maupun keindahan pantainya, yakni pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Melihat tantangan dan ancaman di atas, maka dibutuhkan kerja sama yang baik antara berbagai stakeholder (pemerintah, masyarakat nelayan, dan pelaku industri) demi mencapai ekonomi laut DKI Jakarta yang berkelanjutan.
Upaya Mengoptimalkan Potensi Blue Economy DKI Jakarta
Menurut laporan Imam Fitrianto, di DKI Jakarta peluang wisata bahari sangatlah besar. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta menyediakan regulasi yang mendukung pariwisata bahari. Dengan begitu, maka akan menarik para investor lokal maupun asing untuk investasi di bidang ekonomi wisata bahari.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga melakukan kebijakan pengelolaan dan pengawasan atas regulasi-regulasi yang ada. Hampir setiap bulan dilakukan pengawasan di laut untuk mengetahui bagaimana penerapan blue economy dilaksanakan.
Setiap tahun Pemprov DKI Jakarta melakukan berbagai kegiatan konservasi (perlindungan) terhadap ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove yang rusak. Bahkan, Pemprov DKI Jakarta turut serta melakukan promosi wisata bahari baik melalui media sosial maupun di berbagai event, dan pameran-pameran, baik di level nasional maupun internasional.
Bahkan, pelaku industri dan masyarakat Jakarta pun bisa turut berperan serta dalam pengembangan blue economy ini. Hal ini karena sifat blue economy itu tidak bersifat eksklusif, melainkan inklusif. Sehingga, berbagai pihak stakeholder bisa ambil bagian dalam memajukan ekonomi biru di Jakarta.
Adapun kegiatan yang bisa dilakukan pelaku industri seperti membangun pelabuhan-pelabuhan dan transportasi laut seperti menyediakan kapal-kapal. Hal ini untuk mendukung kemajuan blue economy. Sedangkan, yang bisa dilakukan masyarakat adalah menjaga lingkungan di wilayah wisata bahari. Masyarakat dapat berperan aktif seperti membuat produk-produk ramah lingkungan untuk dijual kepada wisatawan. Hal ini bisa meningkatkan perekonomian masyarakat.
Kesimpulan
Perairan laut Jakarta, khususnya di kawasan Kepulauan Seribu bisa menjadi prototipe penerapan blue economy bagi wilayah lain di Indonesia. Mengapa? Karena pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu saat ini telah dikembangkan blue economy berbasis wisata bahari.
Apabila anda berkunjung ke Pulau Tidung Besar dan Kecil, misalnya, anda akan melihat langsung pembudidayaan rumput laut, pembudidayaan ikan kerapuh, dan lopster. Bahkan, ada kegiatan tranplantasi karang. Bahkan, anda bisa ikut bersama-sama masyarakat setempat melakukan kegiatan menanam bibit mangrove.
Nah, inilah konsep blue economy sesungguhnya, di mana kita tidak hanya memanfaatkan sumber daya laut, tetapi juga melestarikannya demi masa depan anak cucu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H