Bahkan, pengerukan pasir pantai yang berlebihan dapat berakibat pada hilangnya pulau kecil. Dan memang, Indonesia pernah kehilangan belasan pulau kecil yang menjadi citra kedaulatan sebuah negara, karena aktivitas penambangan pasir laut. Parid Ridwannudin kembali menjelaskan, sekitar tahun 2040 hingga tahun 2050, Indonesia akan mengalami krisis iklim yang menyebabkan pulau-pulau tenggelam. Aktivitas penambangan pasir laut tentu akan mempercepat laju krisis iklim di Indonesia.
Sebenarnya, Indonesia pernah menghentikan ekspor pasir laut selama 20 tahun, namun pada tanggal 15 Mei 2023 kembali dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan itu mengatur izin penggunaan pasir laut untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor pasir laut. Banyak pihak kemudian menilai kalau kebijakan ini, akan menyebabkan pulau-pulau kecil di Tanah Air kembali tenggelam, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Program Rumah Bambu dan Gaba-gaba sebagai Solusi Ramah Lingkungan
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pengerukan pasir pantai, khususnya di Maluku? Menyikapi kondisi tersebut, pihak Taman Wisata Perairan (selanjutnya disingkat TWP) Laut Banda berinisiatif membuat program rumah bambu sebagai strategi sekaligus solusi untuk menyelamatkan pasir pantai dan biota laut di Kepulauan Banda, Maluku Tengah.
Menurut Julham Mochtar Sabit Pelupessy, Koordinator TWB Laut Banda, program rumah bambu yang dirancang saat ini akan menjadi visi besar demi mengantisipasi pengerukan pasir pantai secara berlebihan di Kepulauan Banda. Program tersebut, sekaligus ingin mengembalikan kearifan lokal masyarakat yang sempat hilang ratusan tahun silam.
Saya kira, selain program rumah bambu, program rumah gaba-gaba juga baik dan perlu diadakan di Maluku, khususnya di kawasan yang melimpah pohon sagu, seperti di Pulau Saparua, Maluku Tengah. Meski di Kawasan ini melimpah pohon sagu, nyatanya warga di Saparua lebih memilih membangun rumah dari material pasir. Padahal, material pasir lebih mahal dari material gaba-gaba.
Lantas, manfaat besar apa yang diperoleh masyarakat Maluku dari membangun rumah menggunakan material bambu dan gaba-gaba ini? Manfaat yang pertama adalah lebih irit dari segi ekonomi. Manfaat lainnya adalah mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam seperti gempa. Apalagi, Maluku adalah salah satu daerah yang rawan gempa.
Memang, harus diakui, membangun rumah dari material bambu dan gaba-gaba tidak tahan lama. Namun, melihat dampak positif yang ditimbulkan dari membangun rumah dengan material bambu dan gaba-gaba bagi kelestarian pesisir pantai dan biota laut, maka masyarakat harus bisa menerimanya.
Untuk membuat masyarakat tertarik dengan program ini, barangkali pemerintah perlu mengalokasikan dana desa untuk pembangunan rumah bambu atau rumah gaba-gaba, khususnya bagi masyarakat miskin.
Perlunya Pelestarian Pohon Bambu dan Sagu
Mengingat peran pohon bambu dan pohon sagu yang sangat vital bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir. Maka, diperlukan upaya untuk melestarikan pohon bambu dan pohon sagu. Pohon bambu perlu ditanam dan dirawat di Kepulauan Banda. Demikian juga, pohon sagu di Pulau Saparua, perlu ditanam dan dirawat. Upaya ini melibatkan pihak Pemerintah Desa dan masyarakat lokal setempat.
Bahkan, bukan hanya di Kepulauan Banda dan Pulau Saparua saja, program pelestarian pohon bambu dan pohon sagu ini perlu dikampanyekan di seluruh Kabupaten Kota Provinsi Maluku. Sudah saatnya, pemerintah dan masyarakat Maluku sadar akan pentingnya menanam pohon bambu dan pohon sagu.
Kesimpulan: Sebuah Desakan
Sebagai kesimpulan, saya mendesak kesadaran pemerintah dan masyarakat Maluku akan pentingnya membangun rumah dari material bambu dan gaba-gaba. Saya juga mendesak pemerintah dan masyarakat untuk menanam dan merawat pohon bambu dan sagu demi menjaga kelestarian lingkungan pesisir, sekaligus mengembalikan kearifan lokal masyarakat Maluku yang sempat hilang ratusan tahun silam.