Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta. Melalui opini yang dituangkan, saya mengajak pembaca untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Indonesia Darurat ISBN, Apa yang Harus Dilakukan?

5 Desember 2023   15:45 Diperbarui: 5 Desember 2023   16:43 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: dokpri/Billy Steven Kaitjily)

335443088-1370113973829649-8120306128215737508-n-656edd42c57afb54244be2dd.jpg
335443088-1370113973829649-8120306128215737508-n-656edd42c57afb54244be2dd.jpg
(Sumber gambar: dokpri/Billy Steven Kaitjily)

Platform X (sebelumnya bernama Twitter) beberapa hari ini tengah ramai membicarakan novel cringe yang dinilai tak layak mendapatkan ISBN. Sekadar informasi, International Standard Book Number (selanjutnya disingkat ISBN) adalah kode/nomor pengindentifikasian unik pada buku yang di dalamnya tercantum judul, penerbit, hingga kelompok penerbit.

ISBN terdiri dari 13 digit nomor unik yang diterbitkan oleh Badan Internasional ISBN yang berbasis di London. Nomor ISBN ini, disalurkan kepada negara-negara di dunia secara rutin dalam jangka waktu tertentu, termasuk Indonesia. Jumlah nomor ISBN yang disalurkan terakhir kali untuk Indonesia pada tahun 2018 adalah sebanyak 1 juta nomor. Dari sini kita tahu kalau ISBN memiliki jumlah kuota terbatas.

Namun, hingga tahun 2022 - empat tahun berselang - sudah sekitar 623.000 buku yang diberikan ISBN. Itu berarti yang tersedia sekitar 377.000. Belum lagi, kalau dihitung hingga tahun 2023, barangkali semakin berkurang. Padahal, di negara-negara lain, jatah 1 juta ISBN bisa dihabiskan selama kurun waktu 15-20 tahun.

Isu krisis ISBN yang belakangan mencuat di media sosial X, sebenarnya pernah dibahas dalam Monitoring dan Evaluasi Kepatuhan Pelaksanaan Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Tahun 2023, yang diadakan pihak Perpustakaan Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat Perpusnas) pada 14-15 Maret 2023. Kebetulan, saya hadir dalam acara tersebut.

Saya diutus oleh salah satu penerbit buku milik salah satu Sekolah Tinggi Teologi (STT) swasta di Sulawesi Tengah. Acara yang diselenggarakan secara daring itu, diikuti oleh ratusan penerbit di seluruh Indonesia, baik penerbit mayor maupun penerbit indie. Dalam hati saya saat itu, banyak betul penerbit di Indonesia.

Dalam acara tersebut, pihak Perpusnas menyampaikan kepada semua penerbit yang hadir kala itu, kalau mereka sempat mendapat teguran dari International ISBN Agency, karena dirasa adanya penggunaan ISBN yang tak wajar di Indonesia. Perpusnas akui kalau penggunaan ISBN sempat melonjak drastis pada pandemi tahun 2020 hingga mencapai angka 100 ribu lebih judul.

Beberapa Sebab Terjadinya Krisis ISBN

Dalam acara yang berlangsung selama dua hari itu, Perpusnas menyampaikan beberapa sebab mengapa terjadi lonjakan ISBN. Pertama, meningkatnya permintaan ISBN dari penerbit. Yang menjadi masalah adalah buku-buku yang sudah diberikan ISBN itu, banyak yang tidak diserahkan/diarsipkan ke Perpusnas.

Ini benar, pengalaman saya menangani penerbit dari tahun 2020-2022, saya mendapati banyak calon penulis yang setelah mendapatkan ISBN, lantas tidak menyerahkan bukunya ke Perpusnas. Dan, kebanyakan pelakunya adalah dosen. Kemungkinan besar, dipenerbit-penerbit yang lain, juga mengalami hal yang sama.

Alasan lain terjadinya krisis ISBN, menurut pengamatan saya, adalah menjamurnya penerbit-penerbit baru, entah yang dikelola untuk keperluan bisnis/usaha, atau yang dikelola oleh institusi pendidikan seperti STT. Itu sebabnya, dalam kurun waktu 4 atau 5 tahun belakangan ini terjadi lonjakan ISBN secara drastis, sampai-sampai pihak Perpusnas kebingungan.

Penerbit-penerbit yang baru bermunculan ini, melancarkan aksi mereka melalui penawaran-penawaran via media sosial, dengan iming-iming terbit gratis. Ada juga yang menawarkan jasa terbit dengan harga yang murah meriah. Siapa coba yang tidak tertarik dengan penawaran seperti ini? Saya pribadi sih tertarik, ya! Beberapa buku saya diterbitkan di penerbit kecil. Ini jujur.

Kasus novel cringe yang jadi perdebatan di media sosial X beberapa hari ini, sebenarnya, hanya salah satu kasus dari sekian banyak kasus yang tidak sempat viral di media sosial. Penerbit-penerbit baru yang bermunculan belakangan ini begitu mudah sekali menarik cerita dari platform online untuk dijadikan buku ber-ISBN, tanpa melalui seleksi yang ketat.

Bahkan, penerbit-penerbit baru ini, menawarkan jasa terbit murah untuk naskah Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jelaslah, penerbit-penerbit ini menargetkan penulis-penulis yang berstatus guru dan dosen. Kenapa menargetkan mereka? Karena berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta sejumlah regulasi yang dikeluarkan Kemenristek dan Dikti, dosen diwajibkan untuk menulis buku atau jurnal susuai bidang mereka.

Semakin dosen dan guru produktif menulis buku, semakin berpangaruh pada mutu institusi di mana mereka mengabdi saat ini dan juga berpengaruh pada karir mereka dalam dunia pendidikan. Jadi, wajar saja, kalau hari ini ISBN menjadi barang yang langka. 

Beberapa Langkah untuk Mengatasi Krisis ISBN

Lalu, bagaimana mengatasi darurat ISBN hari ini? Pihak Perpusnas telah mengambil beberapa langka dalam mengatasi krisis ISBN, di antaranya ISBN tidak diperuntukan untuk penelitian ilmiah seperti Skripsi, Tesis, Disertasi, laporan/hasil kegiatan KKN, PKL, dan sejenisnya. Untuk jenis penelitian ini bisa diterbitkan tanpa ISBN atau menerbitkan dengan jalur self publishing (jalur mandiri). 

Ada satu penerbit yang saat ini sedang mengurus ISBN buku teman saya, sejak Agustus lalu hingga awal Desember ini belum juga keluar ISBNnya. Alasan Perpusnas menolak adalah karena buku yang berupa tesis itu, belum sepenuhnya dikonversi ke dalam format buku. Saya setuju dengan langkah yang diambil pihak Perpusnas ini. Biarlah ISBN diperuntukan untuk buku-buku yanglayak dibaca oleh masyarakat umum, buku-buku penelitian tidak perlu memiliki ISBN.

Langkah lain yang dilakukan oleh pihak Perpunas adalah aturan baru menerbitkan buku dalam bentuk Quick Response Code Book Number (selanjutnya disingkat QRCBN). Apa itu QRCBN? Mengutip laman ciptapublishing.id, QRCBN adalah sebuah teknologi pengidentifikasi sebuah buku yang berbentuk Quick Response (QR) Code atau kode batang, di mana hasil pindaiannya akan menampilkan lebih banyak informasi tentang buku yang sudah diterbitkan. Pelayanan QRCBN sepenuhnya gratis dan setiap buku yang sudah diterbitkan akan memiliki nomor identifikasi yang berbeda dengan buku yang lain.

Pada dasarnya, fungsi QRCBN ini memiliki fungsi yang sama seperti ISBN, yakni untuk memberikan identifikasi pada sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit, memperlancar distribusi buku, menjaga keamanan buku, dan sebagai media promosi yang sudah pasti menguntungkan penulis. Di tengah-tengah krisis ISBN, QRCBN menjadi solusi alternatif terbaik bagi para penulis. Seorang teman saya yang memiliki usaha penerbit sudah menerapkan layanan ini.

Kesimpulan

Krisis ISBN adalah sebuah kondisi ketika jumlah ISBN di suatu negara berkurang secara drastis, yang disebabkan oleh tingginya angka penerbitan buku ber-ISBN dalam waktu singkat. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Indonesia tengah mengalami krisis ISBN yang diperkirakan terjadi dalam kurun waktu yang relatif cukup singkat, yakni 4 tahun (2018-2022). Penyebabnya beragam, seperti menjamurnya penerbit-penerbit baru, kebutuhan ISBN bagi para akademisi atau dosen, dan lain-lain.

Terhadap krisis ini, pihak Perpusnas telah mengambil langkah konkrit, yaitu membatasi ISBN untuk buku kategori penelitian dan menciptakan aplikasi QRCBN yang fungsinya sama dengan ISBN. Langkah-langkah ini, menurut saya, cukup untuk meminimalisir penggunaan ISBN untuk buku yang tidak perlu.

Namun demikian, kalau boleh saya usul, pihak Pemerintah harus membatasi usaha-usaha penerbit yang kini menjamur di mana-mana. Pihak Perpusnas juga harus mulai membatasi jatah ISBN pada setiap penerbit, baik penerbit indie maupun penerbit mayor. Perpusnas harus meningkatkan seleksi yang ketat terhadap naskah buku yang akan memiliki ISBN. Sehingga, buku-buku yang diterbitkan itu benar-benar adalah buku-buku yang berkualitas dan bermanfaat bagi pembaca.

Sekian, dan semoga bermanfaat.

Salam literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun