Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nominee Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta. Melalui opini yang dituangkan, saya mengajak pembaca untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Penggembalaan dan Sikap dalam Penggembalaan

2 Oktober 2023   15:32 Diperbarui: 2 Oktober 2023   15:35 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lima tahun terakhir ini, saya tertarik mempelajari bidang kajian kepemimpinan Kristen. Karena ketertarikan itu, saya kemudian mengambil S-2 dalam bidang kajian Kepemimpinan Kristen. Saya melihat bahwa, ilmu kepemimpinan ini, sangat perlu dipelajari oleh setiap gembala sidang. Ilmu ini akan sangat berguna bagi seorang gembala dalam memimpin gereja dengan efektif pada abad 21. Oleh sebab itu, dalam tulisan kali ini, saya ingin mengajak setiap gembala sidang untuk memikirkan hakikat penggembalaan dan sikap dasar yang harus dikembangkan dalam penggembalaan.

Kita mulai dengan menelusuri arti kata 'gembala' dalam tradisi imperium. Dalam tradisi imperium, seperti Babilonia atau Assyria, kata 'gembala' (re'u) diartikan sebagai pemimpin. Para pemimpin, khususnya pemimpin masa depan, selalu dipahami sebagai orang-orang yang akan melindungi domba-domba, dalam artian menjaga semua orang. Jadi, 'gembala' dalam tradisi imperium dipahami sebagai seorang pemimpin yang bertugas untuk mengawasi dan melindungi rakyatnya dari ancaman.

Sedangkan, dalam tradisi kenabian mula-mula di Israel, Yahweh disebut sebagai Gembala, karena Pribadi-Nya yang aktif memimpin, menuntun, mengarahkan Israel dalam perjalanan dari tanah Mesir menuju Tanah Perjanjian (Kanaan). Sebagai contoh, dalam Mazmur 23, di situ, raja Daud menggambarkan Yahweh sebagai Gembala Israel yang tidak pernah terlelap (tidur) dalam memimpin, melindungi, dan memelihara domba-domba-Nya, umat Israel.

Dalam kitab Injil-injil, Yesus digambarkan sebagai gembala yang baik bagi domba-domba-Nya (baca: Yoh. 10:1-21). Mengapa Yesus digambarkan sebagai seorang gembala yang baik? Karena Dia bukan saja mencari seekor domba yang tersesat atau hilang saja, melainkan juga rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dalam injil Yohanes 21:15-19, Yesus Sang Gembala yang Baik, yang sudah bangkit dan mengalahkan kuasa maut itu, berdialog dengan Petrus di tepi pantai sembari memberinya amanat: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Jadi, tugas sebagai gembala itu sangat penting dan strategis.

Mengapa? Karena sebagai seorang gembala, ia harus mengawasi dan melindungi domba-dombanya. Kehilangan domba peliharaan, sekalipun hanya seekor saja, akan mencoreng nama baik dan kredibilitas sang gembala. Tidak hanya itu, karirnya sebagai gembala akan hancur. Demikian pengertian 'gembala' dalam tradisi imperium dan kenabian mula-mula di Israel.

Sekarang, kita akan beranjak lebih jauh dengan menelusuri arti kata 'penggembalaan' dalam konteks masa kini. Menurut Joni Stephen, penggembalaan pada dasarnya merupakan pelayanan yang memelihara dan membina kerohanian jemaat. Lebih jauh, M. Bons-Storm, mendefinisikan penggembalaan sebagai: a) mencari dan mengunjungi anggota jemaat satu per satu; b) mengabarkan firman Tuhan kepada mereka dalam situasi hidup mereka; c) melayani mereka sama seperti Yesus melayani mereka; d) supaya mereka lebih menyadari akan iman mereka dan dapat mewujudkan iman itu dalam hidup sehari-hari. 

Kemudian, dalam Dokumen Keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (DKG-PGI) 2009-2014 dituliskan di situ bahwa penggembalaan merupakan pelayanan gereja yang memelihara, menuntun, membimbing, memberi pengertian, mengarahkan, dan menyadarkan warga jemaat bagi keutuhan hidupnya agar jemaat hidup dalam kasih, pengampunan, dan keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus.

Definisi di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar teolog pastoral Indonesia pada masa kini memahami pelayanan penggembalaan sebagai pelayanan yang diarahkan kepada individu-individu dalam gereja. Hal ini bisa dimengerti, oleh karena pelayanan penggembalaan yang dipraktikkan selama ini, dipengaruhi oleh pemahaman pelayanan penggembalaan dari gereja-gereja di Eropa, terutama Belanda yang sangat bercorak tradisional, dan juga dari Amerika Utara yang menekankan pelayanan pastoral individual.

Pemahaman pelayanan penggembalaan yang sempit dan terbatas ini, mendapat kritik yang tajam dari sejumlah teolog pastoral. Misalnya, Daniel Susanto dalam artikel ilmiahnya yang berjudul "Menggumuli Teologi Pastoral yang Relevan bagi Indonesia" menyatakan bahwa, pemahaman pelayanan penggembalaan yang bersifat sempit dan terbatas ini, sebenarnya tidak sesuai dengan konteks Indonesia. 

Menurutnya, persoalan-persoalan yang dihadapi di Indonesia, jauh lebih sulit dan lebih kompleks dari hanya persoalan-persoalan individual semata. Adapun persoalan-persoalan yang lebih sulit itu seperti persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi, dan ekologi yang membutuhkan tanggapan pastoral secara serius.

Senada dengan itu, Ignatius L. Madya Utama, dalam artikel ilmiahnya yang berjudul "Berpastoral Seluas Realitas Kehidupan dengan Penuh Integritas" menyatakan bahwa, istilah 'pelayanan pastoral' seringkali diidentikan dengan pastoral care atau pelayanan peribadatan dan sakramental. 

Padahal, menurut dia, berpastoral secara benar berarti melakukan pelayanan pastoral seluas realitas kehidupan manusia dan seluruh realitas kehidupan masyarakat. F. Haarsma berpendapat, penggunaan yang terbatas akan istilah pastoral bagi pemeliharaan jiwa perorangan atau kelompok kecil ini tidak dapat dibenarkan, apabila berpangkal pada simbol biblis dari gembala. 

Menurutnya, pastorat tidak hanya mengarahkan diri pada pembebasan dari dosa, rasa bersalah, takut dan bimbang, putus asa dan benci, tetapi juga pada pembebasan dari kekuasaan ekonomi, kebudayaan, politik yang menghalangi manusia untuk menjadi manusia.

Jadi, sebenarnya, pengertian 'penggembalaan' itu tidak terbatas hanya pada jemaat atau sekelompok orang dalam ruang gereja (status quo), tetapi juga pada masyarakat umum di ruang-ruang publik yang mengalami pelbagai persoalan kompleks (misalnya, persoalan kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan gender, dan lain sebagainya). Kesimpulan ini bukan tanpa dasar alkitabiah. Kesimpulan ini justru berdasar pada Alkitab.

Bukankah Injil-injil telah memperlihatkan penggembalaan Yesus yang bersifat publik? Kita membaca misalnya, Yesus melakukan kunjungan, percakapan pastoral, mengajar, dan menyembuhkan warga lintas budaya, agama, etnis, ideologi, dan politik. 

Tidak hanya itu saja, Yesus mampu menggerakkan dan memberdayakan masyarakat lintas agama, budaya, etnis, dan ideologi untuk tujuan-tujuan Kerajaan Allah. Bagi saya pribadi, itulah penggembalaan yang sejati, pelayanan yang menyentuh realitas ruang publik. Dengan demikian, gereja-gereja pada konteks masa kini diharapkan mempraktekkan pelayanan penggembalaan, seperti yang Yesus lakukan di abad pertama.

Setelah melihat definisi gembala dan penggembalaan, maka pada bagian selanjutnya, kita akan melihat sekilas beberapa hal mengenai sikap dasar dari pekerjaan pastoral (penggembalaan) dalam konteks sekarang (dunia modern).

Sikap dasar dari pekerjaan pastoral atau penggembalaan adalah kesanggupan untuk ikut membimbing sesama manusia ke jalan kebahagiaan menurut ajaran-ajaran injil. Wendy Sepmady Hutahaean dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Pastoral mengusulkan bebarapa sikap dasar yang perlu diperhatikan untuk perencanaan dan pelaksanaan pastoral modern, antara lain sebagai berikut.

Pertama, pengakuan dan penghormatan martabat manusia. Ini merupakan sikap dasar dan sentral dari segenap kebijaksanaan pastoral modern, yang didasarkan pada suatu nilai kemanusiaan yang universal, yaitu martabat manusia. Sikap ini mengandung penolakkan tegas dari segala cara dan kebijakan pemerintah/swasta yang bertentangan dengan martabat manusia.

Kedua, kesadaran mengenai realita dalam arti seluas-luasnya yang harus menjadi pangkalan dan tujuan segenap usaha. Sikap ini mengandung penolakan segala bentuk romantisme murah dan palsu untuk mengaburkan dan menutup segala kekurangan, kegagalan, dan penyelewengan dalam usaha membantu sesama manusia. 

Kesadaran mengenai realitas berarti juga membuka mata untuk realitas social dan kebudayaan yang berlainan dalam masyarakat /kelompok dalam Masyarakat. Kebijakan pastoral yang realistis bertolak dari kebutuhan yang dirasakan belum tentu tergolong dalam kebutuhan yang riil (nyata). Unsur yang penting dari kesadaran tentang realitas adalah pengetahuan tentang 'obyek' (orang yang dibimbing) dari segala aspek kehidupan mereka.

Ketiga, kesadaran tentang proses perubahan sosial sebagai perubahan struktural yang multidimensional dapat menuju ke arah perkembangan yang selaras demi kesejahteraan manusia (sosiologis modern). Struktur kelompok, yaitu susunan intern yang yang terdiri atas hubungan tertentu/penggolongan status para anggota yang berkaitan dengan peran sosialnya masing-masing dan bersifat agak stabil. 

Struktur ini memungkinkan kelangsungan kehidupan kelompok dan pelaksanaan fungsinya. Proses perubahan structural ini adalah multidimensional. Keseluruhannya mengingatkan suatu rekasi berantai yang mulai pada beberapa tempat dan bergandengan dengan reaksi-reaksi lain yang akhirnya meliputi seluruh struktur masyarakat.

Keempat, kesadaran bahwa perkembangan yang wajar tergantung pada aouto-aktivitas, baik individu maupun kolektif. Pandangan ini sesuai dengan pengakuan dan penghormatan martabat manusia yang bukan merupakan mahkluk yang serba otomatis, yang dapat diramalkan dan ditentukan lebih dahulu, melainkan makhluk dengan pikiran dan segala aktivitasnya yang dinamis dan tidak dapat diketahui terlebih dahulu. 

Pikiran dan aktivitas ini dapat dibimbing karena manusia adalah mahkluk sosial dan hidup berkelompok, yang memiliki struktur dan pimpinan serta fungsi-fungsinya. Pastoral atau penggembalaan bertujuan menghilangkan unsur-unsur disfungsional dari proses perubahan sosial yang struktural dan multidimensional, guna membimbing ke arah keselarasan demi kesejahteraan jemaat.

Kelima, kesadaran tentang efesiensi yang terwujud dalam program yang terlaksana. Orang dibantu untuk menjadi realistis dan menjadi aktif. Semuanya ini harus diprogramkan dan dilaksanakan, sehingga hasilnya dapat memupuk dan memperkuat auto-aktivitas jemaat. Tujuan umum perencanaan dan pelaksanaan kebijakan modern adalah untuk menjaga dan memperbaiki kesejahteraan jemaat dengan bimbingan auto-aktivitas, baik secara individu maupun secara kolektif dalam usaha menyelaraskan proses perubahan sosial yang multidimensional.

Saya kira itu dulu yang bisa saya sampaikan. Besok saya akan lanjutkan lagi tulisan saya ini. Terima kasih ya, karena sudah mampir dan membaca tulisan saya. Semoga berguna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun