Saya ingin memulai tulisan pertama saya di Kompasiana ini dengan sebuah pengalaman pribadi, yang saya harap pengalaman saya ini, dapat memberkati dan menginspirasi para pembaca Kompasiana.
Selama tinggal di Jembatan Lima Jakarta Barat, saya pernah satu kali keracunan makanan. By the way, apakah kalian juga pernah keracunan makanan seperti saya?
Saya lupa persis kejadiannya tahun berapa. Sepertinya, itu adalah tahun-tahun awal saya tinggal di Jakarta.
Ketika mengalami keracunan makanan pertama kali, perut saya terasa berputar-putar, sakit sekali, rasanya ingin muntah. Dan benar, saya akhirnya muntah-muntah.
Itu terjadi tengah malam, sekitar pukul 12. Saat itu, saya sedang berada di lantai 4, sendirian.
Dalam kondisi lemas, saya paksakan ke kamar mandi untuk memuntahkan makanan yang tadi siang saya makan di warteg depan gereja - salah satu warteg langganan saya.
Setelah dimuntahkan, saya menelpon seorang teman baik untuk datang menjemput saya di gereja. Puji Tuhan, teman baik itu akhirnya datang menjemput saya dan membawa saya ke gereja (bukan rumah sakit, ya!), di mana dia tinggal dan melayani saat itu.
Saya tidak tahu nasib saya sepanjang malam, seandainya teman saya tidak datang menjemput saya. Malam itu, saya terpaksa nginap di tempatnya, hingga kondisi saya membaik.
Sejak peristiwa malam itu, saya tidak pernah lagi makan makanan warteg depan gereja. Saya putuskan untuk masak sendiri. Masak sendiri lebih terjamin ketimbang kita beli di warteg. Sebab, kita tidak pernah tahu bagaimana mereka mengolahnya.
Setelah mengalami pengalaman keracunan makanan, dan pengalaman sakit lainnya, saya mulai mengerti sekarang apa arti perkataan Tuhan Yesus: "Aku datang memberikan hidup, bahkan memberikan hidup yang berkelimpahan." (Yoh. 10:10).
Saya berpikir dan merenung: Waktu saya sehat, saya bisa membantu orang lain, saya bisa melayani jemaat Tuhan, saya bisa berjalan dan berlari. Tetapi, ketika saya terbaring sakit selama beberapa hari, saya tidak bisa berbuat apa-apa, segala sesuatu yang saya perlukan dibantu oleh orang lain.
Saya mulai mengerti apa bedanya "sekadar hidup" dan "hidup yang berkelimpahan." Waktu kita sekarat, kita mungkin masih hidup, tetapi tidak mungkin dapat menolong orang lain.
Tetapi, ketika kita memiliki kekuatan untuk menata hidupmu sendiri dan masih memiliki kekuatan lebih untuk menolong orang lain yang dalam kesusahan, itu namanya hidup yang berkelimpahan. Hidup berkelimpahan adalah soal menolong orang yang kesusahan.
Selama masih kuat dan sehat, selama masih diberikan kesempatan hidup, baiklah kita membantu orang lain yang membutuhkan, mengajak orang lain pergi ke gereja, berdoa untuk orang lain, dan mengabarkan Injil Kerajaan Allah kepada orang lain.
Sebagaimana Yesus Kristus memberikan hidup yang berkelimpahan kepada kita, marilah kita juga membuat hidup orang lain menjadi berkelimpahan dengan berkat rohani daripada Yesus Kristus.
Saya rasa itu dulu yang bisa saya ceritakan pada tulisan perdana di Kompasiana ini. Terima kasih sudah mampir membaca cerita saya. Kita jumpa lagi dalam tulisan-tulisan saya mendatang, yang tentunya memberkati dan menginspirasi kalian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H