Mohon tunggu...
Billy Gracia Mambrasar
Billy Gracia Mambrasar Mohon Tunggu... -

Billy Mambrasar is a Papuan, working as an engineer, graduated from the Faculty of Mining and Petroleum Engineering , ITB, and continued his Masters Degree in Project Management (MBA) from the Australian National University, with Australia Awards Scholarship. He has a deep interest, observing Social and Political condition of Indonesia generally, and Papua specifically. He currently works full time designing, completing, and project managing a Multi Billion USD project, in Indonesia, as a project engineer. However, during his off days, he spent them advising the Ministry of Education and Cultural of Indonesia, in a special unit called: Desk Papua. He also is a CEO of a nonprofit Organization called: Kitong Bisa, which provides education services (consulting) for other education nonprofits. Billy's writing focuses on the area of Political and Social Issues in Indonesia, and also their interface with Business, Industry and Technology, especially education and human development in Papua, Eastern Indonesia, and the whole Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua Tanah yang Damai

8 Juni 2017   12:50 Diperbarui: 8 Juni 2017   14:05 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain dari berbagai agama siap berlaga di tengah lapangan

Selain pertanyaan: Apakah Orang Papua masih makan orang, adalah pertanyaan: "Apakah semua orang Papua Beragama Kristen?", Saya akan menjawab: "Tidak, karena orang-orang Asli Papua di beberapa Wilayah serperti Fakfak, Kaimana dan Teluk Bintuni merupakan daerah dengan mayoritas penduduk muslim sejak ratusan tahun lalu. Mereka akan menimpali: "Maksud kami, orang asli Papua, hitam dan keriting, bukan pendatang dari makassar atau jawa", saya lalu menjawab balik: "Yah betul, Papua asli". Saya saat itu memang belum berkesempatan menginjak Fakfak, Kaimana, atau Teluk Bintuni, dan lebih dari sewindu kemudian, tidak disangka saya bolak-balik daerah ini untuk menjalankan pekerjaan saya di Yayasan Kitong Bisa.

Malam ini, adalah malam pertama saya menghabiskan Bulan Ramadhan di Kota Pala Fakfak, Salah Satu Kabupaten di Papua Barat ini. Bersama dengan teman saya: Nani Uswanas, yang adalah orang Papua Asli Fakfak beragama muslim yang memberikan saya tumpangan di rumah keluarganya selama di sini, tiap malam, kami menonton pertandingan futsal persahabatan, mengisi waktu tunggu sahur, yang dinamakan: "Sahur Cup".

Cerita saya ini ini memberi gambaran mengapa di Daerah Mayoritas Muslim di Papua, kerukunan antar umat beragama begitu tinggi dan tujuannya agar memberikan himbauan bagaimana indahnya adat orang asli Papua ini dapat dipertahankan selamanya. Saya tegaskan bahwa tulisan saya sebagai anak Papua ini lebih fokus kepada unsur penjabaran budaya Tanah Papua dari wilayah adat Bomberay ini, dan bukan untuk menyerang agama tertentu. Mari belajar dan refleksi bersama....

Persiapan Meeting dengan PEMDA Kabupaten Fakfak di Kantor Bupati
Persiapan Meeting dengan PEMDA Kabupaten Fakfak di Kantor Bupati
Disaat anak dan remaja di Jakarta menyanyikan lagu pembantaian sambil membawa obor dan rebana, Remaja Muslim Papua di Fakfak memilih bermain futsal setelah tarawih untuk mempromosikan solidaritas persaudaraan beda agama

Peluit tanda pertandingan akan di mulai ditiup, dan dua tim berseragam resmi futsal beranggotakan kira-kira 10 orang dalam satu tim memasuki lapangan futsal, sebagian besar hitam keriting, asli Papua, dan tampak satu atau dua orang mengenakan Kalung Salib atau atribut agama nonmuslim. Saya tertarik dan bertanya kepada panitia, untuk apa pertandingan ini diadakan, dan apa filosofi di balik diadakannya pertandingan persahabatan ini.

Para pemain dari berbagai agama siap berlaga di tengah lapangan
Para pemain dari berbagai agama siap berlaga di tengah lapangan
Ketua panitia acara ini, seorang putra Fakfak menjelaskan bahwa mereka ingin memberikan kesempatan kepada remaja Papua di Fakfak untuk dapat mengisi waktu mereka menunggu sahur dari setelah tarawih dengan kegiatan yang produktif (Saya sekejap terkesan, melihat betapa cerdasnya mereka mengisi waktu tunggu antara sahur dan tarawih dengan kegiatan yang positif). Sesekali diskusi kami terhenti sejenak saat lantunan ayat suci dan nyanyian rohani muslim berkumandang di speaker gedung futsal indoor tersebut.

Perbincangan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan oleh sang penyelenggara ini, bahwa mereka mengundang remaja seluruh masjid sekota Fakfak, untuk bertanding, sekaligus membina silahturahmi di antara mereka (lagi, saya terkesan dengan pendekatan ini, karena saya melihat, dengan melibatkan perkumpulan remaja masjid dengan aktifitas beragam seperti ini, maka perkumpulan remaja masjid ini dapat menggantikan peran Karang Taruna yang telah di bentuk oleh negara bertahun lalu, akan tetapi semakin sirna perannya bagaikan di telan bumi). Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi perkumpulan remaja masjid untuk menunjukkan eksistensi mereka secara positif.

Bersama Ketua Panitia dan Pengurus acara Sahur cup
Bersama Ketua Panitia dan Pengurus acara Sahur cup
Inklusifitas dan pelibatan kegiatan Remaja Masjid untuk pemuda non-muslim untuk meningkatkan rasa persaudaraan dan mengurangi konflik

Berikutnya, saya penasaran ketika melihat bahwa penonton dan pemain dari latar belakang agama yang berbeda berinteraksi dengan hangat di lapangan, seperti ada penonton wanita yang mengenakan hijab bergandeng tangan dengan temannya yang menggunakan kalung Rosario. Begitu pula pemain futsal sendiri, ada yang mengenakan gelang salib. 

Sang ketua panitia menjawab bahwa memang mereka memberikan rekomendasi kepada tim futsal dari remaja masjid tersebut untuk inklusif dan mengajak mereka yang berasal dari latar belakang Nasrani atau Katolik untuk menjadi bagian dari tim futsal tersebut. Saya sekali lagi betul-betul terkesan, dan ini adalah alasan saya menonton pertandingan ini beberapa malam berturut-turut sebelum harus kembali ke Jakarta, selain memang setiap malam saya menikmati permainan Indah yang disuguhkan oleh bakat-bakat Putra Papua dalam mengolah bola di lapangan.

Para Pemain dari remaja berbagai Masjid berlaga di lapangan
Para Pemain dari remaja berbagai Masjid berlaga di lapangan
Hal ini sangat bertautan dengan teori yang di hasilkan oleh Gunnar Lemmer dan Ulrich Wagner para peneliti jerman dari Philipps-University Marburg pada tahun 2015, yang mengatakan bahwa pengurangan konflik adalah bukan dengan membuat sekat-sekat pemisah antar warga makin melebar, akan tetapi justru melebur dan meningkatkan kontak antara group yang berbeda untuk mengurangi pandangan yang salah satu sama lain.

Memahami Filosofi Tiga (3) Batu Satu (1) Tungku -- Hukum adat yang menyatukan persaudaraan

Kunjungan saya ke Fakfak ini memang dalam rangka menjalankan program kerja kewirausahaan dari Yayasan Kami: Kitong Bisa, akan tetapi, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran berharga, yang ingin saya bagikan untuk menginspirasi seluruh Indonesia: sekali-kali kita harus belajar dari Papua, yang saya sering istilahkan: Jangan hanya melihat Indonesia dari Jakarta keluar, tetapi juga mencoba melihat Indonesia dari ujung-ujung, seperti Papua, untuk mendapatkan perspektif yang kaya.

Saya sekarang dapat dengan percaya diri menjawab teman-teman yang bertanya: Apakah semua orang Papua Asli beragama Kristen? Tidak.. jauh sebelum integrasi Papua ke Indonesia dan tingginya angka Imigrasi ke tanah ini, saudara-saudara kami di wilayah barat tanah Papua memang mayoritas beragama muslim, karena paparan saudagar dari Arab dan India yang merantau untuk mencari rempah-rempah seperti: Pala.

Saya juga akan menjawab pertanyaan yang sering muncul: "Apakah kamu sebagai non- muslim Papua merasa Risih berinteraksi dengan yang Muslim?". Saya akan menjawab: sama sekali tidak. Adat di Fakfak dan sekitarnya yang melandaskan filosofi 3 Batu Satu tungku (yang merujuk kepada 3 Agama besar disini yaitu: Islam, Katolik dan Kristen), harus bertumpu satu sama lain di dalam sebuah rumah, agar mereka dapat berdiri dan membuat api. Apabila satu batu tersebut terjatuh, maka semua akan jatuh, dan api tidak akan pernah tercipta untuk memasak kebutuhan rumah tangga.

Bersama Nani Uswanas, Teman Saya yang adalah Papua Asli dan Beragama Islam, di depan Gapura di sebuah kampung yang khas fakfak, Gapura Sebelah Kanan Berlambang Salib, Sebelah Kiri Berlambang Masjid
Bersama Nani Uswanas, Teman Saya yang adalah Papua Asli dan Beragama Islam, di depan Gapura di sebuah kampung yang khas fakfak, Gapura Sebelah Kanan Berlambang Salib, Sebelah Kiri Berlambang Masjid
Saya juga menikmati 5 hari saya tinggal di rumah Keluarga Uswanas, muslim Papua yang mau menampung saya, menghidangkan makan siang dengan rela, ketika Ibunda dari Nani tetap puasa tetapi menyediakan santap siang tersebut: Respect saya untuk Keluarga ini.

Harapan ke depannya....

"Papeda" merupakan makanan khas penduduk Papua wilayah pesisir yang sering di terjemahkan dalam bentuk kepanjangan: "Papua Penuh Damai" termanifestasikan dengan baik dalam adat istiadat Wilayah Adat Bomberay di Fakfak. Harapan besar kami taruh untuk Dewan Adat Papua agar tetap patuh pada tujuan mulia ini, dan memegang teguh falsafah 3 batu satu tungku ini. Imigrasi besar-besaran ke Papua telah merusak tatanan sosial masyarakat Papua, dari sisi ekonomi, dan penciptaan konflik horizontal. Ketakutan kami anak-anak Papua adalah bahwa radikalisme yang terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, dan konflik-konflik sosial yang terjadi di daerah lain di Indonesia akan terbawa ke tanah damai ini.

Pembakaran (oleh oknum tertentu bukan masyarakat Papua) Mesjid Tolikara, Pembakaran Alkitab di Jayapura, bukan kita, itu bukan adat Papua. Sejatinya kita harus cerdas menyikapi dan melawan pihak-pihak yang ingin memecah belah dan mengadu domba kita satu darah Papua, untuk kepentingan mereka, seperti yang telah mereka lakukan di Ambon, Poso, dan daerah lain. Mari kita lawan tanpa takut, dengan cerdas tentunya, bergandeng tangan bersama.

Untuk generasi muda Papua, ingat bahwa Satu kita Papua, walaupun berbeda agama, suku dan Bahasa. Mari memegang dan menghargai keberagaman tersebut sebagai sebuah harta kekayaan yang harus kita jaga dari kerusakan yang dimunculkan, dan dibawa dari luar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun