Memahami Filosofi Tiga (3) Batu Satu (1) Tungku -- Hukum adat yang menyatukan persaudaraan
Kunjungan saya ke Fakfak ini memang dalam rangka menjalankan program kerja kewirausahaan dari Yayasan Kami: Kitong Bisa, akan tetapi, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran berharga, yang ingin saya bagikan untuk menginspirasi seluruh Indonesia: sekali-kali kita harus belajar dari Papua, yang saya sering istilahkan: Jangan hanya melihat Indonesia dari Jakarta keluar, tetapi juga mencoba melihat Indonesia dari ujung-ujung, seperti Papua, untuk mendapatkan perspektif yang kaya.
Saya sekarang dapat dengan percaya diri menjawab teman-teman yang bertanya: Apakah semua orang Papua Asli beragama Kristen? Tidak.. jauh sebelum integrasi Papua ke Indonesia dan tingginya angka Imigrasi ke tanah ini, saudara-saudara kami di wilayah barat tanah Papua memang mayoritas beragama muslim, karena paparan saudagar dari Arab dan India yang merantau untuk mencari rempah-rempah seperti: Pala.
Saya juga akan menjawab pertanyaan yang sering muncul: "Apakah kamu sebagai non- muslim Papua merasa Risih berinteraksi dengan yang Muslim?". Saya akan menjawab: sama sekali tidak. Adat di Fakfak dan sekitarnya yang melandaskan filosofi 3 Batu Satu tungku (yang merujuk kepada 3 Agama besar disini yaitu: Islam, Katolik dan Kristen), harus bertumpu satu sama lain di dalam sebuah rumah, agar mereka dapat berdiri dan membuat api. Apabila satu batu tersebut terjatuh, maka semua akan jatuh, dan api tidak akan pernah tercipta untuk memasak kebutuhan rumah tangga.
Harapan ke depannya....
"Papeda" merupakan makanan khas penduduk Papua wilayah pesisir yang sering di terjemahkan dalam bentuk kepanjangan: "Papua Penuh Damai" termanifestasikan dengan baik dalam adat istiadat Wilayah Adat Bomberay di Fakfak. Harapan besar kami taruh untuk Dewan Adat Papua agar tetap patuh pada tujuan mulia ini, dan memegang teguh falsafah 3 batu satu tungku ini. Imigrasi besar-besaran ke Papua telah merusak tatanan sosial masyarakat Papua, dari sisi ekonomi, dan penciptaan konflik horizontal. Ketakutan kami anak-anak Papua adalah bahwa radikalisme yang terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, dan konflik-konflik sosial yang terjadi di daerah lain di Indonesia akan terbawa ke tanah damai ini.
Pembakaran (oleh oknum tertentu bukan masyarakat Papua) Mesjid Tolikara, Pembakaran Alkitab di Jayapura, bukan kita, itu bukan adat Papua. Sejatinya kita harus cerdas menyikapi dan melawan pihak-pihak yang ingin memecah belah dan mengadu domba kita satu darah Papua, untuk kepentingan mereka, seperti yang telah mereka lakukan di Ambon, Poso, dan daerah lain. Mari kita lawan tanpa takut, dengan cerdas tentunya, bergandeng tangan bersama.
Untuk generasi muda Papua, ingat bahwa Satu kita Papua, walaupun berbeda agama, suku dan Bahasa. Mari memegang dan menghargai keberagaman tersebut sebagai sebuah harta kekayaan yang harus kita jaga dari kerusakan yang dimunculkan, dan dibawa dari luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H