Selain pertanyaan: Apakah Orang Papua masih makan orang, adalah pertanyaan: "Apakah semua orang Papua Beragama Kristen?", Saya akan menjawab: "Tidak, karena orang-orang Asli Papua di beberapa Wilayah serperti Fakfak, Kaimana dan Teluk Bintuni merupakan daerah dengan mayoritas penduduk muslim sejak ratusan tahun lalu. Mereka akan menimpali: "Maksud kami, orang asli Papua, hitam dan keriting, bukan pendatang dari makassar atau jawa", saya lalu menjawab balik: "Yah betul, Papua asli". Saya saat itu memang belum berkesempatan menginjak Fakfak, Kaimana, atau Teluk Bintuni, dan lebih dari sewindu kemudian, tidak disangka saya bolak-balik daerah ini untuk menjalankan pekerjaan saya di Yayasan Kitong Bisa.
Malam ini, adalah malam pertama saya menghabiskan Bulan Ramadhan di Kota Pala Fakfak, Salah Satu Kabupaten di Papua Barat ini. Bersama dengan teman saya: Nani Uswanas, yang adalah orang Papua Asli Fakfak beragama muslim yang memberikan saya tumpangan di rumah keluarganya selama di sini, tiap malam, kami menonton pertandingan futsal persahabatan, mengisi waktu tunggu sahur, yang dinamakan: "Sahur Cup".
Cerita saya ini ini memberi gambaran mengapa di Daerah Mayoritas Muslim di Papua, kerukunan antar umat beragama begitu tinggi dan tujuannya agar memberikan himbauan bagaimana indahnya adat orang asli Papua ini dapat dipertahankan selamanya. Saya tegaskan bahwa tulisan saya sebagai anak Papua ini lebih fokus kepada unsur penjabaran budaya Tanah Papua dari wilayah adat Bomberay ini, dan bukan untuk menyerang agama tertentu. Mari belajar dan refleksi bersama....
Peluit tanda pertandingan akan di mulai ditiup, dan dua tim berseragam resmi futsal beranggotakan kira-kira 10 orang dalam satu tim memasuki lapangan futsal, sebagian besar hitam keriting, asli Papua, dan tampak satu atau dua orang mengenakan Kalung Salib atau atribut agama nonmuslim. Saya tertarik dan bertanya kepada panitia, untuk apa pertandingan ini diadakan, dan apa filosofi di balik diadakannya pertandingan persahabatan ini.
Perbincangan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan oleh sang penyelenggara ini, bahwa mereka mengundang remaja seluruh masjid sekota Fakfak, untuk bertanding, sekaligus membina silahturahmi di antara mereka (lagi, saya terkesan dengan pendekatan ini, karena saya melihat, dengan melibatkan perkumpulan remaja masjid dengan aktifitas beragam seperti ini, maka perkumpulan remaja masjid ini dapat menggantikan peran Karang Taruna yang telah di bentuk oleh negara bertahun lalu, akan tetapi semakin sirna perannya bagaikan di telan bumi). Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi perkumpulan remaja masjid untuk menunjukkan eksistensi mereka secara positif.
Berikutnya, saya penasaran ketika melihat bahwa penonton dan pemain dari latar belakang agama yang berbeda berinteraksi dengan hangat di lapangan, seperti ada penonton wanita yang mengenakan hijab bergandeng tangan dengan temannya yang menggunakan kalung Rosario. Begitu pula pemain futsal sendiri, ada yang mengenakan gelang salib.Â
Sang ketua panitia menjawab bahwa memang mereka memberikan rekomendasi kepada tim futsal dari remaja masjid tersebut untuk inklusif dan mengajak mereka yang berasal dari latar belakang Nasrani atau Katolik untuk menjadi bagian dari tim futsal tersebut. Saya sekali lagi betul-betul terkesan, dan ini adalah alasan saya menonton pertandingan ini beberapa malam berturut-turut sebelum harus kembali ke Jakarta, selain memang setiap malam saya menikmati permainan Indah yang disuguhkan oleh bakat-bakat Putra Papua dalam mengolah bola di lapangan.
Memahami Filosofi Tiga (3) Batu Satu (1) Tungku -- Hukum adat yang menyatukan persaudaraan
Kunjungan saya ke Fakfak ini memang dalam rangka menjalankan program kerja kewirausahaan dari Yayasan Kami: Kitong Bisa, akan tetapi, saya mendapatkan banyak sekali pelajaran berharga, yang ingin saya bagikan untuk menginspirasi seluruh Indonesia: sekali-kali kita harus belajar dari Papua, yang saya sering istilahkan: Jangan hanya melihat Indonesia dari Jakarta keluar, tetapi juga mencoba melihat Indonesia dari ujung-ujung, seperti Papua, untuk mendapatkan perspektif yang kaya.
Saya sekarang dapat dengan percaya diri menjawab teman-teman yang bertanya: Apakah semua orang Papua Asli beragama Kristen? Tidak.. jauh sebelum integrasi Papua ke Indonesia dan tingginya angka Imigrasi ke tanah ini, saudara-saudara kami di wilayah barat tanah Papua memang mayoritas beragama muslim, karena paparan saudagar dari Arab dan India yang merantau untuk mencari rempah-rempah seperti: Pala.
Saya juga akan menjawab pertanyaan yang sering muncul: "Apakah kamu sebagai non- muslim Papua merasa Risih berinteraksi dengan yang Muslim?". Saya akan menjawab: sama sekali tidak. Adat di Fakfak dan sekitarnya yang melandaskan filosofi 3 Batu Satu tungku (yang merujuk kepada 3 Agama besar disini yaitu: Islam, Katolik dan Kristen), harus bertumpu satu sama lain di dalam sebuah rumah, agar mereka dapat berdiri dan membuat api. Apabila satu batu tersebut terjatuh, maka semua akan jatuh, dan api tidak akan pernah tercipta untuk memasak kebutuhan rumah tangga.
Harapan ke depannya....
"Papeda" merupakan makanan khas penduduk Papua wilayah pesisir yang sering di terjemahkan dalam bentuk kepanjangan: "Papua Penuh Damai" termanifestasikan dengan baik dalam adat istiadat Wilayah Adat Bomberay di Fakfak. Harapan besar kami taruh untuk Dewan Adat Papua agar tetap patuh pada tujuan mulia ini, dan memegang teguh falsafah 3 batu satu tungku ini. Imigrasi besar-besaran ke Papua telah merusak tatanan sosial masyarakat Papua, dari sisi ekonomi, dan penciptaan konflik horizontal. Ketakutan kami anak-anak Papua adalah bahwa radikalisme yang terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, dan konflik-konflik sosial yang terjadi di daerah lain di Indonesia akan terbawa ke tanah damai ini.
Pembakaran (oleh oknum tertentu bukan masyarakat Papua) Mesjid Tolikara, Pembakaran Alkitab di Jayapura, bukan kita, itu bukan adat Papua. Sejatinya kita harus cerdas menyikapi dan melawan pihak-pihak yang ingin memecah belah dan mengadu domba kita satu darah Papua, untuk kepentingan mereka, seperti yang telah mereka lakukan di Ambon, Poso, dan daerah lain. Mari kita lawan tanpa takut, dengan cerdas tentunya, bergandeng tangan bersama.
Untuk generasi muda Papua, ingat bahwa Satu kita Papua, walaupun berbeda agama, suku dan Bahasa. Mari memegang dan menghargai keberagaman tersebut sebagai sebuah harta kekayaan yang harus kita jaga dari kerusakan yang dimunculkan, dan dibawa dari luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H