Mohon tunggu...
Billy Antoro
Billy Antoro Mohon Tunggu... -

Senang pada hal-hal baru dan menuliskannya di media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rumah Dunia, Bangun Karakter Melalui Seni dan Sastra

7 Maret 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:00 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sayangnya, saat di kota, mereka hanya menjadi warga marjinal lantaran tak punya cukup kecakapan untuk bekerja. Sebagian menggelandang dan menjalani pekerjaan tak manusiawi; penjahat, bodyguard, copet, dan lain-lain. “Orang-orang kota sebagai simbol modernisasi membiarkan orang-orang kampung. Itu proyek mereka,” ungkap Gong. “Anak jalanan dibiarkan tumbuh.”

Maka Gong berusaha membangun kampung. Caranya lewat kegiatan seni dan sastra. Ia mendirikan panggung sebagai sarana pembentukan karakter. “Karena panggung bisa membuat orang berbeda,” katanya. “Tidak semua orang berani berdiri di panggung kalau dia tidak luar biasa.”

Selalu Gong katakan pada anak-anak pegiat Rumah Dunia, bahwa hanya orang hebat yang ada di panggung, berdiri dan berbicara pada banyak orang. “Untuk bisa hebat dia harus membaca, dengan membaca otak terisi penuh. Itu wawasan,” katanya. “Dengan wawasan dia lebih dari yang lain. Itu karakter calon pemimpin; percaya diri, bicara tidak tong kosong nyaring bunyinya, terstruktur, dan ada manfaatnya.”

Di panggung anak langsung tampil, bercerita apa saja termasuk tentang keluarganya. “Tidak malu bicara bapaknya tukang ojek, dan sebagainya. Itu karakter,” ujar Gong. Beda dengan para pemimpin sekarang yang tidak dilatih karakter sehingga orientasi hidupnya hanya materi. “Dia malu menyebut dirinya tidak sarjana. Sekarang yang terjadi memalsukan ijazah,” tambahnya.

Nakal kreatif
Gong melihat pendidikan karakter kurang ditanamkan di sekolah-sekolah. Guru tak bisa memahami karakter siswa yang dinamis. Mestinya guru memberi keleluasan pada siswa untuk berekspresi dna menyampaikan pendapat. “Berikan pelajaran berbicara satu jam saja satu minggu,” ujarnya. “Mereka disuruh bicara di depan teman-temannya, berbicara apa saja.”

Gong berharap siswa kreatif, lebih jauh lagi ‘nakal’. Nakal kreatif. Misalnya saat guru menerangkan pelajaran, siswa berani memprotes.

Satu lagi yang ia tekankan adalah budaya membaca di kalangan siswa. “Baca buku dan beli buku. Ramaikan perpustakaan!” pesannya.

Billy Antoro

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun