Di ujung bibir Cepi, batang tanaman perdu itu bergoyang-goyang Caisar. Lalu ia melesat ketika mulut Cepi menyembur. Batang itu jatuh ke atas kepala Memet yang tengah duduk melamun di sampingnya.
“Kalau kau punya banyak mobil, apa yang akan kau lakukan, Cep?” tanya Memet sembari menoleh ke Cepi. Ia tengah melamunkan mobil-mobil super mewah milik TCW, adik Gubernur Banten RAC, yang disita KPK.
Cepi yang tangannya sudah menjulur ingin mengambil batang perdu di atas rambut Memet segera menariknya kembali. “Yah, kalau aku sih, akan menyewakannya ke orang lain, Met. Kan lumayan buat tambah-tambah penghasilan.”
Dari jawaban itu, Memet mendapati bahwa pemikiran Cepi tak mencerminkan orang kaya dan tak layak kaya. Pasti sangat berbeda dengan pikiran TCW di mana biaya perawatan mobil-mobilnya mencapai puluhan juta sebulan.
“Pikiranmu sangat sederhana, Cep. Aku lagi mencoba memahami jalan pikiran TCW terkait kepemilikan mobil. Ia punya banyak mobil, bahkan sejumlah anggota DPRD Banten dan artis diberikan mobil olehnya. Apa sih yang sebenarnya ingin dia tunjukkan ke publik?” Memet geleng-geleng kepala. Saat punya mobil, ia tak pernah berniat memberikannya pada orang lain.
“Mungkin si TCW pengin dibilang dermawan. Di dunia ini, siapa sih orang kaya yang membagi-bagikan mobil? Nah, TCW ingin jadi pelopor!”
“Kenapa hartanya tidak digunakan untuk membangun sekolah, panti asuhan, menyantuni anak yatim, atau fasilitas sosial saja? Itu kukira lebih bermanfaat.” Memet seperti menghujat diri sendiri—tentu saja ia tak menyadarinya. Sebelum masuk bui, saat kaya ia pun tak pernah berpikir ke arah sana.
“Kalau itu soal pilihan, Met. Ia lebih suka beli mobil dan membagikannya ke orang lain. Mungkin ia berpikir membuang duit untuk kebaikan banyak orang adalah sebuah kedunguan. Bukankah duit yang dimilikinya kebanyakan berasal dari penggarapan proyek-proyek publik milik Pemprov Banten? Kabarnya, ia dujuluki Gubernur Jenderal di Banten. Akan menjadi hal memalukan kalau seorang gubernur jenderal bagi-bagi beras.”
“Mungkin itulah kenapa banyak sekali fasilitas umum di Banten yang terbengkalai; jalan raya, gedung sekolah, jembatan, dan lain-lain. Ternyata, pikiran sang Gubjen menyimpang alias sesat.” Ucapan Memet bernada sarkastis.
“Hus, jangan buru-buru memvonis TCW menganut pikiran sesat, Met! Kalau ketahuan, kau bisa digantung baru tahu rasa!”
“Lho, kenapa? Kau tidak setuju?” Kini Memet menghadap Cepi. Kedua kakinya terlipat bersila.
“Ini tergantung sudut pandang saja. Bagi kita, para koruptor itu menganut pikiran sesat; apapun yang bisa dikorupsi, laksanakan! Tapi bagi mereka, kitalah yang berpikiran sesat.” Cepi merasa aneh dengan ucapannya, tapi ia telanjur mengatakannya.
“Kukira kita satu pandangan soal ini.” Ucapan Memet ketus. Ia merasa Cepi berputar-putar saja soal logika.
“Coba kau pikir, dasar apa yang membuat orang kukuh melakukan korupsi padahal mereka tahu itu perbuatan dosa, menyengsarakan rakyat, dan akal dihukum berat jika tertangkap?”
Di mata Memet, ucapan Cepi semakin kalap. “Serakah?”
“Tepat! Cuma itu yang bisa menjelaskan semuanya. Biar bergaji besar, rumah mewah, istri banyak, kalau sifatnya memang serakah, ia akan memakan apa saja. Kau lihat mantan Kepala SIKK Migas RR yang sekarang jadi terdakwa? Gajinya besar. Sebelumnya posisinya terhormat sebagai guru besar di kampus ITB. Atau mantan Hakim Konstitusi AM yang namanya bakal dikenal sebagai legenda hakim brengsek di tanah air. Secara akademis dua orang bermoral minus itu punya posisi tinggi.”
Memet yang jadi napi karena kasus korupsi merasa tersindir. “Kau sedang menyindirku, Cep?”
Masih dengan berbaring dan suara tenang, Cepi berkata, “Itu tergantung penafsiranmu, Met.”
“Kau tidak sadar bahwa kaupun terpidana korupsi?” Memet tertawa. “Begitulah. Koruptor tak pernah mengakui kesalahan yang diperbuatnya dan tiba-tiba amnesia kesalahan sekeluar dari penjara. Masih membangga-banggakan gelar akademisnya seperti mantan menteri kelautan RD.”
“Kamu ngomong apa sih, Met?”
Memet merasa diremehkan. Mulutnya sudah berbusa-busa tapi di ujung percakapan dianggap angin lalu. Tangannya mencengkram kerah baju Cepi. “Kau pengin bergulat denganku?!”
“A...” Belum selesai Cepi bicara, batang tanaman perdu yang tadi bersarang di rambut Memet jatuh tepat ke hidung Cepi. Cepi seketika gelagapan. Bukan karena tajamnya batang di kulit bagian dalam hidungnya, tapi bau mulut yang melekat awet di batang itu.
Melihat Cepi seperti orang kritis, Memet bangkit dan perlahan menjauh. “Kualat kau! Bisanya mengkritik koruptor padahal kau pun seorang koruptor!”*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H