Mohon tunggu...
Billy Antoro
Billy Antoro Mohon Tunggu... -

Senang pada hal-hal baru dan menuliskannya di media.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

44. Rakyat (Tak) Kuasa

22 April 2014   14:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cepi keluar dari kantor Kalapas dengan kepala berdenyut. Berita politik dari televisi yang ditontonnya membuat pikirannya bertanya-tanya bagaimana nasib rakyat di tangan para politisi yang tengah adu siasat merebut kekuasaan. Apa mereka masih memikirkan kesejahteraan rakyat?

Keluar gedung, Cepi bergegas menuju tempat istirahat favoritnya: bawah pohon beringin yang rindang. Di sana ia melihat Memet sedang mendongak ke langit. Di langit banyak sekali layang-layang melayang, aneka warna: merah, kuning, biru, hijau, dan ungu. Juga ada yang bergambar binatang: banteng dan burung garuda. Juga ada yang berbentuk makhluk luar angkasa: matahari, bulan, dan bintang.

“Sedang apa, Met? Semangat sekali kau melihatnya?”

“Asyik saja melihat mereka berlomba-lomba jadi penguasa langit.”

Mata Cepi menyipit. Ia paham maksud ucapan sahabatnya. “Yang menang pasti yang paling kuat dananya.”

“Kira-kira, apa mereka peduli dengan suara rakyat yang kini digenggamnya ya?” Memet berkata tanpa menoleh ke arah Cepi. “Rakyat kembali sibuk dengan kesehariannya mencari nafkah, politisi pun seperti biasa kembali gedebak-gedebuk mencari kuasa.”

“Ketika ada partai mendukung partai lain untuk menuju kuasa, apa artinya perbedaan memilih partai saat pemilu? Dua sahabat bertengkar karena berbeda partai dan memutuskan memenggal silaturahmi, eh tiba-tiba partai yang mereka jelek-jelekkan berkoalisi.” Memet mengembus napas pelan. Ia bersyukur tak bernasib seperti orang-orang yang dibicarakannya. Banyak orang berubah menjadi monster menjelang pemilu, namun setelah itu mereka harus menerima kenyataan dijadikan alas kaki penguasa.

“Berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei, Partai Banteng duduk di posisi puncak, Partai Beringin ke-2, dan Partai Burung Garuda ke-3. Ketiganya menjadi motor penggerak koalisi karena tak ada partai yang bisa mengajukan calon presidennya sendirian. Lalu muncul ide poros tengah jilid dua yaitu bersatunya partai-partai Islam dalam satu kubu.” Cepi memulai analisisnya. “Tapi dari sekian partai yang ada, program apa yang hendak mereka usung? Rata-rata sama semua.”

“Apa artinya program kalau mentok di lisan saja?” Ucapan Memet bertendensi pesimistis.

“Ganti presiden, kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi. Koruptor masih berani unjuk gigi. Kekayaan alam nusantara makin habis disedot perusahaan asing. Degradasi perilaku masyarakat kita juga terus meningkat. Jadi apa artinya pergantian kekuasaan kalau begitu?”

Cepi berpikir sejenak. Bagaimanapun, membangun negara tak boleh dibangun atas dasar pesimisme. Kalau rakyat pesimis, bagaimana pemerintahan efektif berjalan tanpa dukungan? Namun pesimisme itupun terbentuk bukan tanpa jejak. Rakyat telah banyak dikelabui, disodorkan janji-janji manis padahal beracun. Maka wajarlah golput masih bertengger di posisi puncak sebagai pemenang pemilu.

“Kamu kenapa bete begitu, Cep? Santai saja. Kita ini cuma warga negara biasa yang tak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, kita masih harus mendekam di sini beberapa tahun lagi. Jadi jangan sok memikirkan nasib bangsa deh!”

Mata Cepi memicing ke arah Memet sebentar, lalu kembali menatap langit yang kini masih sesak dengan layang-layang beraneka warna, gambar binatang, dan gambar makhluk luar angkasa.

“Kalau begini, rakyat sama sekali tak benar-benar memegang kedaulatan ya, Met.”

“Begitulah. Sayangnya, demokrasi Pancasila yang selama ini digaung-gaungkan tak pernah berhasil membuat pemegang kuasa menjalankan amanat Pancasila. Pancasila akhirnya cuma omong kosong belaka di pikiran mereka.”

Cepi kembali mengembus napas berat. Matanya sayu melihat sebuah layang-layang putus. Tidak cuma satu, bahkan dua, lalu tiga! “Lalu, demokrasi seperti apa yang mestinya dipraktikkan, Met? Demokrasi yang menjamin rakyat mendapatkan kesejahteraan dan keadilan.”

Sejenak Cepi menunggu jawaban dari Memet sembari menujukan pandangnya ke langit cerah. Namun ia curiga pertanyaannya tak kunjung menemui jawaban. Saat pandangnya ditolehkan ke memet, ia sangat terkejut sahabat karibnya itu telah lenyap dari posisi duduknya.

Memet berlari menuju dinding penjara sambil mendongakkan wajah.

“Sompret kau, Met! Ternyata kau mengejar layang-layang putus!”

Sambil berlari menyusul Memet, Cepi menggamit sapu lidi bergagang. Melihatnya Memet kelabakan.

“Kamu jangan curang begitu dong, Cep! Tangan kosong!”

“Lho, salah kamu sendiri mengejar layang-layang kok tidak pakai galah!”

Keduanya saling dorong. Memet yang tubuhnya agak gemuk berhasil membuat Cepi yang kerempeng tersungkur. Dengan sempurna Memet berhasil mendapatkan layang-layang itu.

“Yes, aku dapat, aku dapat!” Memet melompat-lompat kegirangan.

Namun kegembiraan Memet tak bertahan lama. Tanpa disadarinya, tusukan sapu lidi Cepi membuat layang-layang itu robek.

Brebet! Bet! Bet!

“Cep! Kau merusak layang-layangku!” Wajah Memet berubah merah seperti udang rebus.

“Maafkan aku, Met, Maaf! Aku Khilaf!”

“Khilaf dari Hongkong! Ayo ganti layang-layangku!”

Memet mengejar Cepi yang keburu lari tunggang-langgang. Keduanya berlari keliling lapangan dan berhenti setelah ada layang-layang lain yang putus.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun