Mohon tunggu...
Bill Wong
Bill Wong Mohon Tunggu... -

Penulis amatir yang ingin menulis sebanyak-banyaknya tentang Taneh Karo di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Djamin Ginting Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

7 November 2014   11:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:24 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_333621" align="aligncenter" width="581" caption="Sosok Djamin Ginting yang diperankan oleh Vino G Bastian pada film 3 Nafas Likas (ceritamedan.com)"][/caption]

Bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan tahun ini akan diberikan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh yang telah terpilih. Menurut Mensos Khofifah Indar Parawansa, keempat tokoh yang akan diberikan anugerah Pahlawan Nasional tahun 2014 ini, diantaranya  Djamin Ginting, Sukrin Kartodiwirjo, Mayjend Purn, HR Mohammad Mangundiprojo dan pendiri NU KH Abdul Wahab Hasbullah.

Membaca pemberitaan detik.com terkait nama-nama Pahlawan Nasional yang akan dianugerahi gelar tahun ini, ternyata banyak diantara pembaca portal media online tersebut yang tidak begitu familiar dengan nama-nama yang telah dipilih. Hal tersebut terlihat dari komentar-komentar para pembaca di media online tersebut, dimana beberapa diatara mereka merasa sama sekali tidak familiar dengan nama pahlawan yang akan diberi gelar.

Terkhusus untuk Djamin Ginting, ia merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang menentang penjajahan Belanda dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Pada awal karirnya kemiliterannya ia merupakan seorang tentara PETA yang pada awalnya akan dimanfaatkan oleh Jepang untuk memperkuat pasukannya.

Setelah menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II, pasukan Jepang kemudian kembali pulang kenegarannya dan menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia. sebagai seorang komandan kala itu, Djamin Ginting kemudian bergerak cepat untuk mengkonsilidasi pasukannya. Saat itu Djamin Ginting bercita-cita akan membangun satuan tentara di Sumatera Utara, sekaligus meyakinkan para anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing-masing.

Dalam hal ini Djamin Ginting memohon kesediaan para anggotanya untuk membela dan melindungi rakyat Karo di Sumatera Utara dari setiap kekuatan yang hendak menguasai daerah tersebut. Situasi politik saat itu tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berambisi untuk kembali menguasai daerah Sumatera. Dikemudian hari, anggota pasukan Djamin Ginting ini akan memunculkan pionir-pionir pejuang Sumatera bagian Utara dan Karo. Beberapa pionir para pejuang tersebut diantaranya Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting, Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lain lain adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini.

Ketika Djamin Gintings menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, dia berselisih paham dengan Kolonel M. Simbolon yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Kodam II/Bukit Barisan. Djamin Ginting tidak sepaham dengan tidakan Kolonel M.Simbolon untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi yang melanda Indonesia. Disatu pihak, Simbolon merasa Sumatera dianak-tirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Dilain pihak, Ginting sebagai seorang tentara profesianal memegang teguh azas seorang prajurit untuk membela negara Indonesia.

Djamin Ginting Selamatkan Daerah Modal Indonesia

Dalam sebuah makalahnya, Prof Dr Usman Pelly yang juga merupakan seorang antropolog Indonesia menyebutkan bahwa Djamin Ginting adalah seorang Pahlawan penyelamat daerah modal Indonesia.

"Sesuatu yang kemudian makin jelas di benak saya, sesudah saya melakukan studi dari berbagai buku dan catatan historis auto biografi kedua buku Djamin Ginting, yaitu : 'Titi Bambu' dan 'Bukit Kadir,' serta dua buku standar lainnya seperti 'Kadet Brastagi' (1981) dan 'Jendral Soedirman' (Pribadi, 2009), saya mulai berpikir bahwa Djamin Gintings bukan sembarang hero atau pahlawan perang kemerdekaan. Tetapi beliau telah menyelamatkan daerah modal republik, satu-satunya di luar pulau Jawa." tulis Usman Pelly dalam makalahnya yang terbit juga di Harian Waspada, koran terbitan Kota Medan tertanggal 7 Mei 2012 tersebut.

Cerita dibalik penyelamatan daerah modal republik tersebut menurut Usman Pelly bermula setelah adanya perintah Kol. Hidayat Komandan Divisi X, yang berkedudukan di Kutaradja kepada Djamin Ginting untuk mundur ke Tanah Alas Kutacane.  Perintah ini merupakan kesepakatan RI dan Belanda yang dituangkan dalam perjanjian Renville (1947). Dalam perjanjian itu semua wilayah Tanah Karo dianggap merupakan daerah pendudukan Belanda, sehingga semua pasukan TNI harus disingkirkan dari daerah itu. Djamin Ginting harus mengosongkan seluruh wilayah Tanah Karo, walaupun sebagian besar wilayah itu, secara de facto masih berada dalam kekuasaan republik, yaitu daerah antara Lisang dan Lau Pakam.

Dengan perasaan perih dan pilu Djamin Ginting dan pasukannya melaksanakan keputusan itu. Semua pasukan Resimen IV mundur ke Tanah Alas dan pasukan Belanda dengan leluasa memasuki daerah-daerah yang dikosongkan itu.

Jendral Soedirman selaku Panglima Besar TNI, waktu itu turut merasakan betapa keputusan Renville itu melukai hati para prajuritnya. Sebab itu melalui radio, beliau menyampaikan amanatnya, "Anak-anakku anggota Angkatan Perang, tiap-tiap perjuangan mempunyai pasang surutnya, tetapi dengan iman kita tetap teguh dan jiwa yang tetap besar, kita masih tetap sanggup untuk mengatasi percobaan ini dan percobaan-percobaan lainnya yang mungkin akan menyusul lagi."

Amanat Panglima Besar Jendral Soedirman yang ditutup dengan perintah agar TNI tetap bertanggungjawab terhadap jiwa dan harta rakyat--ternyata mampu menghibur kekecewaan para prajurit TNI--termasuk Djamin Gintings dan pasukannya. Dengan penuh semangat keprajuritan pasukan Resimen IV meninggalkan kantong-kantong gerilya dan markas pertahanannya untuk berhijrah ke Kutacane (Tanah Alas).

Dalam sejarah perang kemerdekaan, hijrah pasukan-pasukan TNI tidak hanya di Tanah Karo tetapi juga di Jawa Barat. Pasukan Siliwangi umpamanya harus hijrah meninggalkan Jawa Barat ke Jawa Timur (yang dikenal dengan istilah the long march dalam film Darah dan Doa, 1952). Luas wilayah republik sesudah perjanjian Renville yang dianggap sebagai "daerah modal" semakin mengecil dan secara ekonomi dan politis semakin terpojok (Hardiyono 2000).

Di Jawa hanya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, sebagian Keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal, dan bahagian Selatan Banyumas (Pribadi 2009). Sedang di luar Pulau Jawa hanya tinggal Provinsi Aceh. Mungkin waktu itu tidak semua perajurit TNI yang yang hijrah ke Kutacane, menyadari betapa pentingnya Daerah Modal Aceh untuk dipertahankan, terutama apabila dilihat dari strategi geopolitik nasional dan internasional.

Setelah Macan Kumbang di Kutacane dibangun sebagai markas resimen dan persiapan logistik, permukiman keluarga diselesaikan, maka pembangunan teritorial bersama pejabat pemerintahan Tanah Alas segera dilaksanakan oleh Djamin Ginting. Beliau masuk dan keluar kampung sampai kepelosok Tanah Alas, bertemu dengan Penghulu Kampung (Kepala Desa). Di benak beliau berkecamuk pemikiran, kalau Belanda menyerbu dan menduduki Kutacane, mampukah Resimen IV mempertahankan Tanah Alas dengan mengembangkan perang grilya? Pertanyaan itulah yang hendak beliau jawab.

Tetapi, pada tgl. 22 Desember 1948, malam harinya Djamin Gintings mengumpulkan semua perwira stafnya, dan semua Komandan Batalion. Rapat semalam suntuk sampai pagi hari itu membahas : (1) Apakah Tanah Alas mampu dipertahankan sampai tetes darah terakhir dengan cara militer konvensional, sementara persenjataan yang tidak seimbang dan persediaan amunisi yang terbatas pula, atau (2) TNI melakukan segera serangan terhadap kedudukan Belanda di Tanah Karo, berarti melanggar garis status quo walaupun dengan cara bergrilya dengan perlengkapan seadanya? (Kadet Brastagi, 1981)

Kedua pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab. Apabila Belanda menyerang secara frontal Tanah Alas, dengan peralatan yang modern (panser, tank, pasukan berkuda/logistik) serta backing pesawat tempur, maka Kutacane pasti dapat segera diduduki Belanda. Ketika Tanah Alas jatuh ke tangan Belanda, maka Blang Kejeren, Singkel dan Aceh Selatan akan terancam pula. Daerah belakang Aceh ini, merupakan titik-titik lemah pertahanan Provinsi Aceh. Memang pertahanan Aceh bagian Timur dan sepanjang rel kereta api cukup kuat dan solid. Karena itu pula, waktu ada usul mengganti Djamin Ginting sebagai Komandan Resimen IV yang pindah ke Kutacane dengan Kol. Muhammad Dien. Tapi Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo waktu itu, Tgk. M. Daud Beureueh tidak setuju dan tetap mempertahankan Djamin Ginting. Tanah Karo dan Djamin Ginting tidak mungkin dipisahkan, sedangkan Tanah Karo merupakan bumper (penyangga) daerah belakang Provinsi Aceh yang menjadi modal republik.

Keesokan hari, sekitar jam tujuh pagi setelah perundingan di markas Macan Kumbang itu, pesawat tempur Belanda kembali memuntahkan pelurunya kearah pertahanan Djamin Ginting. Anehnya, Let.Kol. Djamin Ginting, seakan mendapat isyarat dari serangan udara itu untuk bertindak cepat. Tanpa meminta persetujuan Komandan Divisi (Kol.Hidayat di Kutaraja), beliau memutuskan untuk segera menyerang Mardinding dan Lau Balang. Keduanya adalah pos terdepan Belanda di Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan Aceh (Tanah Alas).

Keputusan merebut kedua benteng Belanda ini, bertepatan pula dengan siaran radio yang menyatakan Belanda telah menyerbu dan menduduki Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden RI kemudian ditawan. Dalam pidato singkat penyerbuan ke Tanah Karo, Djamin Ginting sebagai Komandan Resimen IV, terus terang menyatakan bahwa "... memang saya belum mendapat perintah dari Komandan Divisi ...tetapi demi keselamatan Negara RI saya akan memikul tanggung jawab penuh untuk segera menyerang daaerah yang diduduki Belanda itu ..."

Penyerangan mendadak dan berani yang dilakukan Djamin Ginting ini, memang di luar dugaan Belanda, sehingga Belanda kucar-kacir mempertahankan Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan senjata, bantuan pasukan berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik militer yang kuat, serta merelakan korban yang tidak sedikit, Belanda dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen IV, banyak korban dan peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit Kadir yang menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.

Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak berhasil direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin Ginting. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Ginting mengobarkan perang grilya. Taktik hit and run (serang dan menghindar)--selalu menimbulkan kerusakan yang tidak terduga di pihak Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan (Januari s/d Agustus 1949), perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda terkooptasi di Tanah Karo, dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah Alas), sampai penyerahan kedaulatan (1950).

Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh secara utuh dapat didaftarkan sebagai "daerah modal" Republik Indonesia di luar pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Djamin Ginting telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang berarti menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia internasional. Djamin Ginting bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.

Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Setelah 69 tahun Indonesia merdeka, Djamin Ginting tokoh pejuang yang lahir di Tigapanah, Sumatera Utara,  12 Januari 1921 dan meninggal dalam rangka mengemban tugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kanada di Otawa, 23 Oktober 1974, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Acara penganugrahan gelar tersebut akan dipimpin langsung Presiden RI Joko Widodo yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta Menteri Kabinet Kerja Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (07/11/2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun