Penelantaran pasien yang terjadi di Bandar Lampung beberapa saat yang lalu, menimbulkan kekagetan yang luar biasa dari semua kalangan. Seorang pasien tua renta tega dibuang oleh Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A Dadi Tjokrodipo, Bandar Lampung. Kasus ini berawal dari kegegeran masyarakat di daerah Sukadanaham, Tanjung Karang Raya, sebuah kecamatan baru hasil pemekaran dari kecamatan Tanjung karang Barat Bandarlampung. Mereka menemukan seorang kakek tua renta yang dibuang di sebuah gardu di daerah tersebut.
Sang kakek bernama Suparman atau sehari harinya dipanggil kakek Edi. Pada waktu kejadian ada warga yang langsung melihat, sang kakek diturunkan dari sebuah ambulans. Malang tak dapat ditolak,sang kakek yang diselamatkan warga itu akhirnya meninggal selang sehari kemudian. Alasannya klasik, biaya perawatan.
Biaya perawatan yang tidak dimiliki pasien, menjadi alasan kenapa pasien ini dibuang dan ditelantarkan begitu saja oleh pihak rumah sakit. 6 orang ditangkap dan semuanya adalah pegawai biasa rumah sakit. Walaupun mendapat perhatian nasional, para petinggi rumah sakit yang diduga menyuruh pegawai – pegawai ini melakukan hal yang parah justru tidak terkena sanksi apa – apa. Ironisnya, hal ini terjadi ketika pemerintah sedang ramai – ramainya menginformasikan program JKN ( Jaminan Kesehatan Nasional ) kepada warganya.
Sungguh, sebegitunyakah Indonesia?
Ternyata tidak juga. Dr. Lo Siauw Ging, dokter yang berdomisili di Solo ini, mendedikasikan hidupnya demi warga. Ia tidak memaksa pasiennya membayar biaya konsultasi. Bahkan, ia membayar obat yang diresepkannya kepada orang yang kurang mampu, dan tiap bulan apotek tertentu yang telah ditunjuk dr. Lo akan menagih biaya obatnya. Dedikasi dan pelayanan yang diberikan olehnya dilakukan murni karena hati, berbalas budi atas beasiswa yang diberikan oleh pemerintah pada masa sekolahnya, dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Ia tidak takut rugi, maupun kelaparan. Bahkan, ia tidak mau diberitakan agar terkenal. Menurutnya, kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak. Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan bahwa dr. Lo selalu ada bagi pasiennya.
Jadi, dimana masalahnya? Mengapa ada yang negatif dan ada yang positif? Moral adalah jawabannya.
Ya, moral adalah dasar dari segala kondisi yang dipaparkan diatas. Lebih tepatnya, moral kemanusiaanlah yang menjadi kuncinya. Pancasila bahkan sudah memaparkan pokok permasalahan dengan singkat, padat, dan jelas. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ironisnya, mana penerapannya?
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sederhana, 5 kata, 28 huruf, namun sulit penerapannya. Sungguh, benar – benar menyakitkan.
Kemanusiaan berarti sebuah perasaan yang menuntun kita untuk mencegah melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama. Adil berarti orang – orang mendapat haknya sesuai dengan kewajibannya. Beradab berarti mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yg baik, dan berlaku sopan.
Di dunia kedokteran, Pancasila harus diamalkan. Terkhusus pada sila kedua, nilai – nilai kemanusiaan harus dipakai saat menghadapi pasien. Seorang dokter atau pegas kesehatan harus mengamalkan Pancasila dalam pekerjaannya sehari – hari, khususnya sila kedua. Tapi, zaman sudah berubah.
Zaman sekarang, tidak sedikit dokter yang tidak mengamalkan Pancasila, khususnya sila kedua. Sebagian besar dokter menganggap bahwa dunia kedokteran adalah salah satu tempat untuk menghasilkan uang yang banyak, dan menjadi tempat untuk berbisnis. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya pengedar vaksin palsu yang secara sadar mengabaikan sila kemanusiaan dan membahayakan nyawa bayi – bayi yang tak bersalah. Ini adalah bukti dimana para pekerja kesehatan menganggap bahwa dunia kedokteran adalah tempat berbisnis secara ilegal untuk mendapatkan uang yang banyak. Juga muncul berita dimana ada dokter yang membuka praktik aborsi bayi bagi wanita yang tidak menginginkan keberadaan janinnya. Sungguh ironis akan apa yang seorang dokter mau lakukan demi harta yang fana.
Orang – orang seperti dr. Lo adalah solusinya. dr. Lo adalah salah satu dari segelintir orang yang mau mengabdi tanpa mengharapkan balasan. Ia tidak melihat status, golongan, agama, dan ras untuk mengamalkan sila kedua Pancasila ini. Ia menerapkan prinsip kemanusiaan dengan luar biasa baik dan sempurna. Walaupun tidak memiliki anak, hal itu tidak menghentikannya untuk mengasihi seseorang tanpa pandang bulu. dr. Lo tau persis bagaimana cara mengamalkan sila kedua dengan baik kepada pasiennya. Sungguh, dr. Lo adalah seorang teladan yang sangat luar biasa.
Bagaimana tidak, dari banyaknya dokter yang ada di Indonesia, berapa dokter yang mau melakukan apa yang dia lakukan. Darinya, ada beberapa poin penting pada sila kedua yang berhasil diamalkan dr. Lo yang harus ditiru, yakni kasih, rasa empati, dan rasa kemanusiaan. Rasa kasih dapat kita lihat dengan memberikan obat sesuai dengan resep yang dikasih dengan gratis bagi orang yang kurang mampu. Rasa empati dapat kita lihat dengan keputusannya untuk tidak menarik biaya konsultasi. Dan rasa kemanusiaan dapat kita lihat dengan ketersediaannya untuk praktek di usianya yang tidak lagi muda secara full time dirumahnya, selalu ada bagi pasiennya, dan rasa empati dan kasihnya yang baik pada orang yang membutuhkan bantuannya.
Kasih, rasa empati, dan rasa kemanusiaan adalah poin – poin yang penting dalam penerapan sila kedua Pancasila ini. Pengamalannya akan terlaksana bila memiliki poin tersebut. Seorang dokter yang mengasihi pasiennya tidak akan pernah menelantarkan pasiennya, tidak akan sembarang memberi resep, tidak akan pernah melakukan malpraktek kepada pasiennya, dan tidak akan mengkhianati pasiennya dengan cara – cara yang sulit dimengerti. Seorang dokter yang memiliki rasa empati kepada pasiennya akan mendengarkan keluhan pasien dengan sabar dan baik, tidak akan larut dalam kesedihan sang pasien, namun dapat memberikan solusi yang tepat dan baik bagi pasien berdasarkan anamnesis yang dia lakukan pada pasiennya dengan cermat. Seorang dokter yang memiliki rasa kemanusiaan akan mencoba membantu pasiennya sebaik mungkin, mau meluangkan waktunya demi pasiennya dan orang lain, dapat mengobati pasiennya tanpa pandang bulu sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Sekarang, bagaimana dengan kita?
Kita adalah masa depan dunia kedokteran Indonesia, tidak menutup kemungkinan beberapa dari kita akan menjadi dosen. Maka, kita harus bisa memupuk rasa kemanusiaan yang tinggi dalam diri kita masing – masing, pribadi lepas pribadi. Pengamalan akan Pancasila seharusnya harus dilakukan sejak kecil, dan sejak menginjak masa kuliah di Pendidikan Dokter ini. Kita harus bisa mengasihi sesama, harus bisa mengasihi orang lain dengan baik. Kita juga harus bisa berempati dengan orang lain dan membantu orang lain sebisa mungkin.
Dan yang terpenting, kita harus bisa memanusiakan manusia sesuai dengan hak dan kewajiban masing – masing pribadi orang itu sendiri. Poin itu harus bisa kita pupuk mulai sekarang, sehingga pada masanya nanti, dimana kita sudah menjadi seorang dokter di masyarakat umum, kita bisa menuainya dan menghasilkan buah yang baik. Disana, kita akan bisa menjadi seorang dokter yang penuh kasih, rasa empati dan kemanusiaan yang tinggi. Tidak menutup kemungkinan, akan ada dokter – dokter Lo baru yang siap menggantikan posisinya dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H