"Bola mataku tidak akan lepas" Ujarnya. Sambil menyunggingkan senyum tipis.
      Baiklah, kurasa memang harus ada obrolan di sini. Aku akan memulainya.
      "Boleh kita saling memberitahu nama masing-masing?" Tanyaku.
      "Dion." Jawabnya. Singkat sekali.   Â
      "Zee" Ucapku. Aku menyandarkan bahuku, menghela nafas sebentar. Sesuatu mendorongku untuk berbicara, tapi mati-matian aku menahannya.
      "Tak perlu bicara kalau memang tidak mau" Ujarnya lagi.
      Ada satu prasangka ku tentang dia, Dion maksudku. Tapi itu belum terlalu kuat. Candaanku tentang sekumpulan burung yang ada dikepala ku sekarang bukan kebohongan. Lama-lama Dion memudar dalam jangkauan mataku. Tubuhku panas. Suara-suara bising memekak telingaku. Dalam hati aku mengajak kompromi, jangan sekarang kumohon. Tapi mereka tak mau dengar. Sayup-sayup suara Dion memanggil namaku. Asing. Tapi menenangkan. Kali ini aku tak bisa mengatasi mereka.
.
.
      Perasaan sesak apa ini? Ku amati sekeliling. Sepi. Asing. Aku ingat jelas warna cat dinding kamarku bukan cokelat tua tapi biru langit. Lemari dengan ukiran bunga juga bukan milikku. Dan tempatku berbaring bukan kasur busa kesayanganku. Belum selesai mengambil kesimpulan, tiba-tiba pintu terbuka. Mataku menyipit, tanganku mencari-cari dimana letak kacamata hitamku. Seorang pemuda sudah duduk disamping kananku, dapat ku lihat jelas sekarang dia sedang tersenyum. Inginku berlari, keluar dari kamar asing ini sebelum tangannya mengulurkan secangkir air putih. Tidak langsung ku minum, malah hanya memandanginya. Dia batuk, disengaja. Ku rasa dia sadar akan ketidaknyamanan ku ini.
      "Ini kamarku. Kau bisa pergi kalau sudah merasa baikan" Ujarnya lembut. Disandarkan bahunya ke dinding cokelat tua itu. Sedangkan aku, masih tak tahu harus mengeluarkan kalimat apa.