Jiwa Hasan terombang ambing. Batin Hasan terbolak balik.
Pikiran dan pandangan Hasan yang setengah-setengah  tentang dogma dan fanatismeÂ
Terbentur pandangan baru tenang materialisme komunisme.
Hasan yang tadinya rajin sembahyang kini ingkar.
Hasan yang tadinya mengharamkan bioskop, kini penonton setia.
Hasan pun berubah, Tuhan tidak lagi bersemayam dalam imannya.
Dalam novel Atheis ini, Achdiat K. Miharja lebih menekankan pada karater tokoh dalam cerita. Agak berbeda jika kita membandingkan dengan karya-karya Pramoedya yang banyak menggambakan dengan details suasana atau kondisi dalam alur cerita.
Atheis, lebih banyak membawa kita pada pergolakan sosial, intelektual dan psikologis dari  tiap tokoh. Dimana kita bisa merasakan kegalauan batin Hasan, kuatnya cita-cita politik Rusli, kebangkitan Kartini dari pengalaman pahitnya dan juga karakter anarkisme seperti Anwar.
Meskipun kuat dalam penokohan, bukan berarti dinovel ini kita tidak bisa merasakan suasana dan kondisi jaman kolonialisme Jepang. Serangan udara, raungan sirine serta teriakan "Kusyu Keiho! Kusyu Keiho" yang terdengar dilangit Bandung -benar membawa kita pada imajinasi perang.
Meski terjadi kontroversi atau sanggahan baik dari pihak Islam maupun Marxisme mengenai tokoh fiksi novel berbanding kondisi aktul. Tetap saja menurut saya novel Atheis sangat layak untuk diapresiasi.
Pada akhirnya tidak berlebihan pendapat  penulis Ahmad Tohari yang mengatakan  bahwa Novel Atheis adalah salah satu monumen sastra Indonesia.  Novel yang seharusnya dibaca ulang oleh masyarakat Indonesia selain untuk menambah wawasan kesusastraan, juga sebagai bahan refleksi dimana saat ini kids jaman now seolah alergi terhadap dunia politik.