Hari Jum'at, tanggal 07 Juni 2024, Karangasem, Bali, dilanda banjir yang disertai tanah longsor sejak pukul 05.30 WITA. Longsor terjadi semakin parah hingga menutupi jalur Amlapura-Denpasar dan menyebabkan jalur lumpuh total.Â
Dilansir dari website Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI), pada tanggal yang sama, terjadi angin puting beliung di dua kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun. Kronologi dari kedua kejadian tersebut sama-sama diawali oleh hujan dengan intensitas cukup tinggi disertai angin yang kencang.
Kedua bencana yang terjadi baru-baru ini merupakan bencana alam yang termasuk ke dalam bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi merupakan bencana-bencana alam yang terjadi pada air (hidrologi), atmosfer (meteorologi), atau lautan (oseanografi) dan penyebabnya memiliki kaitan dengan iklim dan cuaca.Â
Bencana-bencana yang termasuk pada kelompok bencana hidrometeorologi adalah curah hujan ekstrem, angin kencang, puting beliung, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan buruknya kualitas udara.
Bencana hidrometeorologi juga merupakan jenis bencana yang mendominasi jumlah bencana yang terjadi di Indonesia. Per tanggal 5 Juni 2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) mencatatat sebanyak 870 kejadian bencana alam yang terjadi, di mana 98,74% di antaranya adalah bencana hidrometeorologi dengan jenis banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, karhutla, gelombang pasang dan abrasi, dan kekeringan.
Hermon dalam Sabrina, dkk. (2021) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya bencana hidrometeorologis adalah tidak stabilnya kondisi iklim atau disebut juga perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan kondisi berubahnya suhu dan pola cuaca secara jangka panjang yang terjadi secara alami dan tidak bisa dihindari.Â
Namun, sejak tahun 1800-an, perubahan iklim lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia yang menghasilkan senyawa-senyawa kimia yang dapat memperburuk perubahan iklim.
Salah satu contohnya adalah gas rumah kaca. Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan memancarkan radiasi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan bumi kembali lagi ke permukaan bumi sehingga memberikan panas tambahan ke permukaan bumi.Â
Saat adanya peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca yang meliputi gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) terjadi juga peningkatan suhu di permukaan bumi atau dikenal juga sebagai pemanasan global.
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Secara alami, gas metana dihasilkan dari mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik secara anaerob (tanpa oksigen) di lingkungan basah seperti rawa dan tanah berlumpur atau di dasar laut, juga dapat dihasilkan seiiring meletusnya gunung berapi dan pada saat melelehnya es di dasar laut atau daerah beku yang melepaskan hidrat metana ke atmosfer.Â
Sementara itu, gas metana banyak dihasilkan dari aktivitas manusia, seperti contohnya adalah gas metana yang dihasilkan dari degradasi bahan organik oleh bakteri anaerob di lahan sawah, gas metana dari kotoran hewan ternak, gas metana yang terperangkap dalam batubara dan lepas selama penambangan, juga metana yang dihasilkan oleh dekomposisi bahan organik di tempat pembuangan akhir (TPA) dalam kondisi anaerob.
Gas CO2 dapat dihasilkan dari berbagai sumber. Secara alami, gas CO2 dihasilkan dari hasil respirasi organisme hidup, dekomposisi bahan organik, dan kebakaran hutan alami. Dari hasil aktivitas manusia, gas CO2 banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan dua produk utama, yaitu air (H2O) dan gas CO2.Â
Selain itu, proses industri seperti industri semen yang melakukan proses kalsinasi juga turut berkontribusi menghasilkan gas CO2. CO2 juga dapat meningkat konsentrasinya saat terjadi penebangan hutan dan konversi lahan hutan disebabkan berkurangnya pepohonan yang menggunakan gas CO2 dalam proses fotosintesisnya untuk menghasilkan gas oksigen (O2) dan glukosa (C6H12O6).
Gas N2O merupakan gas rumah kaca yang kuat dan dapat merusak ozon. Secara alami, gas ini dihasilkan dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi baik di dalam tanah ataupun oleh mikroba di lautan.Â
Dari hasil aktivitas manusia, gas N2O dihasilkan dari penggunaan pupuk berbahan dasar nitrogen seperti urea, pengelolaan kotoran hewan, industri seperti produksi asam nitrat (HNO3) dan pembuatan nilon, penggunaan bahan bakar fosil, dan pengelolaan limbah.
Selain ketiga gas di atas, senyawa seperti klorofluorokarbon (CFC) yang digunakan dalam sistem pendingin seperti air conditioner (AC) dan lemari es dapat bereaksi dengan senyawa ozon (O3) dalam suatu siklus yang terus menerus sehingga mengurangi senyawa ozon di atmosfer dan merusak lapisan ozon menyebabkan semakin buruknya perubahan iklim.
Aldrian (2011) menyebutkan, bahwasannya efek rumah kaca yang disebabkan oleh senyawa-senyawa di atas dapat mempengaruhi siklus air dan menyebabkan meningginya curah hujan. Lebih lanjutnya, curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir dan longsor. Selain itu, pemanasan global akibat dari efek rumah kaca dapat memicu terjadinya puting beliung akibat dari peningkatan suhu pada permukaan bumi yang menyebabkan naiknya perbedaan tekanan udara suatu daerah dengan daerah lainnya.
Oleh karena itu, upaya untuk memanajemen resiko perubahan iklim adalah perlu dilakukannya mitigasi dengan cara meminimalisir aktivitas yang dapat memberikan kontribusi terhadap memperburuknya perubahan iklim. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan energi terbarukan untuk mengganti bahan bakar fosil, efisiensi energi, reboisasi dan aforestasi, pengembangan teknologi bersih, penerapan kimia hijau, Â dan praktik pertanian, perternakan, dan industri yang ramah lingkungan.
Sumber:
- Aldrian, E., Karmini, M., & Budiman. (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta: Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.
- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2019). Mengencal Bencana Hidrometeorologi. Retrieved June 8, 2024, from https://iklim.bmkg.go.id/bmkgadmin/storage/brosur/Leaflet%20Hidrometeorologi.pdf
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2024). Kode Bencana Indonesia (KBI): 1219104202406071. Data Informasi Bencana Indonesia. Retrieved June 8, 2024, from https://dibi.bnpb.go.id/xdibi2/read2/65369
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2024). Kode Bencana Indonesia (KBI) : 1209104202406071. Data Informasi Bencana Indonesia. Retrieved June 8, 2024, from https://dibi.bnpb.go.id/xdibi2/read2/65370
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2024). Bencana Indonesia 2024. Geoportal Data Bencana Indonesia. Retrieved June 8, 2024, from https://gis.bnpb.go.id/
- Juniasa, I. W. S. (2024). Hujan Deras, Jalur Amlapura-Denpasar Lumpuh Total Akibat Longsor. Detikbali. https://www.detik.com/bali/berita/d-7378791/hujan-deras-jalur-amlapura-denpasar-lumpuh-total-akibat-longsor
- Manahan, S. E. (2010). Environmental Chemistry. Boca Raton: CRC Press.
- Sabrina, V., Azka, M. A., & Sugianto, P. A. (2021). Kajian Meteorologis Saat Kejadian Bencana Hidrometeorologis di Maluku Utara (Studi Kasus: 15-16 Januari 2021). Jurnal Widya Climago 3(2), 53-60
- Sari, N. L. P. W. (2024). Bencana Hidrometeorologi di Bali, Terjadi Tanah Longsor Hingga Pohon Tumbang, Karangasem 19 Titik. Tribun-Bali.com. https://bali.tribunnews.com/2024/06/08/bencana-hidrometeorologi-di-bali-terjadi-tanah-longsor-hingga-pohon-tumbang-karangasem-19-titik?page=2
Penulis:
Bilah Nabilah
Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H