Mohon tunggu...
Zulfa Salsabila
Zulfa Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student

Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Masih Adakah Dinasti Politik di Indonesia?

4 Desember 2021   16:51 Diperbarui: 4 Desember 2021   17:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perpolitikan di Indonesia, istilah “Dinasti Politik” sudah tidak asing di telinga kita. Keluarga dan kekuasaan adalah kata kunci utama dari istilah ini. Dinasti politik merupakan salah satu bentuk manifestasi teori elit. Dikutip dalam Jurnal “Political Reform and Elite Persistence” karya Pablo Querubin, Dinasti politik merupakan contoh dari kekuasaan elit dimana satu atau beberapa kelompok keluarga yang memonopoli kekuatan politik.

Dinasti politik ini merupakan kekuasaan yang dipegang oleh orang yang memiliki hubungan keluarga, baik pasangan, orang tua, kakak-adik atau saudara lainnya. Mereka umumnya bermotivasi untuk meneruskan program yang telah dilakukan oleh pertahana.

Terdapat 3 cara paling umum dalam praktik dinasti politik di Indonesia, yaitu regenerasi, model lintas cabang kekuasaan dan model lintas daerah. Tetapi, terdapat pula, praktik dinasti yang menggabungkan ketiga cara ini seperti Banten. Tidak hanya ketiga cara ini, cara yang dilakukan bisa dibilang lebih rumit. Dinasti politik Ratu Atut di Banten melibatkan 13 anggota keluarganya baik sebagai pemimpin legislatif, kepala daerah, ormas, ataupun petinggi partai. Praktik seperti ini telah terjadi dari zaman presiden pertama Indonesia sampai sekarang. Contohnya, Dinati Soekarno, Dinasti Soeharto, Dinasti SBY dan Dinasti Jokowi.

Terpilihnya Gibran Rakabuming sebagai wali kota Surakarta dan Bobby Nasution sebagai wali kota Medan menunjukkan jika Dinasti politik sampai saat ini masih ada sampai saat ini.

Masyarakat menilai, dinasti politik tidak memberi kesempatan kepada orang yang kurang populer atau tidak memilki keluarga yang terjun ke dunia politik. Sebenarnya, dinasti politik ini merupakan hal wajar dan menjadi resiko dari adanya sistem demokrasi dimana semua orang berhak mengajukan diri sebagai pemimpin. Tidak hanya negara dengan sistem demokrasi, negara liberal seperti Amerika juga memiliki Dinasti Politik seperti Dinasti Kennedy dan Bush.

Setelah Soeharto turun dari kepemimpinannya, dibentuklah undang-undang politik terbuka yaitu melakukan pemihan langsung untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi hal ini banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk menguasai suatu daerah, dan memperpanjang serta memperluas kekuasaannya lewat praktik politik kekerabatan. Contohnya seperti Dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten dan Syahrul Yasin Limpo di Gowa.

Pada awalnya praktik dinasti politik ini dilarang dalam UU No.8 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa salah satu syarat menyalonkan diri sebagai kepala daerah adalah, “Tidak memiliki konflik kepentingan dengan pertahana.” Tetapi, karena dinilai tidak cukup adil sebagaimana kita tahu, manusia tidak dapat memilih untuk dilahirkan dari orang yang memiliki latar belakang seperti apa . Selain itu, hak semua orang untuk memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan mengakibatkan dihapusnya aturan ini dalam UU No.10 Tahun 2016.

Dinasti politik atau praktik politik kekerabatan ini cenderung lebih rawan terjangkit korupsi. Kasus korupsi memang tidak pandang bulu, siapapun dapat melakukan praktik korupsi karena berbagai alasan. Tetapi, sedikit ditemukan kasus korupsi dalam dinasti politik di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.” Kasus korupsi yang terjadi pada dinasti politik antara lain, Dinasti Fuad, Dinasti Atut, Dinasti Kukar, dan lain-lain.

Sebenernya, penyebab dari maraknya kemunculan dinasti politik adalah pasar politik kita yang masih oligopoli atau hana dikuasai orang tertentu, popularitas calon, dan finansial yang mendukung. Kurang sadarnya masyarakat utuk meninjau kembali calon yang akan dipilih menjadikan semakin mudahnya dinasti politik di Indonesia berkembang.

Sebuah partai politik menginginkan calon yang punya kualitas, kredibilitas, pengalaman mumpuni, dan juga elektabilitas yang tinggi tetapi, hal ini sangat jarang ditemukan. Sehingga partai politik lebih mengutamakan popularitas calon sehingga peluang tingkat kemenangan yang diraih lebih tinggi.

Keberadaan politik kekerabatan yang terus mendominasi berpotensi menyebabkan regenerasi kepemimpinan hanya berputar di satu keluarga. Seharusnya, partai politik, melakukan kaderisasi secara terus menerus agar semua orang dari berbagai kalangan memiliki kesempatan yang sama. Calon yang populer memang bisa memenangkan tetapi belum tentu dapat memenuhi harapan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun