Perdagangan hewan endemik Sumatera, yang mencakup spesies-spesies unik dan langka seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), orangutan Sumatera (Pongo abelii), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan kelinci belang Sumatera (Nesolagus netscheri), telah menjadi masalah serius yang memengaruhi keanekaragaman hayati di Indonesia. Walaupun sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi hewan-hewan tersebut, tetap saja setiap tahunnya ditemukan kasus perdagangan hewan.
Unit Tipidter Polres Aceh Tamiang, pada 18 Juli 2024 berhasil melakukan penangkapan terhadap tiga terduga pelaku tindak pidana perdagangan satwa dilindungi orang utan, dengan modus operandi dimasukkan dalam tas ransel seperti membawa pakaian. Dalam kasus ini, polisi turut menyita satu individu orang utan sebagai barang bukti.
Pada tanggal 19 Januari 2024, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh berhasil menggagalkan perdagangan illegal kulit Harimau Sumatera (Panthera tigris) beserta bagian tubuh satwa dilindungi tersebut di Kabupaten Aceh Timur. Terduga 2 pelaku yang ditangkap, salah satunya adalah pegawai negeri sipil pada kantor Kecamatan Serbajadi di Kabupaten Aceh Timur. Sebulan kemudian, 20 Febuari 2024, petugas berhasil mengungkap perdagangan kulit harimau melalui undercover buy. Selain mengamankan 1 lembar kulit harimau petugas juga berhasil meringkus 2 tersangka yangdibekuk saat hendak bertransaksi dengan petugas yang menyamar sebagai pembeli.
Mengutip berita yang diterbitkan oleh kumparanSAINS pada 13 Agustus 2021, komunitas konservasi, Fauna & Flora International (FFI) dan petugas Taman Nasional Kerinci Seblat berhasil menggagalkan penjualan kelinci belang Sumatra (Nesolagus netscheri), yang dikenal sebagai hewan paling langka di dunia, saat hendak dijual secara online melalui Facebook oleh seorang petani. Menurut pengakuannya, petani itu menangkap kelinci secara kebetulan di tepi sungai yang baru saja banjir deras. Kelinci itu mengalami luka ringan di bagian panggulnya, kemungkinan karena dampak dari banjir bandang.
Dilansir dari berita GAKKUM-KLHL, berhasil digagalkan perdagangan liar gading gajah di Palembang pada Agustus 2024. Tersangka diamankan petugas pada saat akan melakukan transaksi jual beli Cula Badak dan Pipa Gading Gajah di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dari tersangka berhasil diamankan 8 Cula Badak dan 5 Pipa Gading Gajah dan 3 Pipa Dugong.
Perdagangan hewan endemik Sumatera telah berkembang menjadi isu global yang melibatkan jaringan kriminal internasional. Spesies-spesies endemik ini, yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera, memiliki nilai jual tinggi di pasar gelap internasional karena keunikannya, baik dalam hal penampilan maupun perilaku. Permintaan yang tinggi, terutama untuk tujuan sebagai hewan peliharaan eksotis, obat tradisional, atau bagian tubuh untuk barang-barang seni, telah mendorong para pemburu ilegal untuk menangkap dan menjual hewan-hewan ini secara sembunyi-sembunyi.
Hewan endemik Sumatera yang sebelumnya memang sudah terancam karena kerusakan ekosistem dan pembukaan lahan, sekarang semakin menuju kepunahan karena keberadaannya di ekosistem semakin berkurang. Berdasarkan data IUCN Red List, jumlah indvidu dari masing-masing spesies semakin menurun setiap tahunnya. Harimau Sumatera, orangutan Sumatera, dan gajah Sumatera masuk ke dalam kategori Critically Endangered. Sementara itu kelinci belang Sumatera dikategorikan Data Deficient dikarenakan minimnya data mengenai hewan tersebut, namun diperkirakan jumlahnya semakin berkurang karena minimnya kemunculan hewan ini di ekosistem. Data ini menunjukkan tingkat keterancaman yang sangat tinggi untuk masing-masing spesies, dengan ancaman utama yang mencakup kehilangan habitat dan perburuan ilegal. Upaya konservasi sangat diperlukan untuk melindungi spesies-spesies ini dari kepunahan.
Risiko Terhadap Keanekaragaman Hayati
Perdagangan hewan endemik memiliki dampak yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati Indonesia. Penurunan populasi spesies endemik mengganggu keseimbangan ekosistem. Harimau Sumatera, sebagai predator puncak, memainkan peran penting dalam mengontrol populasi mangsa dan menjaga kestabilan rantai makanan. Hilangnya spesies ini dapat menyebabkan ledakan populasi mangsa yang berpotensi merusak vegetasi dan mengubah struktur ekosistem.
Selain itu, perdagangan ilegal ini seringkali disertai dengan perusakan habitat, yang memperburuk kondisi kehidupan spesies-spesies yang tersisa. Deforestasi dan perusakan habitat untuk memfasilitasi penangkapan hewan-hewan ini mengurangi luas area hutan yang penting bagi keberlangsungan hidup banyak spesies, mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan perubahan iklim lokal.
Perspektif Mahasiswa Biologi
Melihat fenomena ini diperlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Keberadaan hewan endemik Sumatera yang unik merupakan komponen penting dari keanekaragaman hayati global dan mendukung kestabilan ekosistem. Kehilangan spesies ini tidak hanya merugikan dari segi ekologis, tetapi juga mengakibatkan hilangnya warisan genetik dan ilmiah yang tidak dapat tergantikan. Aktivitas perdagangan ilegal menghambat upaya penelitian dan pelestarian yang berpotensi memberikan manfaat ilmiah dan medis bagi umat manusia.
Masyarakat memiliki peran penting dalam melindungi keanekaragaman hayati Indonesia. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya perdagangan hewan endemik dan dampaknya terhadap ekosistem. Edukasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian spesies-spesies ini dan dampak negatif dari konsumsi produk yang berasal dari perdagangan ilegal adalah langkah awal yang sangat penting. Peranan mahasiswa dan civitas akademik lain tentu akan membantu penyebaran informasi dan edukasi terhadap masyarakat. Â Mendukung upaya pelestarian melalui partisipasi dalam program konservasi, donasi, dan dukungan untuk kebijakan perlindungan satwa juga dapat membuat perubahan yang besar.
Selain perdagangan ilegal, biopiracy juga merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Biopiracy merujuk pada pengambilan dan pemanfaatan sumber daya genetik dari negara berkembang tanpa izin atau kompensasi yang adil. Dalam hal ini, spesies endemik Indonesia sering menjadi target bagi perusahaan-perusahaan asing yang mengklaim hak atas penemuan atau inovasi bioteknologi tanpa menghormati hak-hak lokal atau memberikan keuntungan yang adil bagi negara asal. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara secara ekonomi tetapi juga mengancam keragaman hayati dengan cara eksploitasi dan tidak berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H