[caption id="attachment_161268" align="alignleft" width="400" caption="Luna-Ariel (Kompasimages/Kristianto Purnomo)"][/caption]
Sakit! Itu mungkin yang pertama-kali terlintas dalam pikiran sebagian masyarakat atas sebagian besar masyarakat yang lain. Bagaimana tidak? ada begitu banyak masyarakat yang setiap harinya dari jam ke jam disuguhi produk murahan dan produk itu begitu dinikmati dan memberi keuntungan yang besar bagi si penyedia!
Bagi penyedia ini adalah peluang bisnis dan membuat roda ekonomi atau pembukuan perusahaan setidaknya tidak negatif atau mungkin saja biaya operasional perusahaan termasuk gaji karyawannya dapat dibayarkan karena produk jenis ini menjadi primadona diantara sebagian besar produk-produk lain mereka.
Di Indonesia ini, jika anda hidupkan televisi dari jam 6 pagi sampai jam 2 pagi lagi, dan berganti saluran dari satu saluran ke saluran tv yang lain untuk menikmati berita-berita gosip atau kisah sejenisnya atas selebritis atau tokoh masyarakat lainnya, maka percayalah, anda tidak akan kecewa! Saya tidak menelitinya, tetapi berdasarkan pengalaman yang saya lihat, tanpa kesengajaan tentunya, probabalitasnya bisa mencapai 70%!
Penting atau tidak penting, jelas apa yang dibilang sebagai tayangan gosip, sebenarnya adalah produk dengan biaya produksi minim tetapi memberikan keuntungan yang sangat besar. Itu sangat memenuhi hukum ekonomi urutan pertama. Sebagai contoh saja, produser tentunya tidak perlu mengeluarkan uang atau membayar si tokoh yang menjadi sasaran dalam berita ini. Biaya artis nol rupiah. Sementara, iklan-iklan dari berbagai produk sandang dan pangan sudah siap berlomba-lomba masuk ikut jualan, mungkin dengan durasi per menit senilai 20 juta rupiah?. Sebaliknya untuk film pendek atau sinetron, sudah pastilah produser harus membayar artisnya mungkin 30 juta rupiah per episode? dan iklan? belum tentu ada yang mau, itu masih tergantung sinetronnya laku dijual atau tidak?
Sadar atau tidak tayangan gosip bukan hanya biaya produksinya yang murah tetapi juga termasuk isi tayangannya. Dari sisi kemanusiaan, apa yang ditayangkan sering bertentangan dengan norma-norma yang dianut dalam masyarakat. Bila ada proses pembelajaran, maka pertanyaannya apa yang baik yang dapat dipelajari dari tayangan realitas dari seorang anak yang mengumpat orang tuanya atau sebaliknya. Atau kasus-2 perceraian yang dikupas sedalam-dalamnya sementara tokoh yang bercerai berpendirian kasus kawin-cerai adalah hal yang biasa. Atau mungkin yang paling sedang dibicarakan kasus video in action.
Pikirkan sekali lagi, tayangan yang berulang-ulang tentang keburukan tokoh masyarakat, disponsori oleh produk-produk sandang dan pangan, dijual dari jam ke jam, umumnya dinikmati oleh masyarakat yang sering tinggal dirumah, yang tidak punya banyak kegiatan dan itu hampir mencapai mungkin 80% penduduk Indonesia? saya berani berpendapat tidak ada pembelajaran yang baik yang dapat diterima! Tayangan yang diulang dan berulang-ulang itu justru bisa menjadi nilai baru di masyarakat, atau proses pencucian otak, menggiring sebagian masyarakat ke pola pikir membenarkan suatu prilaku moral yang salah!
Kisah video mirip luna-ariel, bisa juga didekati dari sisi "karya konspirasi"Â dari penyedia informasi miring. Pikirkan sekali lagi, siapa yang diuntungkan dari karya konspirasi ini? Tidak jauh-jauh, si penyedia produk murahan. Jika ada yang menghitung, maka meledaknya berita ini dalam satu minggu ini saja, milyaran rupiah telah masuk ke kas penyedia berita, pastinya lah mereka mendapatkan video dan berita itu for free. Itulah konspirasi!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H