Premium yang disubsidi pemerintah saat ini masih pada harga Rp 4.500 per liter dengan harga minyak dunia sekitar US$ 77 per barel dan nilai tukar rupiah 9.300,- per US$.
Pada 15 Mei, 2008 saat nilai tukar rupiah 9.300 per US$ harga minyak dunia mencapai US$ 126 per barel, saat itu Pertamina merilis harga Premium sebesar Rp 7.780 per liter.
Harga premium Rp 4.500 sebenarnya harga yang didasarkan pada perhitungan APBN 2009, dimana harga ini digolongkan sebagai harga tanpa subsidi yang dimungkinkan oleh harga minyak dunia saat itu US$ 45 per barel, dan nilai tukar rupiah pada 11.700 per US$. Seorang pengamat saat itu malah berpendapat dengan asumsi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah demikian, harga keekonomian yang lebih tepat bagi premium adalah berkisar Rp 3.500 per liter.
Coba kita hitung lebih realistis untuk harga premium APBN 2009 ini, jika dikonversikan 1 barel minyak mentah dunia (156 liter) nilainya menjadi (45 x Rp 11.700)/ 156 = Rp 3.375 per liter belum mencakup biaya produksi premium. Jika diasumsikan biaya produksi dan hal-hal lain yang terkait perliter premium adalah 30% dari Rp 3.375 maka secara kasar harga premium akan (1.3 x Rp 3.375) mendekati Rp 4.500
Pada APBN 2010 asumsi nilai tukar rupiah yang digunakan adalah 9.500 sementara asumsi harga minyak dunia yang digunkana adalah US$ 65 per barel. Jika dihitung dengan cara yang sama seperti di atas, maka didapat harga premium untuk APBN ini adalah mendekati Rp 5.265.
Dengan kondisi aktual per hari ini dimana harga minyak dunia mencapai US$ 77 per barel dan nilai tukar rupiah pada Rp 9.300 per US$, maka harga premium tanpa subsidi semestinya sebesar Rp 6.100 artinya pada saat ini pemerintah telah mensubsidi Premium sebesar Rp 6.100 - Rp 4.500 = Rp 1.600 per liter atau ada kenaikan sebesar Rp 835 per liter dari APBN 2010.
Dalam kalkulasi di tulisan "Hapuskan Subsidi Premium untuk Sepeda Motor - Menghemat Rp 32 Triliun" total premium yang akan dikonsumsi jika dikaitkan dengan jumlah kendaraan yang meningkat pada tahun 2010 akan mencapai 35,1 juta kiloliter. Jadi total subsidi untuk premium dapat diperkirakan mencapai 56,16 T berbeda dari 69,2 T yang dihitung pada tulisan tersebut karena perbedaan nilai harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah yang digunakan dalam masing-masing perhitungan.
Memperhitungkan subsidi hanya lebih tepat jika diberikan kepada angkutan umum saja. Sekarang, kita asumsikan jumlah angkutan umum pada 2010 mencapai 20% dari proyeksi data BPS 10.690.000 atau sekitar 2.138.000 kendaraan, setiap angkutan umum bergerak dengan kecepatan 20 km per jam selama 10 jam sehari dengan konsumsi premium 1 liter per 11 km, dan beroperasi sebanyak 315 hari dalam setahun, maka pemerintah sebenarnya hanya perlu mensubsidi premium sebesar (2.138.000 kendaran XÂ (20 km/jam) x 10 jam X 315 hari X (1/11) liter per km = 12,2 juta kiloliter) atau mencapai 12,2 Juta kiloliter X Rp 1.600 = Rp 19,5 T.
Agar subsidi ini bisa berjalan di lapangan sebagaimana yang diharapkan, maka perlu dilakukan konversi dari STNK convesional ke STNK Card Auto Debet (STNK CAD) yang hanya khusus diterbitkan untuk angkutan umum, di mana pemerintah, kepolisian, direktorat pajak dan bank pemerintah bekerja-sama secara terpadu dalam merancang, menerbitkan STNK CAD serta dalam melaksanakan pengawasan pendebetan otomatis di lapangan.
Sebagai contoh, dari perhitungan di atas, untuk harga premium tanpa subsidi Rp 6.100, satu angkutan umum akan mendapat subsidi premium sebesar Rp 19,5 T/2.138.000 = Rp 9.120.000 per tahun. Maka pada setiap tahun perpanjangan STNK CAD, pemilik angkutan umum akan mendapatkan STNK CAD yang diterbitkan bekerja sama dengan bank pemerintah, dimana pada STNK CAD tersebut telah di kreditkan kan senilai (Rp 9.120.000 di kurangi pajak perpanjangan STNK CAD-nya). Selanjutnya angkutan umum setiap kali melakukan pembelian premium hanya akan membayar (Rp 6.100 - Rp 1.600) X jumlah liter yang dibeli. Jika ia membeli 10 liter maka dari STNK CAD nya akan di-debet-kan senilai Rp 16.000 dan ia hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 45.000. Demikian seterusnya sampai nilai uang STNK CAD nya habis digunakan dalam satu tahun. Jika nilai STNK CAD tersebut telah habis, maka sampai masa pembayaran pajak tahun berikutnya, ia harus membeli premium dengan harga Rp 6.100.-
Untuk menerapkan model ini tentu saja akan memerlukan perubahan pelayanan secara masif di pompa bensin, dalam arti memungkinkan terjadinya transaksi elektronik perbankan dengan hambatan seminim mungkin. Untuk lebih memudahkan, ada baiknya STNK CAD ini didisain sedemikian rupa, sehingga dapat diterapkan pada sebagian besar mesin debet beberapa bank. Namun demi tujuan dapat memanfaat sekitar 36T lainnya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat pada masa-masa berikutnya, perubahan ini tentulah cukup kecil dibanding perbaikan yang terjadi di masa datang.