Mohon tunggu...
Bije Widjajanto
Bije Widjajanto Mohon Tunggu... Konsultan Bisnis -

Konsultan strategi bisnis, franchising, pengembangan UKM, strategi marketing

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Benarkah Taksi Online Praktek Bisnis Tak Wajar?

28 Maret 2016   21:39 Diperbarui: 29 Maret 2016   01:08 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat bahwa Pembayaran Tarif Perjalanan penumpang diteruskan seluruhnya kepada pemilik mobil, maka bisa diartikan bahwa neraca manfaat dari perspektif pemilik aplikasi tidak seimbang. Pemilik aplikasi harus menanggung sendiri biaya aplikasi, biaya perusahaan, biaya asuransi dan pajak tanpa kontribusi dari penumpang maupun pemilik mobil. Pengecualian pada kasus Grab di Jakarta dalam beberapa bulan terakhir, pemilik mobil harus membayar sebagian dari penerimaan dari penumpang kepada pemilik aplikasi.

Biaya perusahaan yang harus ditanggung oleh pemilik aplikasi tidaklah kecil. Pada umumnya perusahaan ini dikelola oleh para profesional papan atas dengan tarif gaji yang tergolong tinggi. Selain itu juga biaya pemasaran yang sangat intensif untuk menarik pengguna aplikasi dan mendapatkan penumpang sebanyak-banyaknya. Dalam berbagai kasus, pemilik aplikasi rela untuk memberikan insentif baik kepada pemilik mobil dengan memberikan bonus per kilometer. Demikian juga pemilik aplikasi memberikan insentif kepada penumpang dengan tarif yang rendah.

Nah besarnya biaya ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana pemilik aplikasi memenuhi kebutuhan biaya rutin yang sangat tinggi tersebut?

Ada teori bahwa pemilik aplikasi sedang membangun database baik data konsumen maupun data pemilik mobil. Ketika database sudah terkumpul maka dapat memetik keuntungan finansial, misalnya dengan memasang iklan atau menjadikan aplikasinya sebagai media promosi. Hal ini sangat masuk akal, karena model yang sama juga dilakukan oleh Google yang nilai transaksinya sudah sangat besar. Namun untuk kasus aplikasi taksi on-line saya masih menyanksikan teori itu bisa bekerja.

Mengapa saya menyanksikan? Penelusuran saya dari berbagai sumber menghasilkan kesimpulan yang senada antara uber, grab dan gojek. Mereka memulai aplikasi tersebut dari seed funding selanjutnya meningkatkan kapasitas modalnya dengan melakukan fund raising. Sampai saat ini total dana sangat besar sudah berhasil dihimpun dalam waktu relatif sangat pendek. Dalam 7 tahun Uber telah mengumpulkan modal sampai USD 18,2 milyar. Sementara Grab  dalam waktu 5 tahun sejak dimulai tahun 2011 telah mendapatkan pendanaan USD 1 milyar lebih lebih dari berbagai sumber.

Secara normatif, modal bisnis dikembalikan dengan mengumpulkan keuntungan/profit. Dengan modal yang fantastis tersebut dan hingga saat ini bisnis taksi on-line belum mendapatkan keuntungan, maka pertanyaan saya adalah berapa lama bisnis ini akan balik modal.

 

Bije Widjajanto

Konsultan Franchise Ben WarG Consulting, Komisioner Pendidikan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Pengasuh dan Coach Komunitas Waralaba Nusantara (KAWAN), Direktur Indonesia Center for Franchising Studies (ICeFS).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun