Mohon tunggu...
Bijak Diaz
Bijak Diaz Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Untirta

Mahasiswa Untirta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fanatisme, Apakah Diperlukan?

3 Desember 2019   13:49 Diperbarui: 3 Desember 2019   14:00 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ambil kejadian Pilpres 2019 sebagai contoh kasus dari Fanatisme Sempit, karena event ini masih terasa segar di ingatan orang banyak. Saat itu dari bulan September 2018 sampai April 2019 atau bisa dibilang musim Pemilu, Indonesia terbagi atas dua kubu yaitu kubu 01 dan 02 yang masing-masing memiliki julukan yang kurang enak didengar yang diambil dari nama hewan. Baik pendukung 01 dan 02, mereka sama buruknya bagi yang menganut fanatisme sempit karena mereka menghalalkan segala cara agar paslon yang dipilih menang dan kelihatan sempurna dibanding kompetitornya. Yang dimaksud menghalalkan segala cara disini ialah seperti menyebar fitnah dan hoax yang berpotensi menjatuhkan lawan atau bisa disebut juga dengan kampanye hitam ( black campaign ). 

Masyarakat seolah kembali ke insting manusia purba yaitu insting mencari rasa nyaman, walau harus percaya kebohongan. Masyarakat menelan apapun yang membuat mereka merasa aman dan merasa menang. Lambat laun, gaya masyarakat berpolitik jadi tak ada bedanya seperti suporter bola yang dituding menjadi salah satu sumber konflik tersering. Mereka pikir menang adalah segalanya. Mereka ada di dimensi yang jauh berbeda dengan elite politik. Konflik, konsensus, dan kompromi adalah komoditas yang masih awam untuk masyarakat. 

Padahal, persaingan elite politik kita dari dulu hanya begitu-begitu saja. Tidak ada kawan dan lawan abadi. Konflik biasa, konsensus dan kompromi pun cair-cair saja. Mendadak cari " wapres ulama " atau mendadak cari wapres yang langsung auto santri pun santai saja. Bermain di dua kaki juga sudah biasa. Pindah kubu politik pun adalah praktik-praktik lama yang sedari dulu sudah ada. 

Masalah Fanatisme sempit berbentuk kampanye hitam ini juga pernah terjadi pada masa pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 saat Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan memperebutkan kursi panas untuk posisi orang paling penting di DKI Jakarta. Kala itu maraknya berita hoax yang mengudara yang bertujuan menjatuhkan masing-masing cagub, terhitung per Desember 2017 ada total 3.884 konten hoax dan ujaran kebencian yang malang melintang di berbagai media sosial saat musim kampanye ketiga calon gubernur tersebut. 

Lalu bagaimana dengan Fanatisme dalam beragama ? Sebenarnya fanatik beragama itu dianjurkan bahkan wajib hukumnya dalam beberapa ajaran. Seperti contoh dalam ajaran islam Dalam ajaran Islam, konsistensi atau dapat disebut juga dengan fanatisme adalah sebuah keharusan bagi setiap umatnya. Seorang penganut yang tidak fanatik terhadap agama islam tentu hanya akan merusak agama Islam itu sendiri. 

Pencampuran ajaran agama dengan yang lain (terutama ibadah mahdhoh) dapat berakibat ditolaknya amal perbuatan itu. Seperti misal, jika Islam mengharamkan suatu makanan kemudian kita mencoba melanggar hanya karena ajaran agama lain tidak mengharamkan, maka hal ini akan merusak nilai keimanan seseorang itu. Ketakutan-ketakutan akan adanya fanatisme terhadap agama (khususnya Islam) adalah suatu kesalahan.

Fanatisme terhadap agama Islam sesungguhnya akan melahirkan orang-orang yang berakhlak dan sopan santun. Karena ajaran agama Islam telah mengatur segala syaraf kehidupan manusia secara menyeluruh. Islam mengajarkan untuk menghormati agama lain, orang lain bahkan aturan untuk berbuat baik itu juga berlaku untuk makhluk lain termasuk binatang dan lain sebagainya. Karena sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui Al-Quran yang berbunyi:

...Sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami pun tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat." (QS. Saba' [34]: 24-25). 

Di dalam Islam juga, orang beragama tidak boleh dipaksakan. Islam adalah agama yang demokratis karena menyadari akan adanya perbedaan itu sebagai suatu yang sifatnya alami kodratnya dari Tuhan. Itu sebabnya Islam melarang umatnya mengganggu golongan lain atau paham ajaran lain, karena mengganggu yang lain sama dengan merusak persaudaraan dan nilai kemanusiaan yang ingin dibangun dalam Islam. 

Agama Islam diturunkan sebagai agama rahmatan lilalamin, yaitu memberikan kebaikan bagi umat manusia dan seluruh dunia. Dalam konteks ini tidak ada kekhususan bahwa keberadaan Islam hanya untuk umat islam sendiri, tetapi untuk seluruh penjuru dunia. 

Jadi, apakah Fanatisme diperlukan di dunia ini ? ada baiknya kita perlu membedakan makna kata fanatisme dalam berbagai konteks. Jika berkaitan dengan agama, fanatisme hukumnya wajib. Tetapi jika dikaitkan dengan politik, paham (golongan, suku, ras dll), termasuk kebudayaan, maka fanatisme sebaiknya dihilangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun