Mohon tunggu...
John Lelan
John Lelan Mohon Tunggu... -

"Kembali ke awal"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta yang Hakiki

16 Juli 2016   07:12 Diperbarui: 16 Juli 2016   07:55 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Satu-satunya bahasa yang dipahami oleh semua bangsa adalah bahasa cinta”

(St. Yosef Freinademetz)

Tentang definisi cinta hingga kini belum ada kata sepakat. Arti sesungguhnya dari kata cinta dan mencintai masih merupakan pencaharian abadi. Pencinta bilang dia mencintai kekasihnya. Guru bilang dia mencintai anak-anak didiknya. Negara mengatakan bahwa dia mencintai rakyatnya.

Cinta pada hakikatnya yang mendalam adalah pembebasan dan pemerdekaan diri. Dan pembebasan selalu membahagiakan. Rahasia cinta bukan ada pada ulasan-ulasan para penulis buku, atau nasihat dukun atau psikiater, melainkan dalam bathin kita sendiri.

Cinta adalah perkara membangun isi bathin. Dari common-sense masyarakat, cinta dapat dipahami sebagai sebuah perhatian dan kasih sayang terhadap orang lain. Cinta adalah pancaran perdamaian, persahabatan, kepedulian terhadap orang lain.

Secara normatif cinta adalah konklusi segala legitimasi yang terkumpul dari aneka fakta yang terbukti membahagiakan, yang hanya bisa ditemukan dalam laku kebajikan. Maka, cinta adalah pengetahuan yang mampu memahami keutamaan sebagai sumber kebahagiaan.

Kontra cinta adalah kekerasan. Kekerasan bukan kemasan baru abad ini. Kekerasan sudah dikenal sejak permulaan penciptaan. Sebelum agama-agama besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan demi, dari dan oleh agama sudah ada. Padahal Allah sama sekali tidak menghendaki kekerasan.

Hambatan primordial dalam mencintai sesama adalah kepentingan diri. Kepentingan diri menyebabkan kita melihat orang lain sebagai musuh yang patut dieliminasi. Orang lain dianggap sebagai sosok penghambat derap laju usaha pemenuhan kepentingan diri.

Cinta tidak bisa tumbuh subur dalam suasana di mana konsep aku adalah aku dan kamu adalah kamu masih kuat dianut. Kekuatan cinta memang melampaui sekat-sekat primordial manusia, tapi ia tidak berdaya dalam suasana dimana kepentingan diri masih dinorsatukan dalam seluruh aspek hidup.

Perluasan kepentingan diri adalah kepentingan kelompok. Di sini cinta menunjukkan wajah paradoksal. Makin orang memuja kelompok, kebencian terhadap orang di luar kelompok semakin besar. Atas nama cinta terhadap kelompok, orang bisa saja bersedia menjalankan misi bom bunuh diri. Meski tindakan heroik itu ujung-ujungnya menghabisi nyawa orang yang dilainkan kelompoknya.

Bentuk kesetiaan tak manusiawi terhadap kelompok nampak dalam sikap dan prinsip bahwa yang berbeda: agama, golongan, etnis, beda kepentingan bukanlah tetangga. Lantas dianggap pantas dieliminasi, dicederai, dibunuh karakternya.

Masyarakat damai tentu tidak bisa dibangun dalam suatu iklim kehidupan dimana orang-orang masih saling membenci. Masyarakat damai hanya bisa tercipta kalau orang saling melihat sebagai saudara-saudari.

Suatu hari seorang guru bertanya kepada murid-muridnya. Kapan hari dikatakan siang? Seorang muridnya bilang, “Hari dikatakan siang bila Matahari sudah terbit”. Gurunya bilang, “Tidak”. Seorang murid lain lagi bilang, “Hari dikatakan siang, bila saya bangun pagi ayahku sudah pergi ke tempat kerja”. Lagi-lagi gurunya bilang, “Tidak”. Murid yang paling pandai di kelas itu bilang, “Hari dikatakan siang bila dari kejauhan saya bisa bedakan itu manusia, itu binatang dan yang itu adalah pohon”. Gurunya bilang, “Bukan”. “Hari dikatakan siang bila kamu menerima orang lain sebagai saudara-saudarimu sendiri, kata guru mereka”.

Ketika Anda memandang orang lain sebagai seorang sahabat yang patut dicintai, sekalipun Matahari tidak bersinar terang, atau ketika Anda bangun pagi ayahmu masih ada di rumah, atau dari kejauhan Anda tidak bisa membedakan segala-galanya, hari dikatakan siang.

Masyarakat damai dimana kasih sebagai raja untuk konteks bangsa Indonesia tidak susah untuk dibangun. Kita diuntungkan oleh kenyataan bahwa kebudayaan-kebudayaan kita penuh nilai-nilai luhur. Misalnya, bahwa watak dasar budaya kita adalah cinta damai, berorientasi pada harmoni, saling menghargai dan menghormati. Agama-agama kita mengajar tentang cinta kasih dan melarang kekerasan.

Masyarakat damai di mana cinta sebagai raja nampaknya sulit untuk dibangun, tapi itu bukan berarti tidak bisa direalisasikan. St. Agustinus bilang, “Fungsi utama cinta kasih adalah mengikat kita dengan yang lain”.

Cinta kasih adalah pemersatu yang paling sukses. Cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis. Debu jadi butir-butir emas. Air keruh menjadi bening. Sakit jadi sehat. Penjara menjadi telaga. Derita menjadi bahagia. Air mata menjadi mata air.

Apa relasi cinta dengan kesuksesan? Unsur terpenting dalam kesuksesan tak lain adalah kemampuan seseorang menjalin relasi cinta dengan orang lain. Kunci sukses adalah efektif tidaknya relasi antarmanusia. Mau sukses, efektifkan relasimu sekarang. Tanpa ini, pintu sukses tetap terbuka lebar, tetapi sukses yang tidak memberi faedah untuk orang banyak. Sukses yang sempit cakupannya. Padahal inti kesuksesan adalah memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang banyak.

Cinta dan sukses tidak pernah berjalan masing-masing. Juga tidak pernah saling memberi punggung. Mereka bukan ibarat anjing dan kucing yang terbawa dalam kodrat untuk saling cakar-mencakar. Cinta dan sukses tidak pernah saling merendahkan.

Cinta memungkinkan orang untuk berkarya menemukan sukses. Cinta membimbing orang menuju sukses. Cinta membuat sukses seseorang bermartabat dan tidak berlebihan setelah sukses diraih.

Tanpa cinta siapapun dia orangnya akan gagal, meski segudang ilmu dan keahlian dimiliki. Sukses adalah akumulasi atau konsekuensi logis dari segala sesuatu yang Anda lakukan dalam cinta. Mau sukses Anda harus bekerja dalam cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun