Mohon tunggu...
Bigman Sirait
Bigman Sirait Mohon Tunggu... -

Pengamat Sosial, Etika, & Kepemimpinan

Selanjutnya

Tutup

Politik

#SUP - Mengamati Perjalanan Pengadilan

22 Desember 2016   17:04 Diperbarui: 22 Desember 2016   17:22 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  PERSIDANGAN Ahok dalam dugaan penistaan agama semakin membuka mata. Cara bicara Ahok memang tak menarik, bahkan bisa membuat merah telinga dari hati yang panas karena “merasa terganggu” kenyamanannya. Namun data dan fakta tak bisa ditiadakan karena kebenaran memang harus disampaikan sekalipun itu menyakitkan. Menarik mencermati jalannya persidangan yang semoga terus terbuka, bahkan semoga juga dalam pembuktian terbuka, dengan harapan hakim mengubah kebijakan. Ini sangat diperlukan sebagai pembelajaran bagi warga Jakarta yang akan memilih gubernurnya. Ini pelajaran politik yang sangat mahal dan menguntungkan warga. Semakin banyak data dan fakta akan membuat warga cermat dan tepat memilih, dan semakin teliti dikemudian hari. Yang untung tentu saja Indonesia kita yang akan semakin maju dan jaya karena rakyatnya semakin cerdas dan mawas.

Mencermati jawaban jaksa penuntut umum atas nota keberatan pembela hukum Ahok, sangat menarik, seperti yang disampaikan jaksa bahwa penuntut dan pembela pasti punya perspektif yang berbeda karena kepentingnya memang beda. Warga perlu belajar, untuk tak marah apalagi menista salah satu pihak hanya karena berbeda dengan selera kita. ini justru jadi alasan bahwa pembuktian itu sangat diperlukan, didukung dengan barang bukti, alat bukti, saksi, dan ahli. Semua pihak bisa berpendapat dan mengajukan bukti, namun dipersidangan hakimlah yang memutuskan, bukan penuntut, pembela, apalagi masa dari pihak yang berbeda. Belajar harganya memang mahal, tapi hukumnya harus, jika kita ingin maju.

Bahwa Ahok dikatakan telah menista agama karena ucapannya di kepulauan Seribu; Apa iya? Karena warga kepulauan tak pernah bermasalah. Yang bermasalah itu warga diluar kepulauan dan sembilan hari kemudian. Penyebabnya? Beredarnya youtube yang diedit dari ada kata pakai Alquran, menjadi Alquran inilah titik masalahnya. Agama apapun, penganutnya akan marah jika kitab sucinya disebut berbohong. Dan itu sebab dalam tiap agama ada yang disebut ajaran sesat atau bidah, karena kitab suci dipakai untuk tujuan yang berbeda dengan menyelewengkan makna. Tapi jika orangnya yang berbohong dengan memakai ayat suci, jelas orangnya yang salah. Dan jelas ini bukan soal isi kitab sucinya, melainkan oknumnya. Ini perlu dipertegas di pengadilan melalui argumentasi kedua pihak agar jadi pembelajaran buat warga.    

Bahwa Buni Yani sudah tersangka sebagai pengedar berita, karena dia menyebut bukan sebagai pihak yang pertama. Dan bahwa youtube seutuhnya ada diunggah PemProv DKI justru seharusnya tidak menimbulkan masalah jika dibandingkan. Jelas yang diedit telah menimbulkan gelombang masa yang tidak memahami hal sebetulnya, kecuali isu Ahok menista agama. Dan youtube asli menjadi tidak berarti karena gelombang masa dan bukan fakta hukum. Sudah terlanjur banyak orang yang menyebutnya salah, dan bisa dipahami tak mungkin meralatnya, kecuali maju terus dengan kekuatan masa. Persidangan agar memperhatikan urutan peristiwanya, karena ini sangat penting sebagai sebab akibat, dalam kasus ini. Ahok telah dijadikan sasaran tembak, atau mungkin hanya sasaran antara, sebagaimana isu politik kasus makar yang berkembang. Karena itu demi tegaknya hukum sebagai panglima, ini harus menjadi pusat perhatian hakim yang semoga senantiasa merdeka dari tekanan masa.  

Bahwa buku Ahok yang terbit Juli 2010 disebut sebagai bagian dari pemicu tuduhan penistaan sulit untuk dinalar. Sebaliknya, buku ini justru membuktikan bahwa pemikiran Ahok tentang para politisi yang bersembunyi dan berdalih kita suci, benar adanya. Hal ini disertai bukti brosur yang memakai ayat suci dalam Pilkada yang lalu di Babel yang dikuti oleh Ahok sebagai calon gubernur. Jika buku ini adalah pemicu penistaan agama maka demo besar-besaran sudah lama terjadi dalam tenggang waktu enam tahun. Mengapa logika buku itu terbukti, karena selama selang enam tahun Ahok tidak pernah maju menjadi calon gubernur, jadi aman-aman saja.

Tapi kali ini, disituasi ini, dimana Ahok adalah Gubernur dan akan maju sebagai calon gubernur petahana, isu penistaan mencuat. Jadi amat sangat jelas ini berkaitan erat dengan Pilkada DKI, dan isi buku Ahok bukan isapan jempol. Pidato di kepulauan Seribu dipelintir dengan diedit dan dijadikan pemicu. Dan Ahok pun dituduh sebagai penista agama dan ulama. Padahal Ahok tak menghina ulama manapun. Disisi lain, masalah ayat suci ini bukan diungkap agar Ahok dipilih, tapi justru sebaliknya tidak perlu sungkan untuk tidak memilih. Inilah yang menyadarkan kita bahwa ini bukan kasus penistaan agama tapi dikasuskan atas nama agama.

Bahwa fakta Ahok membangun mesjid di Balai kota dan Daan Mogot menurut jaksa adalah merupakan kewajiban dan kewajaran sebagai gubernur, dan tidak menunjukkan penghormatan, bisa jadi pertanyaan serius. Apakah hal ini jadi bukti bahwa gubernur sebelumnya tidak wajar, tidak bertanggungjawab, karena mesjid di Balaikota adalah kebutuhan pegawai yang menganut agama Islam. Jelas Ahok menghargai agama Islam, karena bukan hanya memikirkan Mesjid buat sholat pegawai beragama Islam, tapi juga mengirim mereka umroh.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah Ahok juga memberi zakat, padahal dia bukan Islam, dan hukumnya; Tidak ada kewajiban! Dia melakukan dengan kerelaan. Ini bisa dipahami karena fakta bahwa orangtua angkat dan saudaranya adalah penganut Islam yang baik. Tapi seperti yang dikatakan oleh jaksa bahwa masing-masing pihak mempunyai persepsi yang berbeda karena berbeda peran. Dan itu sah-sah saja. Hakim yang akan menjadi penentu keadilan sesuai tugas dan tanggungjawabnya; Apakah dengan data dan fakta yang ada, kasus ini layak dilanjutkan?

Menarik untuk mencermati babak berikutnya, dan kita bisa belajar menjadi “pengamat dadakan”, karena memang momentum seperti ini tidak selalu ada. Mungkin saja bisa salah, tapi paling tidak kita sudah belajar untuk menjadi warga yang cerdas, yang terpanggil memakai otaknya dan bukan hanya ototnya.

Mari silahkan makan SUP panasnya biar kita sehat dan kuat, jasmani dan rohani.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun