[caption caption="ilustrasi pernikahan gay. sumber poto:Reformata.com"][/caption]
HAK AZASI MANUSIA kini menjadi isu diberbagai belahan dunia. Dewa kebebasan sedang berjaya, sehingga atas nama HAM banyak hal yang dulu tabu atau bahkan dosa kini menjadi boleh dan sah.Â
Sekalipun tak dapat dipungkiri bahwa isu HAM telah menumbuh kembangkan penghargaan atas hak pribadi anak manusia yang memang merupakan hak yang mendasar, menyatu dengan harkat dirinya sebagai manusia yang sama satu dengan lainnya. Dalam pentas politik, kekuasaan, HAM berperan baik memberi warna baru.
Namun disisi lain HAM juga menimbulkan kebingungan, bukan karena kesalahan atas isu HAM tapi apa yang menjadi objek dari HAM itu sendiri. Manusia mengusungnya untuk kepentingan diri atau kelompoknya. HAM telah dijadikan isu untuk mengkebiri kewajiban azasi manusia. Ya, kewajiban azasi yang tak lagi dipandang penting, kecuali taat hukum. Namun saat bersamaan taat hukum juga ditunggangi oleh HAM. Jika tak cermat mengawasi manusia berjalan liar tak jelas arah. Hukum atas nama HAM bisa jadi kebingungan yang merontokkan nalar sehat. Apakah kesimpulan ini berlebihan? Sungguh tidak! Mari kita simak dengan cermat apa yang sedang terjadi disekitar isu LGBT.
Baca Juga: LGBT dalam Perspektif Teologis
     Amerika yang selalu menempatkan diri sebagai penegak HAM telah mempertontonkan kelucuan yang ironis dalam kasus LGBT. Amerika melegalisasi perkawinan homo, saat bersamaan juga mewajibkan gereja untuk memberikan berkat bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan. Penolakan gereja mengakibatkan seorang pendeta harus berhadapan dengan pengadilan. Lucu, karena atas nama HAM pemerintah Amerika melegaliasi perkawinan homo, namun memaksakan kehendaknya terhadap gereja yang berbeda sudut pandang. Bagi gereja yang memegang prinsip Alkitab, perkawinan homo adalah dosa, dan tak mungkin dilakukan oleh gereja.
 Seharusnya perbedaan sudut pandang itu sah dalam negara demokrasi seperti Amerika. Itu hak azasi! Tapi apa yang terjadi, aneh bin ajaib. Gereja dipaksa untuk menerima perkawinan homo, tidak peduli pada sikap iman gereja. HAM gereja diberangus. Jika pemerintah Amerika melegalitas perkawainan homo, itu putusan politisnya. Namun memaksa orang lain harus menerima, itu ambigu. Amerika mengeluarkan peraturan atas nama HAM dengan menabrak HAM yang lainnya. Diskriminasi sebagai negara pemberi kebebasan bagi LGBT, tapi sekaligus merampas kebebasan gereja bersikap. Adalah hak para LGBT menikah dengan pasangan sejenis, tapi hak gereja juga untuk tidak memberkatinya. Bukankah ini yang seharusnya terjadi? Tapi kenyataannya terbalik, penegak HAM itu ternyata pelanggar HAM berat. Agama sebagai institusi diberi kebebasan namun sebagai sikap iman agama dibungkam. Oh, HAM Amerika.
Baca Juga:LGBT dalam Perspektif Medis dan Psikologis
      Di Amerika yang memang merupakan negara paling liberal didunia, telah ada pasangan homo yang mendapat ijin mempunyai anak sendiri. Sperma pasangan homo dipertemukan dengan sel telur yang dibeli dan meminjam jasa seorang perempuan mengandungnya. Bayi lahir, menjadi anak kandung pasangan homo. Boleh? Atas nama HAM, apa yang tak boleh! Tapi lagi-lagi pelanggaran HAM serius terhadap anak yang dilahirkan. Bukankah hakekat anak itu sebagai manusia dan bukan produk.Â
Siapa yang telah merampas hak anak itu untuk menjadi sama dengan anak-anak lainnya, memiliki ayah dan ‘ibu yang tak berkumis’. Mengapa tak pernah ditanyakan keinginannya? Kemana HAM anak itu? Apakah karena dia bayi yang dilahirkan maka negara bisa merampas HAM nya? Padahal saat bersamaan di Amerika anak orang asing yang dilahirkan di Amerika mendapatkan hak kewarganegaraan Amerika. Jadi hak seorang anak diberlakukan berbeda, jika yang satu mendapatkan HAM nya, maka anak pasangan homo dirampas HAM nya oleh negara dan orangtuanya yang homo. Orang dewasa memang suka bersandiwara. Isu HAM sangat berkaitan dengan selera, satu saat dibela, lain waktu diinjak-injak.
     Di Indonesia, isu Ham juga sering bergerak liar. Penggusuran selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM, padahal ada data dan fakta yang tak terbantah bahwa yang digusur menduduki tanah yang bukan hak nya. Sudah semestinya digusur atas nama hukum, tapi entah bagaimana logikanya disebut melanggar HAM. Begitu juga dengan isu LGBT, Indonesia tampaknya pengekor Amerika. Sekalipun saat ini penolakan merata pada semua aspek, usaha kaum LGBT lewat isu HAM pasti akan terus bergerak.Â
Cara mereka berjuang diberbagai negara sangat terasa dan terbukti, yaitu memasuki dan jika ada peluang menduduki posisi-posisi berpengaruh, baik politik maupun gerakan masyarakat. Para biloner LGBT tak sungkan mendonasi uang mereka untuk memperjuangkan kepentingan kaum LGBT. Kaum LGBT harus dikasihi, ditolong lepas dari situasi mereka. Mereka tak perlu meminta hak untuk itu, karena adalah kewajiban kita bersama menolongnya sebagai sesama manusia. Namun soal perilaku itu yang kita lawan dan tak ada alasan membiarkannya. Populasi LGBT yang mencapai 2-3%, namun seringkali dibesar-besarkan seakan mencapai 10%, patut mendapat perhatian kita.Â
Mulailah dari keluarga, khususnya orangtua jangan abai mencermati perkembangan psikologis anak, kecuali anda memang orangtua yang jahat. Lalu dilingkungan sekolah, guru diharap mengamati perkembangan siswanya, tak larut hanya mengejar penyelesaian tugas mengajar dan sampingan lainnya. Kemudian dirumah ibadah dan masyarakat sekitar. Semoga kita masih punya hati untuk hidup benar dengan peduli sesama. Sementara bagi teman-teman LGBT, ingatlah bahwa perilaku bukan untuk sendiri tapi dapat mempengaruhi saudara, keponakan, atau oranglain disekitar diri.
Mari sadar diri dan menempatkan diri sebagai bagian dari masa depan hidup yang benar dan indah. Â Â
Sumber poto: Reformata.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H