Risk Premium dapat didefinisikan sebagai harga yang dikenakan atas pengoperasian dana masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit). Biasanya bank dalam pemberian kredit itu membagi debitur menurut segmentasi tertentu misalnya pembagiannya adalah debitur korporasi, debitur komersial, debitur retail dan debitur konsumer. Yang menjadi faktor untuk pembagian debitur adalah besarnya kredit, besarnya volume bisnis debitur, besarnya daerah operasional debitur, dan lain sebagainya. Masing-masing klassifikasi penggolongan debitur itu dapat mencerminkan tingkat risiko yang melekat untuk masing-masing debitur tersebut. Risk premium untuk debitur korporasi biasanya lebih rendah dari debitur segmen konsumer dengan asumsi bahwa debitur korporasi itu merupakan perusahaan besar yang sudah baik tata kelola perusahaannya.
Sedangkan risk premium untuk debitur konsumer biasanya yang tertinggi khususnya untuk kartu kredit. Secara total risk premium untuk seluruh segmen debitur tersebut mencerminkan berapa tingkat risiko kredit yang diberikan menjadi bermasalah. Menurut OJK kredit bermasalah (NPL) bank umum per Maret 2016 sebesar 2,8 % (Bisnis Indonesia, 15 Juni 2016). Besarnya NPL ini menunjukkan besarnya cadangan pinjaman bermasalah yang harus dibentuk yang akan membebani rugi-laba bank yang bersangkutan. Menurut perkiraan para ekonom NPL ini masih akan cenderung naik tapi tidak akan menyentuh angka 3,5% hal ini sejalan dengan belum pulihnya kondisi perekonomian Indonesia dan dunia serta NPL ini akan menurun setelah September 2016.
Target Laba.
Target laba setiap bank itu akan berbeda. Sumber dari pengembangan usaha bank salah satunya adalah berasal dari perolehan laba yang tidak dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham. Untuk bank yang telah tercatat di bursa maka target laba ini harus sedemikian rupa besarnya sehingga bisa menunjukkan pertumbuhan dari waktu ke waktu disamping harus cukup besar dalam rangka untuk dapat memberikan dividen yang cukup kepada pemegang saham dan untuk ditahan sebagai sumber pengembangan usaha di masa mendatang. Menurut OJK laba bank umum per Maret 2016 adalah sebesar 2,29 %. Untuk dapat menurunkan suku bunga kredit menjadi 1 digit pertanyaannya adalah maukah bank-bank berkorban menurunkan target labanya ?
Itulah formula untuk penetapan suku bunga kredit yang dapat dipedomani oleh bank. Pada bulan April 2016 rata-rata suku bunga kredit sebesar 12,6%, turun 10 basispoint dibandingkan bulan Maret 2016 sebesar 12,7%. (Bisnis Indonesia, tgl. 15 Juni 2016).
Pendekatan lain.
Untuk melihat hubungan antara suku bunga dana,  dan  suku bunga kredit bisa didekati dengan net interest margin (NIM). Net interest margin adalah selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan dana. Apabila dihubungkan dengan formula penentuan tingkat suku bunga kredit diatas maka dapat disimpulkan bahwa Net Interest Margin adalah :
Net Interest Margin  =  beban operasional + risk premium + target laba
Jadi dalam hal ini untuk dapat mencapai tingkat suku bunga kredit 1 digit maka yang harus dikendalikan adalah tingkat suku bunga dana simpanan dan besarnya net interest margin.
Yang menjadi tanda tanya besar untuk perbankan umum ditengah himbauan Pemerintah untuk suku bunga kredit menjadi 1 digit adalah perkembangan net interest margin bank umum sejak Desember 2015 mengalami kenaikan yaitu Desember 2015 adalah 5,39&, Januari 2016 adalah 5,63 %, Pebruari 2016 adalah 5,47% dan Maret 2016 adalah 5,55% (Bisnis Indonesia, tgl. 15 Juni 2016). Â Dengan tingginya NIM ini maka dapat menjadi daya tarik bank asing untuk beroperasi di Indonesia.
Dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan tingkat suku bunga kredit maka rasanya akan sulit untuk dapat mencapai tingkat suku bunga kredit 1 digit dalam waktu dekat ini terlebih menjelang hari raya lebaran nanti yang biasanya harga-harga akan mengalami kenaikan yang tentunya hal ini akan meningkatkan inflasi. Perlu dilakukan langkah-langkah yang drastis untuk menekan perbankan menurunkan suku bunga kredit. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan kebijakan suku bunga negatip oleh Bank Indonesia seperti yang terjadi di Jepang sehingga perbankan "terpaksa"  untuk menurunkan suku bunga simpanan deposito karena kalau tidak bisa menyalurkan dana simpanan yang berhasil dihimpun dalam bentuk kredit maka bank akan mengalami kerugian dengan membayar bunga simpanan deposito dan apabila dana simpanan tersebut  ditempatkan di Bank Indonesia maka pihak bank umum harus membayar biayanya ke Bank Indonesia.