Mohon tunggu...
Emes Bowie
Emes Bowie Mohon Tunggu... -

Writer & Author

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menapaki Punden Berundak Tertua di Nusantara

17 November 2018   03:35 Diperbarui: 17 November 2018   04:06 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 117 SM yang lalu, nenek moyang kita di tempat ini mulai menyusun batu-batu tersebut menjadi kuil peribadatan atau pemujaan. Hasil tes laboratorium yang dilakukan Lutfi Yondri dan rekan-rekan penelitinya menyatakan bahwa susunan batuan yang berada di teras satu atau paling bawah usianya lebih tua dari teras dua dan seterusnya. Sampai di teras empat, diperoleh angka tahun 45 SM. Ini menandakan Situs Gunung Padang dibangun secara bertahap dari bagian paling bawah menuju tempat paling atas, selama kurang lebih 62 tahun.

Dokpri
Dokpri
Di teras satu terdapat sebuah pohon besar. Akarnya menelan batu-batu yang cukup banyak di bawahnya. Beranjak ke teras dua, tiga, dan empat, jumlah balok-balok batu yang tersusun dan terhampar semakin sedikit. Namun di teras lima atau puncak Gunung Padang, jumlah batu/menhir kembali lebih banyak. Hal itu karena teras yang paling atas merupakan area paling vital dalam ritual atau pemujaan.

"Punden berundak Gunung Padang, kalau dibagi secara sederhana, ada sumur tua yang disebut sumur kahuripan, ada tangga utama, ada teras satu sampai lima, ada dinding pembatas teras, ada tangga teras, dinding batas halaman," jelas Lutfi kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang di bawah naungan Yayasan Dapuran Kipahare, di Kantor Juru Pelestari (Jupel) Gunung Padang, Cianjur, Sabtu (3/11/2018).

Ia meyakinkan bahwa tidak ada piramida di situs Gunung Padang sebagaimana kabar yang dihembuskan Ali Akbar dan peneliti lain pada sekitar tahun 2011 hingga 2013. "Sebenarnya di dalam Gunung Padang itu bukan ruangan, tapi lapisan tanah yang basah. Di situ ada hidrolitik. Ada hidrologi di sana, sehingga di Gunung Padang itu tidak pernah kering. Itu yang menyimpan air sehingga Gunung Padang tidak pernah kering. Masih ada tangga yang asli dari susunan jaman dulu, ribuan tahun lalu," tegasnya.

Namun sejalan waktu, karena proses alam dan juga fenomena seperti gempa, maka terdapat bagian yang tak utuh lagi. Perlu diketahui, Gunung Padang ini dilalui dua sesar aktif. Meski begitu, masih banyak bagian dan susunan altar di teras satu sampai teras lima yang masih utuh setelah melalui waktu ribuan tahun lamanya.

dari-teras-1-2-5bef265212ae9433091af246.jpg
dari-teras-1-2-5bef265212ae9433091af246.jpg
Teras satu menyambung dengan tumpukan batu menggunung, hampir mencapai teras dua. Ada bekas tangga yang sudah tidak dapat dipakai. Warga menyebut ini sebagai bukit masigit. Pada puncak gunungan itu tumbuh pohon tinggi yang cukup rindang. Menurut kepercayaan, ini adalah tempat atau gudang ilmu. Area ini merupakan yang paling sejuk dibanding teras-teras lainnya.

Dokpri
Dokpri
Walau pagar tali mengelilinginya, pengunjung boleh mendaki tumpukan menhir tersebut dari teras dua, dengan syarat melepas alas kaki. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi menhir-menhir yang ada. Dari situ pula, kita bisa menyaksikan, hamparan teras satu dan tangga di bawahnya atau meneropong jauh ke atas hingga ke teras lima, menyaksikan perbukitan di sekeliling gunung padang, serta puncak gunung Pangrango di kejauhan.

Melangkah ke gerbang teras dua, ada yang disebut batu kursi. Ini merupakan tempat duduk raja atau pemimpin. Dari tempat duduk ini bisa menikmati panorama alam, tampak pula puncak gunung gede pangrango bila cuaca cerah.

batu-kujang-5bef27d66ddcae2abf369482.jpg
batu-kujang-5bef27d66ddcae2abf369482.jpg
Di teras tiga, terdapat menhir yang disebut Batu Kujang. Berupa menhir besar, posisinya sudah roboh atau terbaring. Disebut batu kujang karena pada satu sisinya terukir gambar senjata khas masyarakat Sunda atau Jawa Barat itu. Ukuran reliefnya cukup besar. Nanang Sukmana meneceritakan, ukiran ini sudah ada sejak situs dibuka kembali pada 1979.

Dokpri
Dokpri
Di teras tiga ini juga, ada batu yang dikenal dengan jejak maung atau harimau. Batunya pun beda dari menhir-menhir lainnya. Ukurannya besar terbaring dan lumayan bulat tidak sempurna. Nanang menjelaskan, memang sekilas relief itu mirip tapak haraimau. Kebetulan juga maung adalah bahasa Sunda yang artinya harimau. Namun dalam arti lain, maung itu singkatan dari manusia unggul. Jadi relief ini merupakan jejak dari pertapaan yang dilakukan oleh manusia unggul. Jika dihitung, jejak maung itu memiliki cekungan berjumlah sembilan. Di sisi bawah, ada relief jejak tumit kiri dan kanan, lalu di batu depannya ada jejak tongkat. Jika dipraktikkan, maka duduk sesuai dengan jejak tapak, tumit dan tongkat itu menghadap ke timur alias menyongsong mentari atau sunrise.

Dokpri
Dokpri
Naik ke teras empat. Ini adalah teras yang paling lapang. Balok-balok batu kebanyakan hanya tertancap sebagai pagar di sekeliling teras. Namun ada satu blok di dekat sebuah pohon yang tumbuh menjulang. Batu yang ukurannya lumayan besar ketimbang menhir-menhir di sekelilingnya. Berpagar batu-batu lebih kecil, menhir itu tegak berdiri namun menapak tidak terpendam tanah. Kini, juru pelestari mengamankannya dengan kawat karena posisinya kerap berpindah-pindah, rawan hilang dan rusak. Itu karena banyak pengunjung yang berusaha mengangkat dan memindahkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun