Sekitar akhir 2011, mencul kabar menggemparkan. Ada piramida di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, yang diduga lebih tua dari piramida-piramida di Mesir. Isu ini menggelinding liar, menghiasi berita-berita di media massa dan perbincangan masyarakat luas.
Orang pun ramai-ramai ingin melihat langsung keberadaannya. Pengunjung yang membludak memberi pemasukan bagi pengelola situs pra sejarah ini. Namun, dampak negatifnya, masih adanya pengunjung bertabiat negatif, menyebabkan beberapa kerusakan dan menyisakan sampah yang berserakan.
Beruntung, Gunung Padang punya masyarakat yang cukup peduli terhadap kelestariannya. Salah satunya Yayasan Dapuran Kipahare, yang menaungi komunitas-komunitas masyarakat yang dengan sukarela merawat situs-situs cagar budaya, seperti situs Gunung Padang.
Meski sulit dibendung, para pakar dan arekolog telah mencoba membatah tentang piramida Gunung Padang. Sudah lebih 30 tahun, mulai 1984, Dr. Lutfi Yondri, peneliti utama dari Badan Arkeologi Bandung, telah meneliti dan melakukan eskavasi situs Gunung Padang.
Sejak saat itu hingga sekarang, ia dan tim peneliti lain tidak menemukan adanya piramida di bukit yang bernama Gunung Padang di kabupaten Cianjur ini. Usianya pun tak setua piramida yang ada di Mesir.
"Saya sudah melakukan pertanggalan karbonnya, Gunung Padang itu dibangun di era pra sejarah, sekitar 117 SM - 45 SM. Kalau kita lihat pembabakan budaya itu di era paleometalik," jelas Lutfi, usai menyampaikan materi tentang Gunung Padang kepada relawan Forum Peduli Gunung Padang dari Yayasan Dapuran Kipahere, di Cianjur, Sabtu (3/11/2018).
Ia juga menceritakan bagaimana ia dan para arkeolog bergulat dengan tim yang dibentuk pemerintah. "Pada saat ramai masalah gunung padang itu (diisukan sebagai piramida), kami diberi dana untuk penelitian lebih dalam.
Dari situ pergulatan yang luar biasa, saya jadi ketua tim bergulat dengan tim yang dibentuk pemerintah SBY saat itu di antaranya Andi Arief. Mereka menggulirkan berbagai isu tentang adanya piramida, kita mencoba membantah dan membuktikan secara arkeologis."
Luthfi menyatakan, di bawah hamparan teras situs Gunung Padang itu semuanya hanyalah tanah. "Jadi ada tanah masa lalu, setelah sekian ribu ditinggalkan baru dibangun punden berundak di atasnya.
Ini yang menjadi isu piramid, karena digambar dengan ilusi imajiner (rekayasa komputer), digabungkan dengan gambar yang dibuat oleh bapak Budi Bramantyo, sehingga munculah istilah Mancu Picu. Mancu picu itu jauh lebih muda dibanding Gunung Padang. Mancu picu itu seumur dengan majapahit. Sementara Gunung Padang ini di era pra sejarah."
Balok-balok batu berbentuk prisma yang dijadikan punden berundak, juga berasal dari batu setempat, yang berasal dari proses vulkanik. Di dalam Gunung Padang tidak ada ruangan, melainkan lapisan tanah yang basah. "Di situ terdapat hidrolitik ada, hidrologi di sana, sehingga di Gunung Padang tidak pernah kering."
Sempat pula ada isu bahwa Gunung Padang menyimpan kandungan emas. Hal ini dibenarkan oleh Luthfi. Dengan adanya hidrotermal bekas gunung api purba, dapat dipastikan kawasan Gunung Padang menyimpan kandungan emas. Namun kandungannya tidak ekonomis. Dari pemerintah kolonial Belanda, juga Antam sudah melakukan studi soal ini.
"Gurandil, penambangan emas tradisional, di kawasan ini masih ada. Artinya kandungan emas itu ada. Tapi saya pernah wawancara dengan masyarakat, satu tahun itu dia mengeluarkan modal hampir Rp.1 miliar. Penghasilan kotor satu tahun itu Rp.1,5 miliar. Artinya keuntungan kotor itu Rp.500 Juta. Dibagi 365 hari, dibagi sekian ratus pekerja, ekonomis atau tidak, menguntungkan atau tidak?" papar Lutfi.
"Emas yang sesungguhnya, yang paling berharga, adalah situs Gunung Padang itu sendiri. (Dari Gunung Padang kita bisa belajar) Bagaimana pemimpin yang baik, masyarakat yang baik. Semua itu kita bisa baca dari Gunung Padang, bagaimana gotong royong dan sebagainya. Tanpa gotong royang, pemimpin yang baik, masyarakat yang kompak Gunung Padang tidak mungkin dibangun," imbuhnya.
Situs Gunung Padang ini sendiri sebenarnya telah ditemukan sejak lama. Berdasarkan catatan, pada masa pemerintah kolonial Belanda, R. D. M. Verbeek (1891) pernah datang juga De Corte dan kemudian N.J. Krom (1914) menyebutnya sebagai kuburan kuno.
"Saya sudah lakukan eskavasi di Gunung Padang itu tidak menemukan indikasi kuburan. Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat," jelas Lutfi.
Dengan adanya isu piramida, masyarakat makin ramai mengunjungi situs ini. Meski dikhawatirkan menambah kerusakan, Luthfi berharap momen ini menjadi titik balik bagi kita untuk mengemas dan menata situs ini ke depan sehingga dapat pertahankan dengan baik.
"Angka pertumbuhan pengunjung meningkat drastis sejak ada isu piramida itu. Tidak hanya wisatawan lokal tapi juga dari wisatawan mancanegara. Yang disayangkan dari Pemda Cianjur. Publikasi Gunung Padang hanya diandalkan dari pengunjung ke pengunjung. Belum ada publikasi yang ajeg dari Pemkab ataupun pemprov, sehingga isu (piramida) itu menjadi kemasan. Kita berharap, yang datang wisatawan dari dalam negeri untuk men-counter balik isu piramida. Bahwa itu hanya hoax," harap Lutfi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H