Mohon tunggu...
zahwan zaki
zahwan zaki Mohon Tunggu... Administrasi - Alumni IAIN SAS Babel (Pendidikan) dan Alumni STIA-LAN Jakarta (Bisnis)

Hobi melakukan perjalanan ke tempat yang belum pernah ditempuh dan terus mencoba menggerakkan pena, menulis apa yang bisa ditulis, paling tidak untuk bisa dibaca segelintir orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengintip Kehidupan Nelayan dan Menikmati Eksotisnya Pantai Turun Aban Bangka

28 Juni 2020   18:09 Diperbarui: 28 Juni 2020   18:03 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Penulis Sedang Berbincang Dengan Nelayan di Pantai Turun Aban. Dokpri

Menurut keterangan bapak-bapak tersebut, kurang lebih ada 70 perahu nelayan menginap atau menambat perahunya di Pantai Turun Aban. Para nelayan tersebut berasal dari Kelurahan Matras dan sekitarnya. Rata-rata perahu nelayan tersebut milik pribadi atau milik yang bersangkutan.

Para nelayan di Turun Aban ini menggantungkan hidupnya dari melaut sudah sejak lama. Hal itu dituturkan sendiri oleh bapak AN. Katakanlah sudah turun temurun. Mengepul atau tidaknya dapur keluarga, sangat bergantung dari hasil melaut itulah.

Ternyata pandemi covid-19 sangat berdampak pada pendapatan nelayan. Bagaimana bisa? Bapak AN menjelaskan kurang lebih 3 bulan terakhir daya beli masyarakat terhadap hasil laut berkurang atau menurun. Ini mengakibatkan harga jual nelayan ke pengepul juga murah. Selain itu, hasil tangkapan nelayan saat ini jauh berkurang tidak seperti dulu lagi.

Mengapa hasil tangkapan nelayan menurun? Kebetulan saat ini lagi musim angin kencang dan gelombang tinggi. Nelayan enggan melaut terlalu jauh, karena terkendala cuaca tersebut. 

Selain mendapatkan informasi dari bapak DA dan AN, saya juga mengulik informasi melalui SY, juga berprofesi selaku nelayan, kebetulan sedang merapikan jaring-jaring perlengkapan melautnya di atas perahu. 

Foto: Penulis Sedang Berbincang Dengan Nelayan di Pantai Turun Aban. Dokpri
Foto: Penulis Sedang Berbincang Dengan Nelayan di Pantai Turun Aban. Dokpri
Senang rasanya bisa berbincang langsung dengan para nelayan disitu, mengulik informasi seputaran profesi selaku nelayan, apalagi nelayan-nelayan yang saya jumpai tidak sungkan untuk berbagi cerita.

Namanya SY, masih bujangan, beberapa hari ini mencoba peruntungan menangkap hasil laut menggunakan “tebak” atau jaring. Pada sore hari tebak dipasang di tengah laut, baru pagi-pagi tebak diangkat lagi. Hasil tangkapan dari tebak hari ini cuma dapat 1 ekor ikan “hoile” yang dihargai pengepul seharga 25 ribu rupiah. 

Biasanya, SY spesial menangkap sutong atau cumi-cumi. Musim gelombang laut lagi tinggi, jadi tidak bisa jauh melaut, akibatnya SY cuma bisa membawa pulang 1 kg sutong. Biasanya ketika normal melaut, hasil menangkap cumi rata-rata 5 kg sutong. Harga per kilo gram biasanya dihargai 70 ribu sd 85 ribu rupiah.

Saat musim gelombang tinggi, para nelayan di pantai Turun Aban tidak bisa melaut seperti biasanya, tentunya sangat berdampak terhadap pendapatan sehari-hari.

Seperti halnya yang diungkapkan SY, sedikitnya hasil tangkap saat melaut, berimbas juga dengan biaya operasional yang dikeluarkannya. Untuk melaut, seorang nelayan harus menyediakan bahan bakar perahu dan bekal lainnya. Tidak jarang ketika melaut tidak mendapatkan hasil, yang ada hanya beban operasional saja. Masih untungnya, perahu yang digunakan untuk melaut merupakan perahu sendiri. 

Itulah kondisi nelayan Pantai Turun Aban sekarang, semoga cuaca kembali normal, dan hasil tangkap saat melaut pun kembali normal juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun