Sore itu, hujan sedang bertamu ke rumah bersama dengan dia yang dulu pernah menemani hari-hariku. Ada yang ingin kubicarakan, katanya. Tak ingin ada yang lain. Hanya kami berdua.
Sejenak tak ada suara diantara kami. Hanya suara rintik yang semakin deras beserta sapuan angin yang menerpa bunga dan dedaunan sekitar. Tak seperti biasanya, kali ini ada secangkir kopi dan segelas cokelat hangat diatas meja. Biasanya selalu ada dua cangkir kopi.
"Tidak bisakah kita kembali seperti semula?"
Sebuah pertanyaan yang memecahkan suasana sunyi di teras belakang. Pertanyaan yang sama, yang terulang kembali, namun dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini jauh lebih dalam dan penuh harap. Kualihkan pandangan pada secangkir kopi yang terlihat masih hangat. Terlihat dari uapnya yang masih berputar-putar diatas cangkir. Berusaha untuk tidak membahasnya lagi. Kusodorkan kopi itu tanpa melihat matanya, "Minumlah, nanti dingin."
Namun tatapannya tetap tak teralihkan.
"Kenapa menghindari pertanyaanku?" tanyanya lagi sembari menarik pergelangan tanganku.
Sapuan angin yang terasa, semakin mendukung suasana yang berubah menjadi dingin diantara kami. Sama seperti tatapannya sekarang.
"Bukankah sudah kusampaikan alasannya? Kita sudah tidak sejalan."
Ia melepaskan tanganku. Menarik nafas panjang dan menundukkan wajahnya. "Sebesar itu kah kesalahanku sampai kau benar-benar ingin pergi?"
Aku terdiam melihatnya yang berada persis disampingku. Urat wajahnya mulai menegang. Kuletakkan kembali kopi itu diatas meja, lalu mengatur nafasku setenang mungkin agar tak terpancing emosinya.
"Sudah waktunya aku kembali menjadi diriku."