Mohon tunggu...
Bibit Sukma
Bibit Sukma Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Berjuang dan Berhasil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pertanyaan Seputar Hukum Perdata Islam di Indonesia

21 Maret 2023   21:02 Diperbarui: 21 Maret 2023   21:43 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Perdata Islam di Indonesia. Pada tataran sistem hukum Indonesia saat ini, dimana hukum yang hidup adalah common law, hukum Islam dan hukum Barat, keberadaan hukum perdata Islam merupakan suatu keniscayaan yang keberadaannya menjadi ciri khas sistem hukum Indonesia. Hukum perdata Islam Indonesia adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia, yang bersumber dari hukum Islam (yang merupakan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, Hadits, Ijma dan sumber-sumber hukum lainnya) dan menjadi hukum positif melalui proses positivisasi. 

Hal ini harus dijelaskan mengingat hukum Islam (hukum Islam) tidak sama dengan Syariah atau Fiqh, karena ada produk hukum lain seperti fatwa, keputusan pengadilan dan undang-undang, yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan. konstruksi Hak Islam. Hal ini memang unik karena tidak semua negara muslim memilikinya. Di Arab Saudi misalnya, tidak ada peraturan hukum yang menjadi pedoman bagi kehidupan bernegara. 

Maka yang terjadi adalah perubahan dari nilai-nilai hukum Islam, seluruhnya atau sebagian, yang menjadi norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya UU Perkawinan, UU Wakaf, UU Haji, UU Perbankan (dan UU No. 10/1998 dan UU No 21/2008), dan yang tidak kalah penting adalah adanya himpunan hukum Islam yang juga berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Himpunan Hukum Dagang Syariah Berdasarkan Perma No. 2, 2008. 

Oleh karena itu, apa yang terkandung dalam hukum perdata Islam dapat mengandung hukum hukum keluarga, hukum dagang, hukum politik, hukum acara, dll. Prinsip Perkawinan dalam UU 1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam Undang-Undang 1 Tahun 1974 prinsip perkawinan meliputi; Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal, karena laki-laki dan perempuan harus saling membantu dan melengkapi, sehingga setiap orang dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual. 

Undang-undang ini mengatakan bahwa pernikahan adalah sah jika dilakukan dalam agama dan imannya Selain itu, setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum ini menganut asas monogami. Hanya jika permintaan data karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan suami untuk menikah lebih dariorang namun, pernikahan lebih dari satu pria istri, sekalipun yang bersangkutan menghendaki demikian dapat dilakukan jika kondisi tertentu terpenuhi dan diputuskan di pengadilan. 

Hukum ini mengikuti prinsip calon suami atau istri harus matang secara fisik dan mental untuk menikah tujuan pernikahan meski tanpa pengertian akhirnya bercerai dan memiliki anak yang baik. Oleh karena itu, pernikahan di bawah umur harus dicegah. Karena tujuan pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga kekal dan makmur, maka hukum ini mengikuti prinsip Perceraian pasti ada alasannya dan dieksekusi di pengadilan. Hak dan status istri seimbang dengan hak dan hak posisi laki-laki baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam masyarakat, yaitu dengan semua orang sesuatu dapat dirundingkan dan diputuskan bersama dalam keluarga.

Pentingnya Pencatatan Nikah dan Dampak Apabila Tidak Bila Tidak Didaftarkan. Pencatatan pernikahan meliputi manfaatkan atau manfaatkan, baiklah begitu besar dalam kehidupan manusia harus menyelesaikan ini. Jika perkawinan tidak diatur dengan jelas dengan undang-undang dan tidak para pihak menggunakan yang terdaftar yang baru saja menikah kepentingan pribadi dan merugikan orang lain terutama wanita dan anak-anak. Maka dari itu wajib untuk mencatatkan pernikahannya agar pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran dan kematian. Dampak jika tidak mendaftarkan pernikahannya:

Sosiologis. Adanya penuntutan bukanlah suatu perbuatan tertentu, sehingga penerapan hukum terhadap suatu peristiwa dapat diibaratkan seperti menarik garis lurus antara dua titik. Menurut Soerjono Soekanno, negara hukum dapat mencapai atau meleset dari tujuannya, sehingga biasanya diukur dengan seberapa berhasil mengatur sikap atau perilaku tertentu sehingga sesuai atau tidak sesuai dengan tujuannya.

Religius. Jelas kewajiban mencatatkan perkawinan dalam sumber-sumber hukum Islam, baik dalam Al-Qur'an maupun dalam Hadits. Selain itu, ulama fikih juga banyak memperhatikan pencatatan perkawinan. Mengingat Maslahah Mursala dalam hukum Islam, mutilasi perkawinan merupakan perbuatan yang wajib dilakukan.

Yuridis. Hal tersebut berimplikasi hukum terhadap berbagai aspek akibat tercapainya perkawinan yang baik, merujuk pada status suami istri, status anak yang dilahirkan, status harta benda, dan aspek keperdataan lainnya. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan bukanlah syarat sah atau tidaknya perkawinan itu. Namun, hal itu dilakukan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan karena perkawinan mereka tidak tercatat

Pendapat Ulama dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil. Mengenai masalah hukum menikahi wanita hamil karena zina, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa wanita yang hamil karena perzinahan, dia bisa menikah. Pendapat para ulama ini adalah bahwa wanita yang hamil akibat zina tidak tunduk pada hukum perkawinan yang ada di bawah hukum Syariah. Padahal tujuan iddah adalah untuk menjaga kesucian keturunan dan memuliakan sperma. 

Sedangkan menurut Ibnu Quddamah yaitu salah seorang ulama madzhab Hambali mengatakan hukum perkawinan bagi wanita hamil, karena tidak boleh berzina saat wanita hamil keadaan hamil Karena menurut Ibnu Quddamah ini adalah perempuan berhubungan seks di luar nikah, tetapi dia harus melanjutkannya masa iddah.

Mereka mengatakan bahwa wanita yang hamil dari seks dengan laki-laki haram lain maka diharamkan menikah dengannya sebagaimana diharamkan menikah dengan wanita hamil lain karena kehamilan menghalangi persetubuhan maka mencegah pernikahan karena wanita hamil mengalami nasabi dan mengejarnya melalui waktu iddah, sebelum memenuhi akad nikah , ia harus sungguh-sungguh bertobat atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Menurut KHI, wanita hamil di luar nikah dapat menikah dengan pria yang hamil tanpa menunggu wanita tersebut melahirkan di dalam rahimnya.

Bagaimana Cara Menghindari Perceraian. Yang harus dilakukan untuk menghindari perceraian:

Menyediakan waktu untuk terhubung dengan pasangan setiap hari. Sepasang suami istri dapat meningkatkan peluang pernikahan yang sukses dengan menghabiskan setidaknya 15 menit sehari secara eksklusif dengan satu sama lain.

Luapkan dan utarakan perasaan. Ekspresikan perasaan Anda sendiri agar Anda tidak mengalami ketidakseimbangan emosi dan menjadi marah sendiri.

Berkompromi satu sama lain. Memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan rumah tangga. Pada saat yang sama, pasangan Anda juga harus terbuka terhadap ide dan perspektif satu sama lain.

Jangan menyalahkan satu sama lain. Saling berbicara dan menerima kenyataan bahwa tidak semua harapan selalu berjalan sesuai rencana.

Luangkan waktu untuk diri sendiri, kalau memang dibutuhkan. Untuk mereflesikan kesalahan atau menenangkan pikiran.

Belajar memaafkan dan melupakan. Agar rasa bersalah dan dendam tidak menutupi hati yang lain. Lupakan dan biarkan itu menjadi salah satu kunci utama.

Bangun dan temukan goals anda sendiri dalam berumah tangga. Ketika sampai pada tujuan tertentu, Anda dan pasangan menjadi dekat dan bekerja sama untuk mencapainya. Inilah cara menghindari perceraian berdasarkan cita-cita lain yang ingin Anda penuhi.

Riview Book 

Judul Buku       : Hukum Perkawinan Islam 

Pengarang       : KH. Ahmad Azhar Basyir, MA

Dari kesimpulan mengenai isi buku tersebut membahas dan memaparkan secara rinci tentang tata cara dan hukum perkawinan menurut agama Islam. bagaimana hukum dari suatu pernikahan, lalu prosesnya khitbah, akad nikah dan unsur lainnya, syarat sahnya pernikawinan, hukum menghadiri walimah, hak dan kewajiban, putusnya perkawinan, iddah, tata cara rujuk, mengasuh anak, bagaimana kedudukan anak dari nasab anak hingga kedudukan anak dalam undang-undang, adopsi, nafkah keluarga, nafkah anak dan nafkah orang tua, lalu bagaimana mendidik anak, dan yang terakhir program keluarga berencana.

Lalu inspirasi setelah membaca buku tersebut ingin mengembangkan wawasan dalam hal pernikahan/perkawinan karena buku ini sangat pas bagi saya selaku mahasiswa yang menempuh pendidikan di prodi Hukum Keluarga Islam dan berguna bagi orang aman. Dengan sumber-sumber rujukan yang disajikan secara sistematis. Bahasa yang terpadu dengan perenungan menjadikan mudah dipahami dan dimaksudkan untuk menyampaikan ajaran-ajaran spiritural dan universal Islam dalam hal pernikahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun