Mohon tunggu...
Bias Niditra
Bias Niditra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Kisah Perjuangan Asep Suparman: Badut Lampu Merah di Cibinong

15 Desember 2024   20:01 Diperbarui: 15 Desember 2024   20:01 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Wawancara dengan Pak Asep (Sumber : Bias Niditra)

Di balik kostum badut yang ceria dan menghibur anak-anak di persimpangan lampu merah, ada kisah perjuangan hidup yang penuh warna. Asep Suparman, seorang pria asal Citeureup, setiap hari berjuang mencari nafkah dengan menjadi badut di lampu merah depan ITC Cibinong, Bogor. Meski pekerjaan ini terlihat sederhana, Asep menjalaninya dengan penuh keikhlasan, meskipun harus menanggung rasa lelah yang tak jarang menghampirinya.

 

Pagi Hingga Sore, Menjemput Rezeki di Persimpangan

"Setiap hari keluar dari rumah jam 7 pagi, pulang sekitar jam 4 sore," ungkap Asep saat ditemui pada Minggu, 8 Desember 2024, di lokasi kerjanya. Dengan kostum badut berbentuk bebek berwarna abu-abu dan biru, ia menghampiri pengendara yang berhenti saat lampu merah menyala. Dengan membawa ember plastik hijau, Asep menyapa mereka sambil menari atau melambai ramah, berharap ada beberapa rupiah yang terselip di antara simpati para pengendara.

Penghasilan dari pekerjaannya sebagai badut pun tidak menentu. "Kalau lagi ramai bisa dapat 80 sampai 100 ribu. Tapi kadang-kadang lebih sedikit, apalagi kalau musim hujan begini," tuturnya dengan nada pasrah. Menurut Asep, pendapatan hariannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sederhana keluarganya. "Yang penting buat makan, jajan anak, sama dapur bisa ngebul. Ya bersyukur aja," tambahnya.

Foto Wawancara dengan Pak Asep (Sumber : Bias Niditra)
Foto Wawancara dengan Pak Asep (Sumber : Bias Niditra)

Kehidupan di Antara Kostum dan Kebun

Asep tinggal di daerah Citeureup, Bogor. Jika tidak beraktivitas sebagai badut, ia menghabiskan hari-harinya dengan berkebun. Kebun menjadi tempat lain di mana ia berjuang untuk hidup. "Kalau lagi nggak ngebadut ya ke kebun, cari-cari kerjaan biar ada tambahan," jelasnya.

Bagi Asep, pekerjaan sebagai badut memang penuh suka dan duka. "Kalau senangnya, ya pas pengendara ramai dan ada yang ngasih lebih. Tapi sedihnya pas hujan, sepi, pendapatan jadi nggak tentu," ucap Asep sambil tersenyum tipis. Dalam kondisi cuaca ekstrem seperti hujan, pendapatan seringkali berkurang drastis karena jumlah pengendara yang melintas pun berkurang. Namun, Asep tetap berusaha bertahan dan bersyukur atas apa yang ia dapatkan.

"Yang namanya hidup, ya begini. Nggak selalu mulus, tapi kalau dijalani dengan ikhlas, insya Allah cukup," lanjutnya.

Rasa Pegal yang Tak Terelakkan

Dalam sehari, mengenakan kostum badut bukanlah perkara mudah. Panas, gerah, dan rasa pegal menjadi teman setia Asep selama ia bekerja. "Kostumnya berat dan gerah. Kalau sudah sore, badan ini rasanya pegal-pegal," kata Asep seraya menyeka keringat di dahinya.

Meski sering merasa lelah, Asep tak punya pilihan lain. Ia tetap berusaha tampil ceria di balik kostumnya. Baginya, tugasnya sebagai badut bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga menghibur orang-orang yang melihatnya. "Kadang kalau ada anak kecil ketawa lihat saya, rasanya senang aja. Capeknya sedikit hilang," kenangnya.

Foto Pak Asep berkeliling di sepanjang lampu merah (Sumber : Bias Niditra)
Foto Pak Asep berkeliling di sepanjang lampu merah (Sumber : Bias Niditra)

Perjuangan yang Patut Dicontoh

Kisah hidup Asep Suparman adalah gambaran nyata tentang perjuangan masyarakat kecil yang jarang mendapat sorotan. Di tengah kemacetan perkotaan, sosok seperti Asep kerap dianggap hanya sekadar hiburan sesaat. Namun, di balik itu semua, ada keringat, pengorbanan, dan harapan besar untuk kehidupan yang lebih baik.

Setiap harinya, Asep menantang dirinya sendiri untuk tetap kuat menghadapi segala kondisi. Hujan deras, panas terik, atau kemacetan panjang bukanlah alasan baginya untuk menyerah. Berada di bawah kostum badut berjam-jam memang tidak mudah. Beratnya kostum ditambah rasa panas dan gerah sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun, di saat orang lain mungkin mengeluh, Asep memilih untuk bersyukur.

"Kadang saya mikir, banyak orang di luar sana yang punya pekerjaan lebih baik dari saya, tapi mereka masih mengeluh. Sementara saya di sini, walau capek, walau pegal, saya tetap jalani dengan senang hati," ujar Asep. Kata-kata sederhana ini menggambarkan betapa besar tekad dan keikhlasan seorang pekerja seperti Asep.

Baginya, perjuangan bukan hanya soal bertahan hidup, tapi juga memberikan contoh positif bagi anak-anaknya. "Saya nggak mau anak saya lihat bapaknya malas atau menyerah. Saya mau mereka belajar kalau hidup itu memang butuh usaha dan sabar," ungkapnya penuh harapan.

Sikap Asep yang penuh syukur dan pantang menyerah patut menjadi cermin bagi banyak orang. Di tengah segala keterbatasan, ia tetap menjalani hidup dengan ikhlas dan semangat. Perjuangan seperti ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati datang dari hati yang lapang dan usaha yang tidak pernah putus.

"Kalau lihat orang ngasih recehan, ya saya syukuri. Karena saya tahu cari uang itu susah," ujarnya lirih. Bagi Asep, uang yang ia terima dari pengendara bukan sekadar nominal rupiah, melainkan bentuk apresiasi atas kerja kerasnya. Ia berharap agar masyarakat dapat lebih menghargai pekerja jalanan seperti dirinya, yang setiap hari harus berjuang dalam kondisi sulit.

"Buat saya, yang penting halal. Nggak apa-apa capek, nggak apa-apa pegal, asal rezekinya berkah," katanya dengan senyum kecil. Prinsip hidup Asep yang sederhana namun penuh makna ini memberikan pelajaran berharga tentang arti kerja keras, keikhlasan, dan rasa syukur.

Foto Pak Asep (Sumber : Bias Niditra 
Foto Pak Asep (Sumber : Bias Niditra 

Harapan untuk Masa Depan

Asep Suparman bukanlah satu-satunya orang yang bekerja di jalanan untuk menyambung hidup. Namun, kisahnya mencerminkan realitas yang dihadapi banyak pekerja informal di Indonesia. Ia tak meminta banyak, hanya berharap pekerjaannya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

"Saya kerja begini bukan karena mau senang-senang. Tapi buat keluarga. Buat anak bisa jajan, buat makan di rumah. Itu saja sudah cukup," ujar Asep menutup perbincangan.

Kisah Asep Suparman mengingatkan kita untuk lebih menghargai perjuangan orang-orang di sekitar kita. Di balik tawa yang ia bagikan sebagai badut, tersimpan harapan sederhana untuk hidup yang layak dan penuh keberkahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun