Perjalanan ke Puncak Welirang boleh dibilang perjalanan yang mendebarkan bagi saya, karena hanya saya yang membawa rain coat. Semua bawaan memang disarankan untuk dititipkan ke pemilik warung. Saya dan teman hanya membawa day pack berisi air dan roti, jadi wajar kalau mereka lupa memindahkan rain coatke day pack.Tapi karena saya melihat mereka santai-santai saja, kegelisahan saya sedikit terobati. Bahkan salah satu dari mereka dengan tanpa beban berkata lebih sayang DLSR andai terjadi hujan.
Menjelang puncak Welirang, secara kebetulan saya menjumpai seorang penambang yang sedang merapikan karung berisi penuh belerang di Gledegan (semacam bak pengangkut beroda dua), orangnya sangat ramah jauh dari rumor yang saya baca dari literatur catatan perjalanan. Mirip seorang guideyang menjelaskan tanpa harus ditanya. Bisa jadi keramahan beliau karena merasa berhadapan dengan orang yang sudah matang (tua)? Wallahu A’lam. Darinya saya mendapat info bahwa penambang bukan saja berasal dari penduduk setempat. Para pendatang (beraksen Madura) inilah yang kurang welcome dengan para pendaki. Mereka merasa terganggu saat aktifitasnya diabadikan oleh para pendaki bahkan mereka tak segan untuk merebut kamera pendaki. Kesimpulannya kata penambang tadi, diharapkan untuk tidak mengambil gambar aktifitas mereka kecuali yakin obyek yang akan diambil adalah penduduk setempat.
Dan satu lagi saran yang paling berkesan, kalau tidak ingin tersesat saat turun ikuti bekas jejak roda dari gledegan. Bagi saya pesan itu adalah pesan kepastian yang tak ternilai karena menyangkut keselamatan. Jalur menuju puncak Welirang memang tanpa tanda jejak, yang ada hanya jalan setapak yang kadang bercabang. Jalan utama adalah jalan yang biasa dilalui penambang sedang yang lain adalah jalan air yang kadang kalau pendaki tidak fokus, menganggap bahwa itu jalan pintas.
Jam menunjuk angka 13.35 saat saya dan tim tetap kompak dan utuh di puncak Welirang. Itu artinya saya masih mampu mengimbangi stamina muda mereka. Angin yang kencang adalah alasan saya untuk sesegera mungkin menghentikan selfie mereka dan mengajak turun, karena meski semua siap dengan masker basah, kawah belerang pekat yang terus mengepul dikhawatirkan terhisap karena terbawa angin. Perjalanan turun dari puncak Welirang ke pos Pondokan, butuh waktu lebih cepat dibanding saat naik, tak lebih dari satu setengah jam. Bisa dimaklumi karena disamping trek yang menurun, persendian saya masih terasa fit untuk berjalan dan bahkan sesekali berlari.
Setelah bercengkerama dengan sesame pendaki, Kurang lebih jam 04.00 sore saya memutuskan untuk tidak bermalam di tempat ini karena saya lebih tertarik bermalam di Lembah Kembar (ada yang menyebut Lembah Kidang), yang jarak waktunya 15 menitan dari tempat ini. Disebut Lembah Kembar karena terdapat dua lembah yang sama-sama terdapat sumber air. Yang pertama seukuran lapangan Volly dan yang ke dua (kurang lebih 100m setelahnya) luasnya seukuran lapangan sepak bola dengan dikelilingi pohon-pohon cemara khas lembah gunung. Yang kedua ini barulah boleh disebut lembah sejati nan elok. Saya memilih bermalam di sini, di dekat sumber air.
Pukul 04.00 pagi, semua sepakat untuk segera memulai summitke puncak Arjuno (3339 mdpl). Mendaki di pagi buta, prinsipnya sama dengan mendaki dimalam hari yaitu mampu menyeimbangkan hawa dingin dengan gerak langkah. Terlalu cepat melangkah berakibat keringat yang keluar terlalu banyak. Keringat terlalu banyak sama saja dengan badan di basuh dengan air dingin.
Sebaliknya terlalu banyak istirahat sama saja dengan tak ada perlawanan tubuh saat diserang hawa dingin. Jadi boleh berjalan pelan tapi hindari berhenti apalagi istirahat. Dengan prinsip seperti itu maka perjalanan ke puncak Ogal Agil (Nama puncak Arjuno) hanya butuh waktu 3,5 jam saja. Sedang waktu yang dibutuhkan untuk turun cukup 1 jam lebih sedikit. Mungkin karena terbiasa melakukan pendakian di beberapa Gunung, trek dari dank e puncak Arjuno tidaklah mengejutkan bagi saya. Namun untuk mendaki dua gunung sekaligus, hal ini baru pertama kali saya lakukan dan di usia “terlambat” pula.
Saya menyebut terlambat karena teringat Willem Sigar (58), pendaki gaek yang baru saja memecahkan rekor 50 gunung dalam 40 hari (26April s/d 4Juni2016). Mulai dari Kelimutu (NTT) sampai Sibayak (SumateraUtara).Usia beliau memang 10 tahun lebih tua dari saya tetapi beliau memulai mendaki serius di tahun 1977 saat masih 19 tahun. Gunung pertama yang didaki Willem adalah Gede Pangrango. Dari pengalaman pertama mendaki itulah awal mula Willem jatuh cinta.
Gunung Slamet yang adalah Gunung tertinggi di Jawa Tengah sudah ia daki 70 kali. Artinya kalau beliau mendaki gunung-gunung yang ada di Indonesia tak lebih hanya de javu saja. Karena semua sudah pernah ia daki sebelumnya. Satu persamaan antara Willem dengan saya hanya kebiasaan saat sudah sampai puncak, "Biasanya sampai puncak saya buka tripod, foto-foto,sambil mengunyah sandwich, kemudian langsung turun lagi,"begitu kata dia.
Kesimpulannya, tulisan ini memang bukan tentang kompetisi mendaki orang tua dan anak muda, juga bukan tentang Gunung dengan keindahannya, keekstriman cuacanya, apalagi detil teknispendakiannya, tapi soal mampukah di usia menjelang senja mengimbangi mereka anak muda. Yang saya tahu dari obrolan dengan pendaki muda adalah lamanya persiapan. Anak muda hanya perlu persiapan fisik seminggu dua minggu menjelang hari H. Orang Tua mustahil untuk meniru mereka.
Diperlukan kontinyuitas terukur agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Contoh yang saya alami, kalau terbiasa lari 3 km seminggu 2X maka ketika seminggu tidak melakukannya otomatis butuh adaptasi lagi untuk bisa mencapai 3km. Begitu kira kira yang saya alami. Yang pasti usia bukan penghalang untuk bisa mendaki gunung karena bugar itu memang pilihan.