Boleh boleh saja merayakan hari ibu dengan banyak cara mulai dari yang sederhana dengan meng upload ibu dan anak, sampai yang wah dengan melibatkan EO seperti pada acara membasuh kaki ibu yang di lakukan di beberapa daerah. Toh semuanya satu niat yaitu mengagungkan ibu di hari itu. Sama juga seperti memperingati hari pernikahan, hari jadian, hari kasih sayang dan hari hari yang lain, semuanya menyadarkan bahwa ada titik balik (titi wanci dalam versi jawa) di kehidupan kita. Yaitu sebagai penanda pada mereka yang melupakan momen tersebut.
Alasan kesibukan sehari hari membuat wajar bila terkadang melupakan bagaimana keadaan ibu kita. Memang, mereka yang tidak mempunyai tingkat kesibukan tinggi menganggap keterlaluan jika sampai melakukan itu. Itulah sebabnya mengapa tak ada hari ibu menurut mereka, karena setiap hari setiap minggu atau setiap bulan selalu meluangkan waktunya demi ibunda tercinta. Artinya, terjawab sudah untuk siapa hari ibu di adakan.
Anak yang jauh dari ibunya karena alasan tertentu, apalagi sudah mempunyai keluarga sendiri selalu dihadapkan pada dilema saat sang ibu jatuh sakit. Apalagi di tambah ketidak beruntungan sang anak dari sisi ekonomi, semakin menambah ke ruwetan berpikir. Mengunjungi ibu artinya harus memastikan dulu kesjahteraan kelurga selama ditinggalkan. Tidak mengunjungi artinya konsentrasi pekerjaan terganggu. Berhutang, justru bukan solusi yang di dapat, malah masalah baru akan timbul. Mungkin ada benarnya apa yang telah di ikhtiari saudara saya, ibu dari enam anak yang senantiasa berharap dan ber Do’a, agar kelak semua menantu-menantunya tidak jauh dari sang ibu. Dan patut di syukuri ternyata ke enam anak-anaknya telah berjodoh hanya “lima langkah dari rumah”. Paling jauh satu Kecamatan. Walaupun saudara saya ini belum butuh perhatian khusus dari para putra putrinya, paling tidak jarak yang tak begitu jauh sudah memberi ketenangan sang ibu. Benarkah demikian?
Menebak perhatian anak setelah berumah tangga kadang kurang pas jika hanya melihat cara orang tua mendidik atau melihat kedekatan anak dengan orang tua sebelum berkeluarga. Jika asuransi bisa memberi jaminan kepastian yang berefek pada ketenangan, tak ada jaminan anak akan memberi kepastian ketenangan meski jarak bersebelahan. Cerita ini mungkin bakal menguatkannya.
“Hubungan saya dengan keluarga yang saya ceritakan ini sangat dekat sekali,artinya tidak di ragukan lagi bagaimana cara mendidik beliau dengan kedua putranya. Mulai kemandirian, pondasi agama, pengetahuan, ketegasan, sampai akhirnya menjadi ‘orang’ dan bahkan sampai saya menjadi saksi nikah, benar-benar cara mendidik yang ideal menurut ukuran saya. Tak ada kata pelit di kamusnya. Hasil bekerja dan berusaha semua untuk anak. Tidak heran kalau akhirnya ke dua putranya setelah menikah langsung menempati rumah baru pemberian orang tua. Sampai akhirnya saya mendengar kabar kalau sang ibu sudah sebulan ini di rawat di rumah saudaranya karena serangan stroke. Bukan di rawat di rumahnya sendiri atau di rumah salah satu putranya”.
Akan banyak alasan sepihak mengapa bisa seperti itu, tetapi faktanya kembali seperti di atas bahwa tidak ada jaminan kelak anak akan selalu menemani ibu walau secara fisik sangat dekat. Terkadang tak di sangka-sangka, anak yang kurang diperhatikan orang tua dibanding saudaranya yang lain justru malah berbalik memberi perhatian lebih kepada orang tuanya saat di butuhkan. Cerita ini akan membuktikan.
“Belum genap satu tahun, saya mengenal teman sejawat ini. Masih muda. Puncak karir nya sebagai seorang kepala sekolah swasta di suatu daerah harus rela ia lepaskan, dan memutuskan untuk memilih pulang kampung sebagai guru biasa untuk menjaga sang bapak yangmemang butuh perawatan pasca serangan stroke. Cerita tidak berhenti sampai di sini, pernah suatu ketika dokter menyuruh perawat melepas semua alat pendeteksi detak jantung karena menganggap tak ada harapan hidup lagi. Bermacam-macam kalimat dzikir ia bisikkan di telinga sang bapak, sebagaimana lazimnya tuntunan syari’at. Namun sang bapak masih tetap meregang nyawa. Di tengah dzikir, teman saya membisikkan spontan: ‘Bapak belum pantas mati karena kesempurnaan sebagai orang Islam belum terpenuhi. Saya berjanji akan meng-Haji- kan bapak kalau memang Allah memberi kesempatan hidup’. Kun Fayakun. Amazing. Sampai hari ini sang bapak masih sehat untuk ukuran seusianya”.
Itu sang bapak yang menjadi obyek, apalagi Ibu. Pasti teman saya tadi lebih tahu tentang : Ibumu, Ibumu, Ibumu kemudian Bapakmu. Intinya, ibu tak pernah secara verbal mengharap pamrih dalam membesarkan anak, karena ibu yakin sekali dengan kewajiban anak. Bila dalam perjalanannya lupa akan kewajiban sebagai anak, maka pasti sistim akan mengingatkan bahwa 22 Desember adalah hari ibu. Jika pura-pura lupa tidak melaksanakan kewajiban sebagai anak, sama saja dengan membangunkan orang yang pura-pura tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H