Abstract
The Wayang Kulit craft in Dukuh Butuh, Klaten, has become a cultural symbol reflecting the skill and perseverance of the local community. Established in 1955 by Mbah Kasimo, this traditional art form has continued to thrive, even becoming a prominent cultural tourism attraction. This article explores the journey of Wayang Kulit craftsmanship in Dukuh Butuh, the challenges it faces, and the preservation efforts undertaken through direct interviews with artisans and literature research.
Keywords: Wayang Kulit, Cultural Heritage, Tourism Innovation, Tradition Preservation, Dukuh Butuh
ABSTRAK
Kerajinan Wayang Kulit di Dukuh Butuh, Klaten, telah menjadi salah satu simbol budaya yang mencerminkan keahlian dan ketekunan masyarakat setempat. Sejak didirikan pada tahun 1955 oleh Mbah Kasimo, seni tradisional ini terus berkembang dan bahkan menjadi daya tarik utama dalam wisata budaya. Artikel ini membahas perjalanan panjang kerajinan Wayang Kulit di Dukuh Butuh, berbagai tantangan yang dihadapi, serta langkah-langkah pelestarian yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan para pengrajin dan studi pustaka.
Kata Kunci: Wayang Kulit, Warisan Budaya, Inovasi Pariwisata, Pelestarian Tradisi, Dukuh Butuh
Â
Pendahuluan
Wayang Kulit, salah satu bentuk seni tradisional Indonesia, memegang nilai budaya dan sejarah yang mendalam. Seni ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat sejak abad ke-15 SM, awalnya digunakan dalam ritual pemujaan leluhur sebelum berkembang menjadi seni pertunjukan. Wayang Kulit tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga berperan sebagai sarana edukasi, dakwah, dan pelestarian nilai-nilai moral, menjadikannya simbol kebudayaan yang kaya dan penuh makna di Indonesia.(Kamilatus, 2022)
Di Desa Dukuh Butuh, Klaten, seni ini tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang menjadi bagian dari kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat. Dikenal sebagai pusat kerajinan Wayang Kulit, desa ini memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan seni tradisional yang kini semakin relevan dengan pariwisata budaya.
Desa Dukuh Butuh memulai perjalanan kerajinan Wayang Kulit sejak tahun 1955, ketika Mbah Kasimo, seorang pemuda dengan keterampilan seni yang tinggi, mempelopori pembuatan wayang. Seiring waktu, seni ini berkembang menjadi pilar ekonomi yang melibatkan puluhan pengrajin aktif. Dukuh Butuh dikenal sebagai "Desa Budaya" karena upayanya dalam melestarikan warisan tradisional melalui inovasi dan kerja sama komunitas.
Namun, modernisasi membawa tantangan besar, termasuk persaingan dengan hiburan digital dan kurangnya minat generasi muda. Untuk mengatasinya, komunitas Dukuh Butuh menerapkan pendekatan berbasis pariwisata, mendirikan homestay, dan menjadikan desa sebagai destinasi wisata budaya. Langkah ini tidak hanya mendukung ekonomi lokal tetapi juga memperkenalkan seni Wayang Kulit ke pasar yang lebih luas.