Mohon tunggu...
Bianca HasianHutagaol
Bianca HasianHutagaol Mohon Tunggu... Lainnya - Bianca H. Hutagaol (05) - XI MIPA 3

gatau

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Life is Tough When Your Bestfriend is a Serial Killer

1 Desember 2020   23:51 Diperbarui: 1 Desember 2020   23:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup itu sulit saat sahabatmu adalah pembunuh berantai.

Hah.

Ya, itu mungkin bukanlah sebuah kalimat yang kau pikir akan kau dengar dalam keseharianmu. Tapi itu adalah kebeneran, bukan? Memang tidak ada kehidupan yang tidak memiliki faktor kesulitan, tapi faktor yang satu ini memang membuat semuanya lebih rumit dari yang seharusnya.

Ngomong-ngomong, halo semuanya. Namaku Elric Silverthorne. Aku bekerja sebagai dosen di suatu kampus, dan umurku masih 25 tahun. Keseharianku tidak begitu ramai, namun tidak membosankan juga. Di tempat kerjaku, aku lumayan terkenal (ehem), banyak murid yang kagum kepadaku, dan ada beberapa yang bahkan suka. Tenang saja, aku punya moral, tentu saja tidak ku balas perasaan mereka. Namun , ini tentu bukanlah hidup yang aku bayangkan. Ayahku adalah pemilik perusahaan ternama, dan aku adalah pewaris sah. Mungkin kau bertanya, kenapa aku menolak untuk memimpin suatu perusahaan dan menghasilkan banyak uang, dan malah memilih mengajar anak-anak yang bahkan kelihatannya tidak ada niat untuk kuliah.

Untungnya untukku, hidup tidak semembosankan dari yang ku pikirkan. Phenex adalah alasanku memilih karir yang lebih sederhana daripada mengurus satu perusahaan. Dia juga adalah alasanku berani untuk menentang keinginan Ayahku dan memilih untuk diriku sendiri. Mungkin tanpa dia, kau akan melihatku sebagai robot tidak berperasaan dengan suara monoton yang kesehariannya hanya menyuruh-nyuruh bawahannya.

Ya, aku tahu. Kau penasaran kan, siapa itu Phenex? Sejujurnya aku tidak peduli kau penasaran atau tidak, aku akan tetap memberitahumu. Phenex adalah sahabat sejatiku. Nama lengkapnya adalah Phenex Dran, dia bekerja sebagai pemilik toko roti di depan rumah kita berdua. Yap, tepat sekali. Phenex dan aku tinggal berdua, dan kita sering sekali ditanyai oleh orang sekitar, "Kalian menikah??" Hanya karena kita tinggal berdua, belum tentu kita menikah juga, kan? Dasar orang-orang...

Ehem, jadi intinya cerita ini akan berfokus kepada sahabatku, Phenex. Tentu saja juga ada aku, tapi selebihnya tentang dia.

Phenex dan aku bertemu saat kita masih TK. Dan berdasarkan hukum 'aku-harus-berteman-dengan-siapa', kita tidak seharusnya berteman. Dia memiliki keluarga yang sangat kasar; kurang lebih dia adalah anak broken home. Ayahnya meninggal saat ia beranjak 3 tahun. Sejak kepergian ayahnya, ibunya mulai minum berat dan mengonsumsi narkoba. Bahkan ia sempat melihat ibunya menjual dirinya di depan matanya. Pamannya, yang merupakan adik ayahnya, adalah orang yang licik. Ia mencuri semua warisan kakaknya yang seharusnya menjadi milik Phenex, dan meninggalkan Phenex seorang diri. Kalau aku datang dari keluarga yang sangat berkecukupan, namun tegas. Tetap saja, ketika aku bertemu dengannya, kepribadiannya benar-benar di luar ekspektasiku. Dia masih bisa tersenyum dengan ramah dan tertawa bersamaku. Tanpa ku sadari, aku sudah terikat dengannya dan mulai bermain bersama.

Tidak ada yang begitu peduli terhadap pertemanan kita, bahkan orangtuaku sekalipun. Namun seiring berjalannya waktu, kita tumbuh bersama dan sudah tidak bisa dipisahkan. Dari situlah orangtuaku mulai khawatir. Aku sering sekali menghabiskan waktu dengannya setelah sekolah, dan orangtuaku memaksa bahwa aku harus fokus terhadap pendidikanku terlebih dahulu. Pada akhirnya, kita hanya bisa menghabiskan waktu bersama saat sekolah. Setelah sekolah selesai dan kita harus berpisah, aku langsung merasa kesepian dan menanti hari esok.

Ya ya, aku tahu apa yang kalian pikirkan. Aku terlalu bergantung kepadanya, dan aku yakin pasti ada dari kalian yang berpikir aku suka padanya. Lagipula apa hebatnya Phenex? Biar ku beritahu. Phenex adalah kalau malaikat memiliki tubuh manusia. Dia adalah orang tersuci dan terbaik yang pernah aku temui. Dia ramah kepada semua orang, dia tidak pernah berkata kasar, dia murah hati, dan dia adalah penyayang hewan. Phenex juga adalah bocah terimut yang pernah kulihat. Mungkin ini adalah hal-hal yang lumayan sederhana, namun tumbuh di lingkungan di mana orang hanya mau berteman denganmu karena uangmu, aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan Phenex.

Dan perasaanku tidak berubah saat pembunuhan-pembunuhan itu mulai terjadi.

Ashton Collins adalah korban pertama. Dia adalah kakak kelas di SMP kita, dan sayangnya juga di SMA. Dia suka mengganggu dan merundung Phenex, baik secara fisik maupun mental. Aku tidak senang, namun aku juga tidak terkejut. Phenex adalah target yang sangat mudah. Dia datang dari keluarga miskin, dia agak antisosial, dan aku satu-satunya teman dekatnya. Dan terlebih lagi terdapat rumor bahwa Phenex adalah homoseksual, hanya karena dia sering menempel kepadaku.

Suatu hari aku menunggu Phenex menyelesaikan suatu tugas, dan ia memakan waktu yang lebih lama dari yang seharusnya. Aku menunggu dengan gugup dan akhirnya aku tidak tahan, aku segera mencarinya. Ternyata, Ashton memojokkannya di lapangan basket dan meninjunya berulang kali di wajah. Benar-benar tanpa alasan dan tanpa peringatan - ia menonjok Phenex sekeras mungkin. Phenex pasti akan pingsan kalau aku tidak menemukannya dan berteriak sekeras mungkin. Aku mungkin kelihatan seperti orang gila saat itu, tapi aku harus menghentikan aksi keji kakak kelas itu. Ashton mendengar teriakanku dan segera berlari kabur. Aku marah dan ingin mengejarnya, tapi Phenex adalah prioritas utamaku. Aku membawanya ke UKS dan menunggu seorang guru untuk merawatnya. Ia kelihatan tenang saat dirawat, tapi aku mengenalnya lebih dari siapapun. Setelah guru yang merawatnya pergi, ia mulai menangis dengan pelan. Aku tidak kuat melihat sahabatku seperti ini dan langsung memeluknya. Aku mengusap kepalanya dan punggungnya dengan lembut, berharap dia mulai tenang. Setelah ia selesai menangis, aku mengajaknya menginap sehari di rumahku  untuk menghiburnya. Dia menggumamkan 'terima kasih' dan tersenyum lemah kepadaku. Untukku, itu sudah cukup.

Keesokan harinya, Ashton ditemukan meninggal di taman di mana aku dan Phenex suka bermain bersama.

Badannya ditemukan ditusuk berulang kali di perut dan ia meninggal karena kehabisan darah. Polisi menemukan bukti perlawanan dari memar-memar yang ada di badan Ashton, jadi pembunuhnya kemungkinan memiliki badan besar dan kuat.

Semua orang di kota kaget - tempat ini tidak begitu besar, dan pembunuhan sangat jarang terjadi. Sekolah ditutup sementara dan para polisi memulai investigasi. Sayangnya untuk Ashton dan keluarganya, polisi-polisi tersebut tidak tahu apa yang mereka lakukan. Kau mungkin berpikir seharusnya polisi bisa diandalkan dalam menginvestigasi TKP suatu pembunuhan, namun polisi-polisi di kota kecil tidak berpikir bahwa mereka suatu saat harus menghadapi suatu hal seperti itu. Pada akhirnya, mereka gagal menemukan apapun - bukti, senjata pembunuh, ataupun tersangka.

Rumor-rumor dimulai. Semua orang di sekolah tahu Ashton kemarin memukul Phenex berulang kali di sekolah. Beberapa hari setelah pembunuhan itu terjadi, orang-orang melihat Phenex dengan wajah aneh atau ketakutan. Tapi ayolah, semuanya. Ashton adalah perundung paling terkenal dan terkaya di sekolah kita. Phenex hanya seorang dari ratusan yang sudah diganggu oleh Ashton. Jujur, ini bisa dilakukan siapa saja di kota ini - seperti yang kubilang, terkenal dan terkaya.

Aku dan Phenex tidak begitu peduli, atau tepatnya kita tidak pernah begitu membicarakan apa yang terjadi. Aku tahu Phenex rada-rada tidak nyaman dengan subjek ini, dan ekspresinya setiap kali kita mendengar topik ini dibahas lagi kelihatan sangat terganggu. Sebagai sahabatnya, tentu aku tidak membahasnya dan membiarkannya berlalu. Kita tetap melanjutkan kehidupan kita seperti biasa, diam-diam kita berdua senang kakak kelas itu meninggal.

Pada akhirnya, orang menjadi bosan dan berhenti membicarakannya. Maksudku, ini Ashton yang kita bicarakan. Memang siapa yang akan merindukannya?

Pembunuhan selanjutnya terjadi beberapa bulan setelah polisi berhenti menginvestigasi pembunuhan Ashton.

Sekarang, korbannya adalah teman sekelas aku dan Phenex, namanya adalah Karen. Menurutku dia agak aneh - dia adalah gadis tercantik dan paling populer tidak hanya di angkatanku, tapi juga satu sekolah. Ya, kau tahu, stereotipe gadis terkenal. Dan aku tahu tipe-tipe gadis seperti itu tidak akan menyerah jika sudah menginginkan sesuatu. Sayangnya, yang sekarang dia kejar adalah...aku. Aku sudah tahu tentang perasaan sukanya (tepatnya obsesi) terhadapku sejak kelas tujuh. Aku ingat tugas membuat suatu drama di kelas delapan, dan aku mendapat peran pangeran. Karen tentu memaksakan ingin mendapat peran putri, dan sejujurnya aku tidak begitu peduli. Aku mengabaikan sifat posesifnya terhadapku dan hanya fokus kepada sekolah. Namun semakin lamu, batas kesabaranku makin menipis sampai aku tidak tahan. Aku menceritakan semua keluh kesahku ke Phenex, dan segera merasa lebih baik. 

Phenex tidak pernah mengerti aksi-aksiku. "Kenapa tidak kau tolak saja langsung?" ia bertanya kepadaku. "Tidak ada gunanya. Dan aku khawatir dia akan menargetkanmu." aku membalas langsung. Wajah Phenex mengkerut kebingungan, pasti tidak mengerti maksudku. "Maksudnya? Kok aku? Bukannya dia suka padamu?" dia bertanya dengan polos dan aku hanya bisa tertawa kecil. Jujur aku merasa agak menyedihkan setelah dia menanyakan itu. Hanya segitukah pertemanan kita di matamu? :(

Ya intinya, badan Karen ditemukan di tong sampah belakang salah satu bar di kota. Namun tidak seperti Ashton, Karen ditembak sekali masing-masing di kepala dan tepat di jantung. Dinilai dari luka di badannya, kemungkinan pelakunya adalah penembak jarak jauh. Namun tentu saja para polisi tidak bisa memastikannya, karena mereka hanya amatir. Setidaknya mereka melakukan investigasi lagi. Dan seperti yang sudah ku duga, mereka tidak menemukan apa-apa.

Sekali lagi, orang-orang mulai memandang Phenex dengan lucu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Karen terobsesi denganku. Bahwa dia telah mencoba memenangkan hatiku selama bertahun-tahun. Dan setelah beberapa bulan setelah penindas Phenex berakhir mati, dia mengalami nasib yang sama? Teori mulai terbentuk, karena mereka mengira bahwa Phenex adalah kesatriaku yang berbaju zirah berlumuran darah.

Sama seperti sebelumnya, kita tidak pernah membicarakan kematian Karen. Aku merasa dia ingin membicarakannya, tapi dia terlalu takut kalau dia tidak sengaja akan menyinggung perasaanku atau sesuatu. Beberapa kali ketika kita belajar bersama, dia menatapku, seolah ingin mengatakan sesuatu... dan kemudian mengalihkan pandangannya dan menanyakan sebuah pertanyaan lain yang membuatnya bingung. Seolah-olah dia tidak bisa memaksa dirinya untuk mengatakannya, dan aku tidak keberatan. Sejauh yang ku ketahui, dia sudah menyadari perasaanku kepadanya, jadi tidak ada yang harus dikatakan. Kita berdua memahami satu sama lain tanpa kata-kata. Apa pun yang terjadi, tidak ada apa pun di planet ini yang akan mengubah perasaanku kepadanya.

Pembunuhan ketiga dan terakhir terjadi sebulan setelah kematian Karen.

Kali ini, dia tidak ada hubungannya dengan Phenex atau denganku. Pecandu dan pemabuk kota, Tom, ditemukan tewas. Dan tidak seperti kematian Ashton atau Karen, kali ini dia diracuni. Dia mengganggu semua orang - terutama gadis-gadis muda di kota, yang dia suka catcall atau kadang-kadang menguntit - dan kota sebenarnya lebih baik dengan ketidakhadirannya. Meskipun Phenex tidak pernah berurusan dengan Tom, dia dipanggil dan diinterogasi oleh polisi.

Oke, pertama-tama, mengapa polisi mengira Phenex membunuhnya? Dia tidak punya motif apapun, apalagi dia tidak pernah bertemu pria itu. Kedua, anggap saja Phenex adalah pembunuh Ashton. M.O. berbeda. Ashton ditikam, dan Tom diracuni. Pembunuh berantai biasanya memiliki M.O. ketika berbicara tentang pembunuhan, dan selalu menggunakannya sebagai pesan atau ritual.

Untungnya, aku bisa memberikan alibi untuk Phenex. Dikonfirmasi oleh orangtuaku, tentu saja. Soalnya, Phenex dan aku biasanya nonton film malam di rumahku setiap Jumat. Dan Tom terbunuh pada Jumat malam, jadi tidak mungkin Phenex bisa membunuhnya. Orangtuaku bahkan mendengar film itu dari kamar sebelah, karena Phenex dan aku suka membesarkan volume terlalu banyak. Dan di atas segalanya, aku adalah anak yang baik dan dapat dipercaya, jadi polisi menerima jawabanku tanpa pertanyaan lebih lanjut.

Phenex akhirnya dibebaskan dan polisi akhirnya meyakinkan semua orang di kota bahwa dia tidak bersalah. Tetap saja, anak-anak di sekolah tidak mau berbicara dengannya. Tidak ada yang mau. Aku rasa itu tidak terlalu mengganggunya. Lagipula, tidak ada yang pernah peduli padanya sebelumnya, kecuali aku.

Setelah beberapa hari setelah kematian Tom, Phenex akhirnya meledak berbicara kepadaku tentang hal itu. Semua itu. Aku sedikit terkejut dan tidak begitu yakin mengapa - seperti yang aku katakan, kata-kata tidak terlalu penting di antara kita. Kita berdua tahu di mana posisi kita, tahu apa yang terjadi dan mengapa. Tapi aku peduli tentang Phenex dan, ya, jika dia benar-benar ingin membicarakannya, aku akan mendengarkan setiap kata yang dia ucapkan. Dan aku melakukannya.

Beberapa malam setelah pembunuhan Tom, aku menyelinap keluar dari rumahku. Aku berjalan melintasi kota, tidak berhenti sampai aku melihat taman terpencil yang sunyi tempat Phenex dan aku selalu nongkrong. Aku menemukan dia sudah menunggu saya dengan jaket favoritnya yang ku berikan padanya pada hari ulang tahun ke-13. Aku pikir dia telah menungguku selama berjam-jam, menilai dari sosoknya yang dingin dan cara dia menggigil. Aku melepas jaket dan syalku dan meletakkannya di sekelilingnya. Aku tidak peduli kalau aku kedinginan, aku hanya ingin dia merasa hangat. Kita duduk beberapa menit dalam keheningan yang nyaman sampai ku angkat bicara.

"Kamu tahu bahwa ini tidak mengubah perasaanku tentangmu, bukan?" Aku bertanya, menatapnya saat dia baru saja menundukkan kepalanya.

"Silver (dia memanggilku Silver)... tentu saja aku tahu itu. Tetapi hal-hal ini tidak bisa berlangsung seperti ini lebih lama lagi. Orang-orang akan tahu suatu saat. Hanya satu kesalahan sederhana, dan semua akan tahu yang sebenarnya. " Dia menggeser dengan gugup dan memainkan jari-jarinya.

Mataku melembut saat aku berdiri dan berlutut di depannya (aku tidak melamar). Aku mengambil tangannya yang dingin dan menghangatkannya di tanganku. Mata birunya menatap mataku, ketakutan dan kekhawatiran bersinar melaluinya.

"Hei, aku berjanji padamu bahwa aku akan melindungimu apa pun yang terjadi. Ini tidak akan mengubah apa pun, kau dengar? Kau adalah orang terpenting dalam hidupku, terlepas dari apa yang orang lain katakan. Semuanya seperti apa adanya." Aku berkata dengan tulus seperti yang kurasakan, menatapnya dengan tersenyum. Untungnya, dia mulai santai dan menunjukkan senyum tulusnya yang biasa.

"Apa yang akan aku lakukan tanpamu, Silver?" katanya saat aku tertawa. Dia menyandarkan kepalanya di pundakku saat aku mengangkat tanganku untuk mengelus rambutnya dengan ringan. Setelah beberapa menit hening, aku memeriksa waktu di ponselku, menyadari sudah terlambat.


"Hei, aku mungkin harus kembali. Bicara denganmu besok?" Dia tersenyum dan mengangguk. "Kedengarannya bagus."

Aku mengantarnya kembali ke rumahnya di mana dia tiba-tiba memberiku pelukan erat. Aku berdiri di sana membeku ketika dia tertawa lemah. "Selamat malam, Silver." Dia berkata sambil berjalan menuju rumahnya. Aku menggumamkan kata 'selamat malam' saat berjalan pulang, merasa sangat bahagia dari sebelumnya.

Beberapa tahun setelah kita mulai tinggal bersama, kita akhirnya pindah ke kota yang lebih besar. Dia menolongku menentang keinginan ayahku dan akhirnya ayahku menyerah. Beliau membiarkanku meninggalkan rumah dan tinggal bersama Phenex. Phenex dan aku  tidak pernah berpacaran dengan siapapun karena kita tidak merasa perlu. Aku bekerja sebagai dosen, karena pengetahuanku dan S3 milikku, sementara Phenex bekerja sebagai pemilik toko roti karena dia pandai memanggang.

Kami bahagia selama tahun-tahun itu, hal-hal biasa terjadi.

Dan biasanya, yang aku maksud adalah pembunuhan.

Mereka tidak pernah berhenti sejak kami pindah ke luar kota. Dan orang-orang terus mencurigai Phenex, meskipun beberapa orang benar-benar percaya bahwa dia bukanlah pembunuh. Dia mengalami beberapa saat sulit dalam hidup atau kariernya, tetapi aku terus mendukungnya sepanjang jalan.


Tunggu, sepertinya aku mendengar ketukan.


"Silver, bolehkah aku masuk?" Ahh, suara indah suamiku (canda, temen). Aku membuka pintu saat membiarkan dia masuk. Dia tampak sedikit lelah. Aku menggosokkan tanganku ke pelipisnya, memijatnya dengan lembut.

"Butuh sesuatu, Phenex?" dia menghela nafas sambil memberiku senyuman lemah.


"Clarence tidak akan berhenti membanting pintu ruang bawah tanah. Bisakah kamu membungkamnya? " dia memberiku senyuman lelah. "Tentu saja. Istirahatlah, aku akan mengurusnya. " Kataku sambil merosot dari tempat tidur. Aku turun dan mengambil pisau favoritku sambil menelusuri ujungnya yang tajam. Aku pergi ke ruang bawah tanah dan membuka kunci pintu. Saat aku masuk, aku melihat Clarence O'Neil, terikat dan tersedak, berusaha membebaskan diri tanpa tujuan. Dia salah satu pelanggan Phenex yang tidak sopan, dan tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, bersikap baik kepada sahabatku.

Aku menusuknya sekali di kaki kirinya saat dia berteriak. Dan aku terus berusaha sampai aku menikamnya di jantung. Aku selalu lebih suka M.O. yang menusuk, tetapi aku juga nyaman dengan bisa ular atau penembak jitu jarak jauh, meskipun aku jarang menggunakannya. Terakhir kali aku ingat, aku menuangkan beberapa tetes racun Mesir Ash ke dalam vodka Tom, atau wiski (?) Aku tidak begitu ingat.

Hei, aku tidak berbohong, bukan?

Oke, mungkin aku memang berbohong saat mengatakan bahwa sikap Karen tidak menggangguku.

Dan ya, aku memang berbohong ketika aku mengatakan aku dan Phenex menonton film malam Jumat.

Dan juga ya, aku berbohong saat mengatakan bahwa aku adalah anak yang baik dan dapat dipercaya.

Tapi aku tidak berbohong ketika aku mengatakan cerita ini tentang sahabatku.

Aku tidak berbohong ketika aku mengatakan Phenex tidak akan pernah membunuh siapa pun.

Aku tidak berbohong ketika saya mengatakan aku akan melindungi Phenex dengan hidupku.

Yang terpenting, aku tidak berbohong saat aku mengatakan bahwa hidup Phenex sulit.

Seperti ku katakan - Hidup itu sulit ketika sahabatmu adalah seorang pembunuh berantai.

Sejujurnya, aku tidak pernah tahu bagaimana Phenex melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun