Hidup itu sulit saat sahabatmu adalah pembunuh berantai.
Hah.
Ya, itu mungkin bukanlah sebuah kalimat yang kau pikir akan kau dengar dalam keseharianmu. Tapi itu adalah kebeneran, bukan? Memang tidak ada kehidupan yang tidak memiliki faktor kesulitan, tapi faktor yang satu ini memang membuat semuanya lebih rumit dari yang seharusnya.
Ngomong-ngomong, halo semuanya. Namaku Elric Silverthorne. Aku bekerja sebagai dosen di suatu kampus, dan umurku masih 25 tahun. Keseharianku tidak begitu ramai, namun tidak membosankan juga. Di tempat kerjaku, aku lumayan terkenal (ehem), banyak murid yang kagum kepadaku, dan ada beberapa yang bahkan suka. Tenang saja, aku punya moral, tentu saja tidak ku balas perasaan mereka. Namun , ini tentu bukanlah hidup yang aku bayangkan. Ayahku adalah pemilik perusahaan ternama, dan aku adalah pewaris sah. Mungkin kau bertanya, kenapa aku menolak untuk memimpin suatu perusahaan dan menghasilkan banyak uang, dan malah memilih mengajar anak-anak yang bahkan kelihatannya tidak ada niat untuk kuliah.
Untungnya untukku, hidup tidak semembosankan dari yang ku pikirkan. Phenex adalah alasanku memilih karir yang lebih sederhana daripada mengurus satu perusahaan. Dia juga adalah alasanku berani untuk menentang keinginan Ayahku dan memilih untuk diriku sendiri. Mungkin tanpa dia, kau akan melihatku sebagai robot tidak berperasaan dengan suara monoton yang kesehariannya hanya menyuruh-nyuruh bawahannya.
Ya, aku tahu. Kau penasaran kan, siapa itu Phenex? Sejujurnya aku tidak peduli kau penasaran atau tidak, aku akan tetap memberitahumu. Phenex adalah sahabat sejatiku. Nama lengkapnya adalah Phenex Dran, dia bekerja sebagai pemilik toko roti di depan rumah kita berdua. Yap, tepat sekali. Phenex dan aku tinggal berdua, dan kita sering sekali ditanyai oleh orang sekitar, "Kalian menikah??" Hanya karena kita tinggal berdua, belum tentu kita menikah juga, kan? Dasar orang-orang...
Ehem, jadi intinya cerita ini akan berfokus kepada sahabatku, Phenex. Tentu saja juga ada aku, tapi selebihnya tentang dia.
Phenex dan aku bertemu saat kita masih TK. Dan berdasarkan hukum 'aku-harus-berteman-dengan-siapa', kita tidak seharusnya berteman. Dia memiliki keluarga yang sangat kasar; kurang lebih dia adalah anak broken home. Ayahnya meninggal saat ia beranjak 3 tahun. Sejak kepergian ayahnya, ibunya mulai minum berat dan mengonsumsi narkoba. Bahkan ia sempat melihat ibunya menjual dirinya di depan matanya. Pamannya, yang merupakan adik ayahnya, adalah orang yang licik. Ia mencuri semua warisan kakaknya yang seharusnya menjadi milik Phenex, dan meninggalkan Phenex seorang diri. Kalau aku datang dari keluarga yang sangat berkecukupan, namun tegas. Tetap saja, ketika aku bertemu dengannya, kepribadiannya benar-benar di luar ekspektasiku. Dia masih bisa tersenyum dengan ramah dan tertawa bersamaku. Tanpa ku sadari, aku sudah terikat dengannya dan mulai bermain bersama.
Tidak ada yang begitu peduli terhadap pertemanan kita, bahkan orangtuaku sekalipun. Namun seiring berjalannya waktu, kita tumbuh bersama dan sudah tidak bisa dipisahkan. Dari situlah orangtuaku mulai khawatir. Aku sering sekali menghabiskan waktu dengannya setelah sekolah, dan orangtuaku memaksa bahwa aku harus fokus terhadap pendidikanku terlebih dahulu. Pada akhirnya, kita hanya bisa menghabiskan waktu bersama saat sekolah. Setelah sekolah selesai dan kita harus berpisah, aku langsung merasa kesepian dan menanti hari esok.
Ya ya, aku tahu apa yang kalian pikirkan. Aku terlalu bergantung kepadanya, dan aku yakin pasti ada dari kalian yang berpikir aku suka padanya. Lagipula apa hebatnya Phenex? Biar ku beritahu. Phenex adalah kalau malaikat memiliki tubuh manusia. Dia adalah orang tersuci dan terbaik yang pernah aku temui. Dia ramah kepada semua orang, dia tidak pernah berkata kasar, dia murah hati, dan dia adalah penyayang hewan. Phenex juga adalah bocah terimut yang pernah kulihat. Mungkin ini adalah hal-hal yang lumayan sederhana, namun tumbuh di lingkungan di mana orang hanya mau berteman denganmu karena uangmu, aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan Phenex.
Dan perasaanku tidak berubah saat pembunuhan-pembunuhan itu mulai terjadi.