Mohon tunggu...
Bhuku Tabuni
Bhuku Tabuni Mohon Tunggu... Security - Orang Yang Suka Belajar

Orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jonathan Edwards dan Pelajaran dalam Berdebat

1 Juli 2017   12:28 Diperbarui: 1 Juli 2017   12:35 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh reductio ad absurdum dari Alkitab adalah Markus 2 : 16 -- 17 yang menceritakan tentang orang Farisi yang bersungut-sungut bahwa Yesus makan dengan orang berdosa. Yesus Kristus menjawab mereka: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; aku datang untuk memanggil orang berdosa." Kita ingat bahwa orang Farisi adalah orang yang merasa diri benar dan tidak berdosa. Yang dilakukan Yesus Kristus di sini adalah logical ad hominem. Kalau diparafrase bebas maka ayat itu akan menjadi "Orang Farisi, Aku tahu kalian merasa pantas untuk duduk semeja dengan Aku karena kalian merasa tidak berdosa. Kalau kalian benar maka Aku tidak perlu duduk semeja dengan kalian karena Aku bukan datang untuk kalian. Aku datang untuk orang-orang berdosa".

Cara lain menjawab lawan sesuai dengan kebodohannya adalah dengan berdebat persis seperti cara lawan berdebat. Kalau dia suka berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungan dengan hal yang dibicarakan, kita juga bisa melakukannya. Kalau dia suka bertajam mulut (berkata-kata /kasar), kita juga melakukannya. Walaupun untuk kata-kata keras beta sarankan hanya kalau cara-cara lain tidak bisa dan kita memang mau memberikan sedikit pelajaran psikologis.

Cara kedua berhadapan dengan orang yang "Pokoknya.. pokoknya" adalah adalah dengan tidak menjawab lawan sesuai kebodohannya. Ada banyak cara melakukannya, tetapi yang sering saya gunakan adalah dengan menyodorkan dasar pijak yang lain yang mengakibatkan semua yang dipegangnya menjadi gugur, tanpa kita perlu mendebat rincian argumennya. Dalam kasus ini, rincian argumen menjadi tidak relevan karena titik tolaknya kita telah tolak. Dan biasanya pada level ini, orang tidak siap untuk diskusi pada level titik tolak (praanggapan dasar).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun