Mohon tunggu...
Bhisma Pristawa
Bhisma Pristawa Mohon Tunggu... -

Pembaca filsafat, pelajar antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Caleg Perempuan: Kualitas, Yes! Kuantitas, Yes!

29 Maret 2014   19:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan “caleg perempuan” menjadi topik panas yang banyak dibicarakan. Mulai dari munculnya caleg-caleg perempuan yang “tidak meyakinkan”, caleg selebritis yang sekadar jualan popularitas, hingga soal kuota 30% caleg perempuan yang mesti dipenuhi partai peserta pemilu. Kebanyakan dari kita menganggap penetapan kuota 30% itu banyak juga mudaratnya, karena memaksa partai “berburu” caleg perempuan demi lolos verifikasi ke pemilu mendatang. Alhasil, kuantitas caleg perempuan tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Jumlahnya banyak, tapi yang punya mutu tak seberapa banyak.

Lantas kerap muncul tanggapan-tanggapan: yang penting kualitasnya. Baru kemudian kuantitasnya. Bahkan ada juga yang menganggap peraturan kuota 30% itu tak seharusnya diterapkan, karena—lagi-lagi—itu membuat partai mementingkan kuantitas caleg perempuan di atas kualitasnya. Namun, benarkah kualitas itu lebih penting ketimbang kuantitas?

Secara sekilas pandangan ini ada benarnya. Sepanjang sejarah, banyak juga tokoh-tokoh perempuan yang meski tidak bergerombol dengan sesama kaum hawa, tapi mampu membuat perubahan. Sebut saja Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, atau pahlawan perempuan kita lainnya.

Tapi coba kita lihat mekanisme di parlemen Indonesia sekarang. Banyak rancangan undang-undang yang lolos menjadi undang-undang tidak semata-mata diperjuangkan dengan argumentasi rasional, tapi dengan jumlah suara. Banyak produk legislasi lahir dari voting, meski tentu saja, sebelumnya telah diperdebatkan panjang lebar. Di bilik parlemen, mau diakui atau tidak, jumlah suara juga menentukan apakah suatu kebijakan dapat dijalankan.

Dengan kata lain, kita memang membutuhkan wakil-wakil rakyat berkualitas. Kita pun membutuhkan legislator-legislator perempuan yang juga punya mutu. Namun tanpa disokong kuantitas yang memadai, gagasan dari orang-orang yang punya kualitas ini takkan bicara banyak di lembaga legislatif. Jadi, kuantitas pun perlu, bahkan penting. Dengan kuantitas perempuan yang cukup inilah, agensi perempuan di parlemen juga bisa berjalan. Kebijakan-kebijakan yang “ramah” terhadap gender dan perempuan pun akan lebih berpeluang untuk terealisasikan. Saya tak sepakat orang bilang yang penting kualitas dulu, kuantitas belakangan. Karena kenyataannya, kuantitas menentukan produk legislasi di DPR. Bahkan dalam sistem demokrasi kita, yang menentukan suatu partai berkuasa atau tidak adalah kuantitas pemilihnya. Kualitas partai, itu hanya “bahan jualan” untuk mendulang kuantitas.

Nah sekarang, perkara kecenderungan partai “asal rekrut” caleg perempuan demi memenuhi kuota 30%; mengapa hal ini terjadi?

Menurut hemat saya, persoalan utamanya bukan ada di dalam ketentuan itu sendiri. Jika mau berpikir cermat dan mempertimbangkan proses legislasi yang terjadi di parlemen, tak bisa dengan mudahnya kita bilang peraturan kuota 30% ini “mengebiri” partai politik, bahkan “mengebiri” demokrasi kita. Di DPR, kuantitas itu mutlak perlu kok. Bahkan ide brilian dari seorang legislator, agar dapat diaktualisasikan, harus bisa terlebih dahulu ditularkan ke banyak legislator lain. Dengan kata lain, gagasan-gagasan cemerlang itu bisa saja datang hanya dari satu atau dua legislator berkualitas. Tapi supaya gagasan itu bekerja, ia harus memenangkan simpati dan persetujuan sekian banyak kepala.

Kembali ke soal caleg perempuan. Saya yakin, dari puluhan juta warga perempuan di Indonesia, tentu banyak yang berkualitas dan memiliki kualifikasi untuk menjadi caleg. Tinggal dalam proses rekrutmennya, partai janganlah malas. Hubungi saja se-per-sekian persen dari warga perempuan yang potensial itu; masa sih tak ada satu pun yang mau diajak berjuang bersama? Saya pikir memenuhi kuota 30% caleg perempuan dengan figur-figur perempuan yang kompeten bukanlah hal yang mustahil. Bahkan jika partai, sebagai mesin politik, tidak malas-malasan, saya kira “berburu” caleg perempuan relatif “gampang”.

Setidaknya hingga akhir 2013, data Formappi menyebutkan beberapa partai sudah menghimpun caleg perempuan lebih dari 30% jumlah calegnya. Yang terbanyak adalah Partai NasDem (40,4%), kemudian Partai Persatuan Pembangunan (38,9%), Partai Keadilan Sejahtera (38,8%), dan seterusnya. Persentase caleg perempuan yang lumayan besar di daftar caleg partai-partai peserta Pemilu 2014 ini, semoga bukan hanya “bahan jualan” bagi partai yang bersangkutan. Semoga, di dalamnya memang banyak perempuan berkualitas yang kelak menjadi wakil kita.

Sekali lagi saya ingin katakan: jika kita ingin membangun negeri ini, caleg perempuan dan semua caleg pada umumnya memang mutlak harus berkualitas. Akan tetapi di parlemen, kualitas itu takkan bicara apa-apa kalau tidak disokong dengan kuantitas yang memadai.

Rujukan:

·“Caleg Perempuan, antara Quota dan Kualitas”, http://politik.kompasiana.com/2013/11/05/caleg-perempuan-antara-quota-dan-kualitas-606700.html

·“Partai Dikebiri Kuota Caleg Perempuan”, http://politik.kompasiana.com/2014/01/22/partai-dikebiri-kuota-caleg-perempuan-628326.html

·“Mengapa Caleg Perempuan?” http://politik.kompasiana.com/2014/03/27/mengapa-caleg-perempuan-642413.html

·“Caleg Perempuan dan Demokratisasi Kita”, http://politik.kompasiana.com/2014/03/28/caleg-perempuan-dan-kemajuan-demokratisasi-kita-642426.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun