Mohon tunggu...
Bhisma Pristawa
Bhisma Pristawa Mohon Tunggu... -

Pembaca filsafat, pelajar antropologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Caleg Perempuan dan Kemajuan Demokratisasi Kita

28 Maret 2014   02:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap kali pemilihan umum, tiap-tiap partai yang menjadi peserta diamanahi memberikan minimal 30% kuota calon anggota legislatif mereka untuk caleg perempuan. Dalam upaya memenuhi amanah ini, kita melihat partai-partai peserta Pemilu 2014 pun memberikan tempat yang tidak sedikit untuk caleg perempuan. Menurut data Formappi per November 2013, partai dengan kuota caleg perempuan tertinggi adalah Partai NasDem (40,4%), diikuti Partai Persatuan Pembangunan (38,9%), dan Partai Keadilan Sejahtera (38,8%).

Ketentuan 30% caleg harus perempuan ini dimaksudkan untuk memberikan akses yang memadai bagi kaum perempuan agar dapat berpartisipasi dalam proses politik dan bernegara kita. Toh sebagaimana kita tahu, sudah sejak entah kapan politik menjadi ranah kehidupan yang amat “maskulin” dan didominasi laki-laki. Kenapa ini terjadi, tentunya bukan karena perempuan selalu saja tak semampu laki-laki untuk mengurus berbagai hal terkait hajat hidup orang banyak. Tapi sederhananya, karena akses mereka untuk masuk ke sana memang terbatasi, terutama oleh kebiasaan yang cenderung kita terima begitu saja; bahwa segala urusan publik mesti ditangani laki-laki. Cara pandang inilah yang seiring demokratisasi coba dihilangkan. Perempuan bukanlah “warga kelas dua”; mereka pun punya hak dan kapabilitas untuk berpartisipasi dalam proses-proses bernegara.

Akan tetapi, tentu saja tidak semua orang menyambut baik “perkembangan” ini. Banyak dari kita yang mensyaratkan: “Jangan hanya asal perempuan; yang penting kompeten dan punya kemampuan.” Betul. Syarat ini betul adanya, dan berlaku bukan hanya untuk caleg perempuan. Semua caleg pun mesti memenuhi hal yang sama; baik caleg laki-laki, caleg perempuan, caleg muda, atau caleg-caleg lainnya.

Barangkali juga ada pernyataan “miring” lain yang menanggapi ketentuan soal keterwakilan perempuan dalam pemilu ini. Misalnya saja dalam bentuk pertanyaan: “Kenapa sih porsi untuk perempuan harus diberi batas minimal?” Tak sedikit dari kita yang ketika menanyakannya, beranggapan bahwa ketentuan adanya kuota tersebut “tidaklah adil” karena kaum perempuan ini diberi “keistimewaan” dan fasilitas khusus, yakni batas minimal untuk porsi keberwakilan mereka itu. Bahkan di berbagai penilaian tentang tingkat demokratisasi suatu negara, besaran keterwakilan perempuan senantiasa menjadi salah satu indikatornya: semakin besar jumlah perempuan yang masuk ke lingkaran kekuasaan, semakin demokratislah negeri itu.

Kalau kita berkenan melihat lebih dalam, tentunya terburu-buru untuk mengatakan ketentuan ini tidak adil hanya karena ia memberikan perlakuan yang berbeda dan cenderung mengistimewakan perempuan. Kenapa? Jika kita ikuti pikiran filsuf politik John Rawls tentang keadilan, maka: ketidakadilan itu dapat dibenarkan selama ia menguntungkan kelompok masyarakat yang paling lemah. Jadi, karena selama ini posisi kaum perempuan lemah akibat kebiasaan kita yang menempatkan mereka sebagai “warga kelas dua”, maka ketidakadilan dalam proses pemilu dalam bentuk penjatahan minimal posisi caleg untuk mereka itu dapatlah dibenarkan. Dan justru ketidakadilan ini lebih adil ketimbang kita membiarkan laki-laki dan perempuan berkompetisi “secara sempurna”—semuanya dibiarkan saling saing begitu saja.

Nah, mumpung belum tiba di tanggal 9 April, sekarang saatnya kita evaluasi. Evaluasi terhadap salah satu aspek dalam demokratisasi kita, dengan mengajukan dua pertanyaan: sudahkah porsi keterwakilan 30% caleg mesti perempuan itu terpenuhi? Saya pikir jawabannya iya, sudah. Jika belum, tak mungkin kedua belas partai nasional yang berkompetisi itu disahkan oleh KPU sebagai peserta pemilu. Tapi pertanyaan selanjutnya: dari semua caleg perempuan yang diusung partai-partai itu, sudahkah semuanya kompeten atau kapabel?

Pertanyaan kedua ini lebih sulit untuk menjawabnya. Saya sendiri mungkin tidak memiliki jawaban yang pas. Tapi saya bisa memberikan sedikit gambaran tentang kemungkinan jawabannya, dengan meminjam hasil penelusuran Tempo dan KontraS (via bersih2014.net) yang mereka rilis dalam dua laporan terpisah tentang caleg bersih minggu ini. Dalam kedua laporan tersebut cukup banyak kita dapati caleg-caleg perempuan berkualitas.

Dalam rilis yang dikeluarkan bersih2014.net misalnya, tercatat nama-nama seperti Maria S. Wardhanie, Nur Amalia, dan Desmaniar (Partai Nasdem); Agung Putri dan Ninik Jumoenita (PDIP); Binny Bintarti Buchori (Partai Golkar); serta beberapa nama lain. Dalam laporan Tempo beberapa caleg perempuan ini juga memperoleh tempat dalam daftar sebelas caleg yang “layak Anda pilih” versi mereka, seperti Nur Amalia, Binny Bintarti Buchori, dan I. G. Agung Putri.

Contoh-contoh ini tentunya hanya contoh kecil saja. Namun setidaknya kita dapat melihat bahwa dalam pemilu kali ini jumlah keterwakilan perempuan pada pesta demokrasi kita sudah cukup baik. Pun di antara para caleg perempuan ini, meski tidak semuanya, tapi cukup banyak pula yang kompetensi dan kapabilitasnya sudah terbukti. Mari berharap, di hari-H nanti kesadaran kita untuk menunaikan hak pilih kita pun meningkat. Jangan biarkan angka golput meningkat lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun