Prof Edy Suandi Hamid yang sudah mendalami dan meneliti kelembagaan keuangan perdesaan sejak lebih 40 tahun lalu ini menyatakan, dengan luasnya wilayah Indonesia dan keragaman masalah, sangat membutuhkan banyak lembaga keuangan formal yang bisa menyasar masyarakat sampai pelosok dan berbagai profesi formal serta informal, agar mereka tidak menjadi korban Lembaga keuangan illegal seperti rentenir atau pelepas uang, bank plechit, bank tithil dan sebagainya.
"Itu juga antara lain yang mendorong lahirnya Pakto 88 tahun 1988 yang menderegulasi berbagai peraturan terkait perizinan pendirian Bank, agar lebih banyak Lembaga keuangan formal di pelosok tanah air. Jadi aneh, kalau sudah banyak, beroperasi baik, lantas dipaksa merger? Ini kebijakan yang naif. Tentu perintah konsolidasi ini bagus dan harus didukung kalau diperlakukan pada BPR atau BPRS bermasalah, atau tidak mampu menenuhi persyaratan permodalan yang diharuskan," ucap penyusun buku Kredit Pedesaan di Indonesia bersama Prof Mubyarto dan team UGM, yang diterbitkan tahun 1985 dengan dukungan Bank Indonesia waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H