Mohon tunggu...
bhenu artha
bhenu artha Mohon Tunggu... Lainnya - universitas widya mataram

saya adalah karyawan universitas http://new.widyamataram.ac.id/ http://pmb.widyamataram.ac.id/

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Perlu Ditinjau Ulang Kebijakan Konsolidasi BPR/BPRS dalam Satu Kepemilikan

1 Desember 2024   09:50 Diperbarui: 1 Desember 2024   09:54 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketentuan pada Peraturan otorutas Jasa Keuangan  (POJK) Nomor  7/2024 yang antara lain memerintahkan BPR dan BPRS yang berada dalam satu kepemilikan atau pemegang saham pengendali yang sama dalam satu wilayah pulau atau kepulauan utama untuk melakukan Penggabungan atau Peleburan diminta untuk ditinjau lagi. Perintah itu dianggap melampaui kewenangan OJK karena tidak ada dasar hukum untuk perintah tersebut, di samping juga dianggap memperlakukan tidak adil pada BPR/BPRS pada satu PSP yang sama karena diwajibkan bergabung meski tidak ada masalah dalam kinerja BPR/BPRS tersebut.

              Benang merah pendapat tersebut muncul dari pakar dan praktisi lembaga keuangan mikro dalam forum  Seminar Konsolidasi dan Pengaruh Bisnis BPR tehadap UMKM  yang diadakan PT Nusantara Bona Pasogit di Hotel Discovery Ancol -- Jakarta, 28-30 November 2024. Pembicara dalam forum tersebut antara lain Direktur Utama Infobank Eko B Supriyanto, Ekonom Prof Edy Suandi Hamid, serta Presiden Direktur PT Nusantara Bona Pasogit (nbp) Hendi Apriliyanto, yang dihadiri Direksi dan Komisaris 34 BPR di bawah naungan PT NBP tersebut.

              Kebijakan yang dikenal dengan Single Present Policy (SPP) tersebut, harus sudah dijalankan dalam waktu dua tahun untuk BPR/BPRS non-BUMD, dan tiga tahun untuk yang dimiliki Pemerintah Daerah. "Tidak ada di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang memerintahkan konsolidasi bagi BPR atau BPRS. Yang ada di dalamnya hanya kewenangan perintah penggabungan atau peleburan jika BPR/BPRS  mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya," ujar Hendi Spriliyanto.

              Sementara itu Eko Supriyanto, yang menyampaikan beberapa catatannya terhadap kebijakan itu menyatakan, sering kembali kebijakan diambil tanpa didasari pengkajian yang mendalam dampaknya. Penggabungan BPR atau BPRS dalam satu kepemilikan ini, kelakar Eko,  bagaikan perkawinan sedarah, incest, dan ini potensial menimbulkan masalah. Keberadaan le,baga keuangan kecil ini sebetulnya sangat penting untuk mendukung UMKM, yang jumlahnya lebih 60% dari pelaku ekonomi Indonesia. "Namun kontribusi kredit UMKM terhadap  PDB hanya 7%, jauh lebih rendah disbanding negara lain,"  ujar Pemimpin Redaksi Infobank Media Group.

              Menurut Eko keberadaan BPR ini masih sangat diharapkan untuk mendukung UMKM di tanah air. Masalah, BPR sendiri masih mengdahapi persoalan terkait keterbatasan modal, tata Kelola,  disaparitas usaha, serta infrastruktur, dan produk serta layanannya. "Akibatnya, peran terhadap perkembangan ekonomi wilayah masih terbatas," kata Eko yang juga Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ini.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi


Kebijakan aneh

              Hal yang sama juga disampaikan Prof Edy Suandi Hamid yang juga Komisaris PT BPRS Harta Insan Karimah Mitra Cahaya Indonesia Yogyakarta. Kebijakan itu dianggap aneh dan tidak adil. "Apa dasarnya memaksakan penggabungan kepada BPR atau BPRS yang sudah berjalan baik walau kepemilikan sama? Kalau dipandang jumlah BPR atau BPRS terlalu banyak, dan menyulitkan OJK melakukan pengawasan, maka treatment bukan memaksakan penggabungan, tetapi mencari mekanisme pengawasan yang memudahkan OJK untuk melakukan fungsi itu," ujar Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta iani.

              Menurut mantan Ketua Forum Rektor Indonesia ini, kebijakan memaksakan penggabungan pada BPR/BPRS pada satu PSP merupakan sesuatu yang naif. Pemilik modal tentu punya pertimbangan ketika membuat beberapa perusahaan. "Misalnya untuk mendiversifikasi risiko. Diversifikasi usaha ini sejalan dengan teori ataupun prinsip-prinsip kehati-hatian dalam bisnis. Don't put your all eggs in one basket! Juga kekhawatiran Perusahaan terlalu besar menyebabkan span of control menjadi lebih sulit dan mengganggu kinerja usaha," ujar Edy.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun