Dia sangat kasar dalam tiap-tiap ucapannya, padahal masyarakat DKI yang memang major agama Islam sangat tahu jika agamanya selalu menyuruh mengedepankan akhlak yang sopan dan santun dalam bertutur. Dan sudah banyak orang yang mengkritik Ahok dan ditanggapi dengan sinis dan enteng, baik oleh Ahok dan Ahokisme. Bahkan gilanya, anjuran dan kritikan masyarakat sering dibenturkan dengan adanya rasa rasisme para pengkritik.
Pun dia menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB) di ratusan persen, padahal gaji para buruh dia patok hanya di 2,7 juta rupiah saja. Ini jelas bertendensi kekacauan di segala sektor, seperti kepemilikan papan dan sandang yang layak bagi para pekerja sektor 'ril' swasta akan menjadi mimpi yang tak berujung.
Pun dia 'sesukanya' menaikkan gaji PNS DKI Jakarta tanpa memikirkan eksistensi PNS di sektor dan daerah lain. Apakah dia tahu, gaji itu di dapat dari pajak yang pastinya besaran uang itu di dapat dari kerjakeras masyarakat DKI Jakarta pada khususnya dan juga rakyat Indonesia pada umumnya?
Di lain hal dia pun bernafsu untuk melegalkan prostitusi dan miras sebagai sebuah PAD yang legal padahal agama Islam yang memang mayoritas di DKI Jakarta jelas melarang keras ke-dua hal ini.
Belum lagi kebijakkan menggusur para 'mayoritas' pengguna transportasi motor yang dilarang disebagian jalan protokol DKI Jakarta dan penerapan derek paksa bagi para parkir liar tanpa mau menyediakan solusinya, dimana kita tahu sistem transportasi Jakarta masihlah jauh dari nyaman dan pun tempat parkir bagi kantong-kantong vital masih sangat jauh dari memadai.
Jujur, memang isu yang dia 'mainkan' sebagai karakaternya adalah tidak dan anti terhadap korupsi, dan ini isu yang memang sangat seksi saat ini, dimana faktanya negeri ini terpuruk sangat jauh di setiap level kehidupan oleh 'korupsi'. Namun apakah Ahok memang tidak pernah lakukan korupsi, kita belum dan tidak tahu dengan pasti tentang hal ini bukan?
Karena pada level jabatan politik, perilaku korup tidak melulu kita lihat dan nilai hanya pada kisaran besaran uang, namun lebih banyak masuk di level kebijakkan. Nah, apakah kebijakkan Ahok selama ini tidak ada yang berbau korupsi, anda yang punya latar pendidikan dan agama yang baik dapat menilainya ini dengan sangat baik bukan?
Dengan segala potensi dan kerja kerasnya, tidaklah elok jika Ahok menganggap semua keberhasilan bersebab pada dirinya sendiri saja, dan atau sebaliknya jika terdapat kegagalan maka itu pastilah bukan dari dia. Lihatlah, anak buahnya 'bermain' kotor pun dia tidak tahu dengan selalu menuduh dengan sumbang pada anggota DPRD DKI Jakarta. Dan jika mengikuti perkembangan hak angket DPRD DKI Jakarta terhadap dirinya jelas sekali bukan siapa yang naif dan dungu?
Jadi, bermohon untuk melihat objektifitas dengan dasar pendidikan dan agama yang buruk (keduanya atau salah satunya) sangatlah tidak mungkin bisa terjadi untuk Ahok dan juga para Ahokisme. Karena Ahok dan Ahokisme hadir dan bermain pada level yang berbeda, Ahok (seolah) selalu berpegang pada konstitusi dengan mengindahkan etika sosial budaya dan Ahokisme banyak memainkan konteks rasialis dan agama dalam 'kick-back' para pemerhati dan pengkritik Ahok.
Keduanya (Ahok dan Ahokisme) bagai mata pedang yang satu 'buta' dan yang satu lagi 'tuli' yang selalu tidak mau mendengarkan dan menerima apa-apa saja yang dirasakan dan dilihat oleh sebagaian orang lain pun dengan dasar fakta-fakta yang ada, khususnya dari 'kacamata' seorang Jaya Suprana. Jadi jika terus Ahok dan Ahokisme terus memainkan karakternya yang anti-kritik atas nama konstitusi dan rasisme, maka kejadian selanjutnya akan bisa sangat 'liar' dan atau pun 'pasif' sama sekali.
Namun membaca peta sosial kultural negeri ini, maka kecenderungan dari hal ini akan lebih ke arah liar. Atau kah memang dalam konteks ini sejarah akan bercerita dengan kecenderungan yang berbeda?, maka kita tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya.